Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terpaksa harus dinaikkan karena pemerintah dan DPR mengalami penyakit rabun jauh atau myopic. Pemimpin negeri ini sejak lama abai perspektif jangka panjang. Akhirnya tata kelola dan manajemen perminyakan kita tidak berpihak pada kepentingan bangsa dalam jangka panjang.
"Tengok saja lebih 84 persen ladang minyak kita dikuasai oleh operator asing sehingga kita tidak bisa mendorong kebijakan perminyakan dalam negeri berpihak pada masyarakat," ujar ekonom Dahnil Anzar Simanjuntak kepada Rakyat Merdeka Online (Kamis, 29/3).
Lebih konkret dia mencontohkan kebijakan pada masa Orde Baru. Pada tahun 1970-1980, pada saat booming minyak terjadi, saat itu ekonomi Indonesia stabil dan sangat memungkinkan harga minyak dijual dengan harga keekonomian. Tetapi sayanganya, hal itu tidak dilakukan Soeharto, Presiden RI saat itu. Soeharto tidak menaikkan harga BBM untuk menjaga stabilitas ekonomi.
"Bagi saya itu adalah awal dari kondisi hari ini dimana perekonomian Indonesia sudah terbiasa dengan harga BBM murah. Sehingga ketika ada shock perubahan harga, dampaknya meluas dan merantai bagi ekonomi," ujarnya.
"Akibatnya, karena ada kenaikan harga minyak mentah dunia pilihan paling mudah adalah menaikkan harga jual BBM dan mengurangi subsidi. Ini semua akibat, kita terjebak pada tirani urgensitas. Semua kebijakan dibuat argumentasi urgensitas yang abai kepentingan jangka panjang," tandas pengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten ini. [zul]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: