Hal itu diungkapkan Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta Saputra Pane, lewat keterangan tertulis yang diterima
Rakyat Merdeka Online pagi ini (Minggu, 25/12) menanggapi unjuk rasa yang berakhir bentrok dengan polisi bahkan merenggut nyawa di pelabuhan Sape, Bima Nusa Tenggara Barat kemarin.
"Sikap mereka yang menjadi agen-agen asing membuat para pejabat negeri ini semakin tidak peduli dengan nasib rakyat. Hak-hak rakyat, dan musnahnya akar budaya rakyat karena rakyat terusir dari tanah kelahirannya," ungkapnya.
Ironisnya, ketika rakyat berusaha membela hak-haknya, polisi atas nama ketertiban sosial malah melakukan pembantaian dan penembakan yang membabi buta. Padahal, jika polisi konsisten melakukan penegakan hukum dan menjaga ketertiban sosial, seharusnya polisi melihat motif dan akar masalahnya.
"Artinya, polisi lebih dulu menangkapi para pejabat dan pengusaha dan bukan menembaki rakyat. Sebab para pengusaha tersebut sudah melakukan perusakan lingkungan hidup sumber hidup rakyat akibat izin yang dikeluarkan pejabat pemerintah pusat dan daerah," beber Neta.
Namun ironisnya, polisi tidak pernah membantu rakyat untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidupnya dan polisi tidak pernah membantu rakyat dalam memperjuangkan hak-hak hidupnya. Yang terjadi justru rakyat diberondong dengan peluru saat memperjuangkan haknya.
"Polisi ogah menjalankan fungsinya sebagai mediator yang membela kepentingan
rakyat. Sikap inilah yang membuat rakyat menuding bahwa polisi telah diperalat menjadi centeng pengusaha," ungkapnya.
"Jika pemerintah pusat dan daerah tidak pro rakyat, jika polisi pun tidak pro rakyat, siapa lagi yang membela rakyat. Lalu haruskah rakyat ditembaki jika rakyat mencoba membela dirinya sendiri?" kata Neta prihatin.
[zul]
BERITA TERKAIT: