Aksi unjuk rasa penolakan harga bahan bakar minyak (BBM) telah digelar sebanyak 128 aksi di seluruh Indonesia sejak bulan Januari. Dari 128 aksi itu, hanya 30 aksi yang berujung bentrok atau rusuh. Kerusuhan itu tidak mengakibatkan korban jiwa, meski ada 83 korban luka.
Data itu dibeberkan aktivis Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid di kantornya, Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat, (23/3).
Karena itu, menurut Usman, rencana pemerintah melibatkan TNI dalam mengamankan aksi unjuk rasa penolakan harga BBM tidak tepat. Karena situasi belum menunjukkan kondisi yang berbahaya dan mencekam. Dari data itu, aksi unjuk rasa masih dalam hal yang lumrah.
"Seolah-olah dalam benak pemerintah ada yang aneh. Yang perlu bagaimana pemerintah membuktikan kalau kebijakan (kenaikan harga BBM) ini efektif," kata Usman, yang menjabat Ketua Dewan Federasi Kontaras ini.
Dia mengingatkan, pengerahan kekuatan TNI dalam mengamankan aksi unjuk rasa sangat berbahaya. Apalagi, pemerintah tidak asal melibatkan TNI harus melalui prosedur yang berlaku.
Baru pernyataan Kapolri meminta. Lalu ditanggapi jubir presiden. Ini tidak bisa. Harus ada keputusan kebijakan politik negara, melalui permintaan presiden melalui persetujuan DPR," jelasnya.
Ditambahkan Usman, soal alasan lain kenapa TNI tak perlu dilibatkan, unjuk rasa penolakan harga BBM ini bukan mengancam keamanan nasional tapi mengkritik kebijakan pemerintah. "Ini yang terjadi adalah ancaman kepemimpinan nasional. Bukan keamanan nasional. Ini bukan menjatuhkan tapi mengkritik kebijakan Presiden," tegasnya. [zul]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: