Hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terjadi mengingat Indonesia adalah negara berdaulat. Apalagi, Greenpeace jelas-jelas telah mengangkangi hukum Indonesia karena menolak mendaftarkan organisasinya ke Kesbangpol Pemprov DKI Jakarta.
Lewat siaran pers yang diterima redaksi hari ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Jakarta Selatan membeberkan fakta mengapa Greenpeace harus ditindak oleh pemerintah, bahkan dibekukan keberadaannya di Indonesia.
Pertama, kegiatan Greenpeace antara lain didanai uang haram hasil judi Postcode Lottery. Postcode Lottery adalah sebuah kelompok di Belanda dan Eropa yang menawarkan cara instan untuk kaya. Di Indonesia, Postcode Lottery sama dengan sumbangan dana sosial berhadiah di zaman Soeharto. Tahun 2009 misalnya, Greenpeace menerima gelontoran dana dari Postcode Lottery (Belanda) sebesar Rp 9.250.000.000 (dua puluh sembilan milyar dua ratus lima puluh juta rupiah).
Kedua, Greenpeace juga menerima kucuran dana dari pemerintah Inggris dan Uni Eropa. Berdasarkan investigasi Aliansi Pembayar Pajak, sebuah LSM yang berbasis di London, dalam kurun waktu 2009-2010, sebanyak 7.6 juta poundsterling dihibahkan Komisi Uni Eropa untuk Greenpeace dan pecinta lingkungan lainnya.
Dalam rilis HMI itui dikutip pernyataan Matius Sinclair, Direktur Aliansi Pembayar Pajak seperti dilansir www.taxpayers.com, Desember lalu. Disebutkan,
pecinta lingkungan merupakan kelompok yang telah dipolitisasi, jadi tidak adil kalau mereka mendapat dana dari para pembayar pajak. Â
Ketiga, Greenpeace jelas-jelas LSM asing yang bermarkas di Belanda. Namanya pun tidak menggunakan bahasa Indonesia. Dan Greenpeace Indonesia yang kini bermarkas di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, sebenarnya adalah Greenpeace Southeast Asia (SEA). Dengan demikian, Greenpeace SEA pada dasarnya adalah LSM asing yang gentayangan di Indonesia. Namun anehnya, Greenpeace berkali-kali membantah organisasinya bukan LSM asing.
Keempat, jumlah donatur Greenpeace di Indonesia (menurut pengakuan pengurus Greenpeace) saat ini berkisar 40 ribu orang. Tiap orang menyumbang dana sebesar Rp 75 ribu per bulan. Jika dikalikan, dalam sebulan Greenpeace menerima dana sumbangan sebesar Rp 3 miliar dan setahun mencapai Rp 36 miliar setahun.
Kuat dugaan, Greenpeace tidak pernah membayar pajak yang (katanya) diperoleh dari hasil sumbangan donatur. Kelima, pundi-pundi inilah antara lain yang dipakai Greenpeace untuk melakukan kampanye hitam terhadap lingkungan Indonesia. Anehnya, Greenpeace sama sekali tidak pernah mengutak-atik perusahaan asing di Indonesia. Greenpeace selalu melakukan aksi-aksi yang sifatnya menekan dan memiliki standar ganda dengan membawa agenda ekonomi terselubung. Hal itu terlihat karena Greenpeace tidak pernah melakukan tekanan atau aksi protes keras terhadap PT Freeport, PT Newmont atau perusahaan asing lainnya yang nyata-nyata telah merusak lingkungan dan mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Keenam, Greenpeace sering menggunakan data palsu, tanpa melakukan penelitian. Hal ini sudah terungkap di sejumlah negara. Bahkan Yuyun Indradi, Political Foret Campaigner Greenpeace mengakui bahwa mereka hanya lembaga kampanye, bukan lembaga penelitian.
Hal ini diungkapkan Yuyun dalam acara seminar nasional Quo Vadis Hutan Indonesia? Pembangunan Perubahan Iklim yang digelar Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor di Jakarta, Kamis 9 Desember 2010. Yuyun mengakui, Greenpeace sering kekurangan data pendukung. Sebab, selain data yang dimilikinya hanya merupakan hasil investigasi, mereka juga tidak melakukan penelitian sampai ke areal konsesi.
Karena sering melontarkan data ngawur yang berujung pada fitnah itulah maka tidak heran, pemerintah Kanada, Selandia Baru, China dan beberapa negara lainnya, bersikap tegas membekukan status yayasan Greenpeace dan mengusir dari negaranya. Negara-negara tersebut menilai Greenpeace telah menyimpang dari tujuan awalnya. Pemerintah seharusnya sudah bisa membekukan status yayasan Greenpeace di Indonesia. Kalau tidak, patut dicurigai dalam tubuh pemerintah sendiri terdapat oknum-oknum pesanan asing. [zul]
BERITA TERKAIT: