SBY mengatakan, pada RAPBN 2012, pemerintah menyiapkan kenaikan alokasi anggaran pertahanan hingga 35 persen dibandingkan tahun 2011. Atau, meningkat jadi Rp 64,4 triliun dari anggaran tahun 2011 sebesar Rp 47,5 triliun.
Kurang lebih hal itu pula yang diutarakan Presiden saat memimpin peringata HUT ke-65 TNI, di Halim Perdanakusuma, tahun lalu. Kala itu secara khusus dia menginstruksikan Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, dan Panglima TNI untuk menyusun kebijakan pemberian kesejahteraan bagi para prajurit TNI terutama yang bertugas di daerah perbatasan, daerah terpencil, dan pulau-pulau terdepan.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Mayjen (Purn) Tubagus Hasanuddin, mengakui, dari tahun ke tahun sudah ada peningkatan anggaran untuk TNI. Tapi rasanya belum signifikan.
"Dari seluruh anggaran TNI itu, 49,5 persen dipakai untuk kebutuhan gaji, kemudian belanja barang untuk keperluan suku cadang, belum untuk membeli senjata. Soal gaji dan uang lauk pauk memang sudah ada perbaikan tetapi masih jauh dari kebutuhan," jelas TB Hasanuddin kepada
Rakyat Merdeka Online, Rabu (5/10).
Dinamika penugasan prajurit TNI, kata TB, sangat dinamis. Mereka tidak mengenal waktu kerja terutama ketika bertugas di wilayah perbatasan dan patroli kapal laut.
"Mereka tidak kenal jam kantor, 1x24 jam meninggalkan keluarganya. Padahal berdasarkan pengalaman saya, kolonel dengan masa dinas 20 tahun cuma bisa menyekolahkan anak hingga SMA," ungkap TB.
Dia menekankan, perbaikan kesejahteraan TNI harus menjadi pemikiran bersama. Hal itu adalah konsekuensi dari reformasi politik dan TNI, larangan pada TNI untuk berbisnis, tuntutan peningkatan profesionalitas, dan larangan berpolitik. Dengan demikian, kesejahteraan prajurit sepenuhnya tangungjawab negara, di tengah kondisi gaji tingkat paling bawah TNI hanya kurang dari Rp 2 juta.
"Katakanlah pilot-pilot TNI, khususnya transport maupun tempur gajinya hampir sama dengan gaji yang lain. Seorang penerbang dengan pangkat mayor, paling gajinya antara 5-6 juta. Bandingkan dengan pilot sipil, tanggung jawab dalam hal resiko sama saja. Kalau misalnya terus-terusan begini, tidak ada orang yang mau jadi tentara," jelasnya.
Dia mengatakan, sudah ada perbaikan penyejahteraan tapi belum signifikan sekali, terutama untuk mereka yang di perbatasan dan pulan terdepan.
Dampaknya, jika mereka tidak tercukupi kebutuhan dasarnya, maka ada dorongan untuk mencari makan sendiri.
"Mereka jadi kelayar keluyur. Mending jualan koran atau es cincau, tapi kalau mereka jadi perampok, jaga tempat-tempat perjudian, itu bagaimana?" ungkapnya.
Dampak lainnya kepada jaminan untuk pensiunan TNI mempunyai rumah sendiri yang layak. "Mereka juga kan ketika pensiun harus punya tempat teduh, jadi sesudah 30 tahun bertugas di rumah dinas, masa mereka harus kontrak? Paling tidak punya tempat berteduh," tegasnya.
TB tidak membantah kemungkinan akibat rendahnya kesejahteraan anggota TNI punya ekses politik. Tapi dia belum melihat perkembangannya ke arah itu karena anggota dilatih dengan disiplin tinggi.
"Tapi kasus-kasus kecil itu pernah terjadi misalnya mereka marah karena uang lauk pauk diturunkan, cuma selama ini paling terjadi di tingkat asraman, tidak pernah keluar. Tapi sebagaimana manusia, kalau tidak diperhatikan dan haknya dikurangi, bisa marah juga," ujarnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: