Premanisme Marak, Bukti Gagalnya SBY-Boediono

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Selasa, 28 Februari 2012, 21:09 WIB
Premanisme Marak, Bukti Gagalnya SBY-Boediono
SBY/IST
RMOL. Maraknya kekerasan atau premanisme di masyarakat menunjukkan gagalnya pemerintah membangun manajemen sosial dan mensejahterakan rakyat. Namun kerusakan akibat kekerasan di masyarakat itu tidak semassif premanisme yang dilakukan elit politik. Meski demikian, rakyat tidak berharap SBY menyelesaikan masalah ini.

Demikian mengemuka pada diskusi bertema “Karakteristik Kepemimpinan yang Lembek Vs Massifnya Kerusuhan Sosial dan Premanisme,” di Jakarta, Selasa (29/2). Diskusi yang rutin diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0 itu menghadirkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida dan Koordinator Gerakan Indoensia Bersih Adhie M Massardi.

Menurut Laode Ida, kekerasan dan premanisme yang belakangan marak terjadi menggambarkan pemerintah telah gagal memberi kesejahteraan kepada rakyat. Pemerintah juga gagal membangun budaya humanis dan santun. Kekerasan dan premanisme di tingkat bawah, pada dasarnya mencontoh apa yang dilakukan para elit di tingkat atas. Setiap hari rakyat melihat para elit politik hanya sibuk mengurus kepentingan pribadi dan kelompoknya.

“Kondisi kita semakin hari semakin buruk. Namun saya tidak berharap SBY menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Sebab, untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di partainya sendiri saja dia tidak bisa, bagaimana saya bisa berharap SBY menyelesaikan masalah-masalah bangsa? SBY sudah membiarkan terjadinya kerusakan di negara ini,” tukas Laode.

Pemimpin Lemah

Adhie menilai, sejak awal 2010an Indonesia memasuki era paling buruk. Kerusakan akibat premanisme terjadi pada semua lini, yaitu rusak pada tata nilai, moral, hukum, sosial, dan politik. Celakanya lagi, para pelaku premanisme itu merata di kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Semua itu terjadi karena tidak adanya pemimpin yang kuat.

“Di era Soeharto negeri ini juga berantakan. Tapi pada masa itu ada hukum yang ditegakkan, yaitu hukum Soeharto. Kita lihat negara bisa dikendalikan. Kalau sekarang, sama sekali tidak ada. Dulu, RSPAD kita anggap ‘angker’. Sekarang, dijadikan lokasi tawuran. Dulu, rumah Soeharto didemo setelah dia lengser. Sekarang, Cikeas berkali-kali didemo. Semua ini terjadi karena pemimpin lemah,” ujar Adhie.

Di sisi lain, mantan Jubir Presidien Abdurrahman Wahid ini menampik pendapat, bahwa pemimpin yang kuat harus berasal dari tentara. Buktinya, lanjut dia, SBY adalah jenderal bintang empat, tapi sangat lemah. Contoh pemimpin sipil yang kuat ditunjukkan oleh Baharudin Lopa yang mampu membersihkan Kejaksaan Agung sampai daerah-daerah.

“Waktu SBY naik, duit negara dibobol lewat Century. Ketika Anas jadi ketua umum Demokrat, APBN juga jebol lewat Wisma Atlet dan lainnya. Untuk bisa tegas dan kuat, pemimpin harus bersih. Sebaliknya, kalau tersandera dengan berbagai kasus, jangan harapkan pemimpin mampu bersikap tegas. Dalam Islam, pemimpin adalah imam yang harus ditaati karena memikirkan nasib rakyatnya. Kalau pemimpin tidak peduli pada rakyat, maka dia bukan pemimpin dan tidak pantas dihormati,” papar Adhie.

Kanker Stadium 4

Tokoh gerakan perubahan nasional Rizal Ramli yang didaulat berbicara mengibaratkan Indonesia seperti orang yang kena kanker stadium 4. Pada tahap ini, penyakit tidak bisa lagi diobati dengan cara-cara biasa. Kanker seganas ini harus dihilangkan dengan operasi, kalau perlu mengamputasi bagian yang terserang kanker. Setelah itu masih harus menjalani kemoterapi agar sel-sel kankernya benar-benar mati.

“Perbaikan Indonesia tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara biasa. Harus ada perubahan total dan mendasar. Kemarin saya di Universitas Lampung bersama teman-teman mahasiswa. Mereka sudah komit ikut dalam perubahan. Komitmen serupa juga kita dapat dari teman-teman buruh, aktivis, nelayan,  aparat desa, seniman, budayawan, dan lain-lain. Kita harus menghentikan kerusakan ini sekarang juga,” ujar Rizal Ramli.

Namun Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) ini juga mengingatkan, bahwa perubahan tidak bisa diharapkan dari pemerintah dan DPR. Pasalnya, pemerintah dan DPR selama ini justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Untuk itu, Rizal Ramli minta kepada semua elemen bersiap-siap. Jika waktunya sudah tiba, seluruh kekuatan akan bergabung untuk melakukan perubahan.

Rizal Ramli yang juga mantan Menko Perekonomian tersebut membantah anggapan terlalu mahal biaya menghentikan SBY di tengah jalan. Sebaliknya, akan jauh lebih mahal ongkos yang harus ditanggung bangsa dan rakyat Indonesia jika SBY terus dipertahankan sampai 2014. Korupsi APBN tiap tahun sekitar Rp 80 triliun. Jika SBY dipertahankan sampai 2014, maka kebocoran APBN itu mencapai Rp 240 triliun. Itulah sebabnya kendati anggaran naik 2,5 kali dalam tujuh tahun terakhir, kesejahteraan rakyat tetap saja tidak kunjung membaik.

“Dengan Rp 240 triliun, kita bisa melakukan banyak hal. Membangun ribuan kilometer jalan tol, jembatan, sekolah, irigasi, dan bermacam infrastruktur untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Jadi, menghentikan SBY sekarang justru jauh lebih murah dibandingkan mempertahankannya sampai 2014,” ungkap Rizal Ramli.[dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA