JOURNALIST'S DIARY

Selamat Jalan, Saya Kangen Nomor Belanda

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Sabtu, 11 Februari 2012, 03:31 WIB
<i>Selamat Jalan, Saya Kangen Nomor Belanda</i>
A Supardi (baju putih) bersama sabar gorky/RMOL
Innalillahiwainnailaihirojiun. Selamat Jalan Pak Pardi. "Omelan" sayangmu selama ini telah menyadarkan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang saya lakukan belum maksimal.

Pak Pardi, begitu kami di Rakyat Merdeka memanggil A. Supardi Adiwijaya. Beliau adalah wartawan senior Rakyat Merdeka. Beberapa tahun terakhir, pria yang tinggal di Belanda itu menjadi redaktur senior Rakyat Merdeka Online.

Jarak ribuan kilometer dengan meja redaksi tak menjadi halangan bagi dia untuk mengoreksi kami melalui telepon. Tapi, sang korektor itu kini telah tiada. Beberapa saat lalu kami menerima kabar beliau sudah berpulang ke kehidupan yang abadi. Serasa tidak nyata tapi tak bisa memungkirinya.

Meski usianya sudah kepala tujuh, Pak Pardi selalu nampak enerjik. Hobinya memukul raket badminton. Kalau lagi pulang kampung ke Indonesia, beliau selalu mengajak kami bertanding. Tidak mudah menaklukkan suami Tatiana Supardi Bogdanova dan ayah dari Iman, Agustina, Saleh dan Hani itu. Ya, beliau memang penggila olah raga Susi Susanti itu.

Agustina Supardi mengabari kami di redaksi bahwa jantung sang ayah tiba-tiba berhenti berdenyut ketika memacu staminanya di lapangan badminton di Belanda (Minggu, 5/2). Pertolongan pertama yang diberikan oleh rekan-rekan sesama pemain tidak berhasil. Saya merinding mendengar kabar ini. Pikiran langsung hanyut dengan tawa Pak Pardi di saat-saat menyampaikan koreksinya di ujung telepon.

Pikiran tambah hanyut, terkenang lebih dalam dengan raut muka Pak Pardi saat Selasa (7/2), ada kabar dari rekan beliau sesama jurnalis dari Radio Nederland, Bari Muchtar bahwa kondisi Pak Pardi tidak mengalami perkembangan berarti. Pak Pardi masih koma.

Rangkaian kabar tentang Pak Pardi selalu dinantikan, sekalipun harus mendengarnya dengan merinding dan gendang telinga terasa pecah. Agustina mengabarkan telah terjadi penyumbatan pembuluh darah di jantung Pak Pardi sesuai hasil analisis dokter Rumah Sakit VU Amsterdam. Ukhh..., ingin rasanya berada di samping Pak Pardi.

Menanti kabar baik Pak Pardi, Agustina malah mengabari bahwa badan ayahnya, yang lahir di Jakarta tahun 1941 itu harus didinginkan selama 24 jam untuk mengurangi kerusakan pada organ tubuhnya, dan dipindahkan dalam keadaan koma ke Unit Intensive Care di Zaans Medical Center, Zaandam, kota yang ditinggalinya sejak 1990, setelah pindah dari Moskow.

Tiga hari menjalani perawatan intensif, Pak Pardi masih tetap saja dalam keadaan koma. Para dokter di Zaans Medical Centrum menyimpulkan Pak Pardi telah mengalami hersen dood atau kematian otak sehingga tidak ada kemungkinan pemulihan fungsi sistem urat syarafnya. Terasa betul memecah gendang telinga ini saat mendengar kabar yang juga disampaikan Agustina itu. Benar-benar membuat tak semangat saja. Gumaman saya waktu itu hanya satu: "Tuhan, buat Pak Pardi tersenyum lagi."

Penantian kabar gembira malah dibayar kabar duka. Jumat malam, hampir dini hari tepatnya, saya dikabari bahwa Pak Pardi telah wafat. Terasa betul kosongnya ruang redaksi setelah ada kabar itu dan membuat saya tak kuasa menahan tangis. Besok, lusa, minggu depan, tak ada lagi yang mengoreksi dari Belanda. Saya kangen di telepon nomor Belanda. Mohon tangis ini jadi penebus omelan kritismu Pak. Selamat jalan Pak Pardi. Saya merindukan ucapanmu di ujung telepon: "Ade, coba perhatikan tulisannya..." [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA