Tetapi lebih karena rusaknya tatanan birokrasi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Hal itu disampaikan ekonom Dahnil Anzar Simanjuntak kepada
Rakyat Merdeka Online pagi ini (Selasa, 27/12).
"Prosedur bisnis yang telah diatur yang dilengkapi dengan perangkat perlindungan terhadap kerusakan lingkungan dan harmonisasi sosial kemasyarakatan dilanggar dan dinegasikan oleh birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sehingga pengusaha pada akhirnya harus berhadap-hadapan dengan masyarakat yang tak puas dan dirugikan," jelasnya.
"Padahal pengusaha sudah melakukan pembiayaan yang besar untuk mendapatkan berbagai izin dan biaya komunikasi sosial dengan masyarakat melalui birokrasi atau kepala daerah maupun pemerintah pusat," sambung dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tirtayasa Serang, Banten ini.
Karena pemerintah abai akan hak-hak masyarakat dan lingkungan, masyarakat pun bergejolak dan berhadapan langsung dengan pengusaha perkebunan dan pertambangan. Dalam kondisi seperti ini, pilihan yang paling efisien yang dilakukan pengusaha adalah bekerjasama dengan aparat Kepolisian untuk melindungi aset ekonomi yang mereka miliki.
Karena itu dia berkesimpulan, biang kerok konflik sosial usaha perkebunan dan pertambangan adalah pemerintah pusat dan daerah yang korup dan manipulatif dan abai terhadap hak sosial ekonomi masyarakat lokal dan cenderung rente dan memeras pengusaha perkebunan dan pertambangan.
"Sehingga pengusaha memilih langkah-langkah menggunakan aparat keamanan untuk melindungi aset ekonomi mereka," tegas Dahnil, Sekretaris Dewan Pakar DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia ini.
[zul]
BERITA TERKAIT: