"Tetapi tidak dengan pembatasan penggunaan premium dengan pengawasan yang kompleks dan membuka peluang moral hazard lebih besar," ungkap ekonom Dahnil Anzar Simanjuntak
Rakyat Merdeka Online petang ini (Senin, 9/1).
Padahal, menurutnya, kebijakan menaikkan harga premium dari Rp4.500 mencapai Rp5500 sampai dengan Rp6000 lebih rasional daripada mengurangi beban subsidi dan
cost sosial-nya juga lebih rendah, terutama ongkos akibat inflasi dan moral hazard. Karena itu, Dahnil curiga, di balik kengototan pemerintah membatasi penggunaan premium itu bukan menaikkan harga.
"(Tapi) ini adalah kebijakan liberalisasi yang dikendalikan asing, terutama MNC (
multinational corporation) perminyakan besar yang beroperasi di Indonesia juga menjual melalui pom bensin mereka yang ada di Indonesia," ungkapnya.
Tujuan akhirnya adalah agar masyarakat dipaksa menggunakan bahan bakar jenis pertamax. Sementara perusahaan asing yang menguasai pasar pertamax di Indonesia.
"Jelas ini kebijakan yang merugikan rakyat Indonesia dan merendahkan martabat dan kemandirian bangsa," ungkap dosen Fakultas Eknomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang Banten ini.
[zul]
BERITA TERKAIT: