Cinta senantiasa berkaitan dengan amal, dan amal sangat tergantung pada keikhlasan hati, di sanalah cinta Allah berlabuh. Dalam buku
Mahabbatullâh (Cinta Allah), Imam Ibnu Qayyim menuturkan tahapan-tahapan menuju wahana cinta Allah.
Pertama, membaca Al-Quran dengan merenung dan memahami kandungan maknanya sesuai dengan maksudnya yang benar. Al-Quran merupakan kemuliaan bagi manusia yang tidak bisa ditandingi dengan kemuliaan apapun. Ibnu Shalah mengatakan, "Membaca Al-Quran merupakan kemuliaan, dengan kemuliaan itu Allah ingin memuliakan manusia di atas makhluk lainnya. Bahkan malaikat pun tidak pernah diberi kemuliaan semacam itu, malah mereka selalu berusaha mendengarkannya dari manusia."
Kedua,
Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, melalui ibadah-ibadah sunnah setelah melakukan ibadah-ibadah
fardhu. Orang yang menunaikan ibadah-ibadah
fardhu dengan sempurna mereka itu adalah yang mencintai Allah. Sementara orang yang menunaikannya kemudian menambahnya dengan ibadah-ibadah sunnah, mereka itu adalah orang yang dicintai Allah.
Ketiga, melanggengkan dzikir kepada Allah dalam segala tingkah laku, melalui lisan, kalbu, amal dan perilaku. Kadar kecintaan seseorang terhadap Allah tergantung kepada kadar dzikirnya kepada-Nya. Dzikir kepada Allah merupakan syiar bagi mereka yang mencintai Allah dan dicintai oleh-Nya. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman: Aku bersama hamba-Ku, selama ia mengingat-Ku dan kedua bibirnya bergerak (untuk berdzikir) kepada-Ku."
Keempat, cinta kepada Allah melebihi cinta kepada diri sendiri. Memprioritaskan cinta kepada Allah di atas cinta kepada diri sendiri, meskipun dibayang-bayangi oleh hawa nafsu yang selalu mengajak lebih mencintai diri sendiri. Artinya, ia rela mencintai Allah meskipun beresiko tidak dicintai oleh makhluk. Inilah derajat para Nabi, di atas itu ialah derajat para Rasul dan di atasnya lagi adalah derajat para rasul Ulul 'Azmi, lalu yang paling tinggi adalah derajat Rasulullah Muhammad Saw.
Kelima, kontinuitas
musyâhadah (perjumpaan batin) dan
makrifat (mengenal) Allah SWT. Penglihatan kalbunya terarah kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Kesadaran dan penglihatan kalbunya berkelana di taman
ma'rifatullâh (derajat mengenal Allah yang paling tinggi). Barang siapa bermakrifat kepada
asmâ' (nama-nama) Allah, sifat-sifat dan
af''âl (aktivitas) Allah dengan persaksian dan kesadaran yang mendalam, niscaya akan dicintai Allah.
Keenam, menghayati kebaikan, kebesaran dan nikmat Allah baik lahir dan batin akan mengantarkan kepada cinta hakiki kepada-Nya. Tidak ada pemberi nikmat dan kebaikan yang hakiki selain Allah. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun kekasih yang hakiki bagi seorang hamba yang mampu melihat dengan mata batinnya, kecuali Allah SWT.
Ketujuh, ketundukan hati secara total di hadapan Allah, inilah yang disebut dengan
khusyû'. Hati yang
khusyû' tidak hanya ketika melakukan shalat, tetapi dalam semua aspek kehidupan ini, akan mengantarkan kepada cinta Allah yang hakiki.
Dan kedelapan, menyendiri bersama Allah ketika Dia turun. Kapan itu? Yaitu saat sepertiga terakhir malam. Di saat itulah Allah SWT turun ke dunia dan itulah saat yang paling berharga bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan shalat malam agar mendapatkan cinta Allah. Jangan lupa, bergaul dengan orang-orang shaleh juga dapat membantu menggapai cinta Ilahi.
Bulan suci Ramadhan menjadi momentum terbaik menggapai cinta Allah. Melalui seperangkat amalan seperti ibadah puasa, iktikaf di malam hari, memperbanyak membaca dan mengkaji Al-Quran, berzakat, dan lain sebagainya, potensi untuk mendapatkan cinta Allah sangat terbuka lebar. Karena itu, jangan sia-siakan kesempatan emas ini.
Penulis adalah Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah, Alumnus Al-Azhar Mesir, dan Peneliti The Fatwa Center
BERITA TERKAIT: