Sayidiman, seorang purnawirawan perwira tinggi TNI-AD yang kenyang pengalaman sebagai pemegang komando di militer dan di luar militer. Jabatan terakhirnya di lingkungan TNI-AD adalah sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat berpangkat Letnan Jenderal TNI. Sedangkan di luar lingkungan TNI sebagai Gubernur Lemhanas.
Dalam rubrik opini
Kompas bertajuk
"Akhiri Proses Pembangkrutan!" (Kamis, 7/7), Sayidiman mengeritik pribadi SBY yang dipandangnya sebagai salah seorang purnawirawan TNI dan seharusnya memegang Saptamarga. Secara garis besar, Sayidiman memandang bangsa Indonesia sedang diliputi persoalan berat yang membuatnya makin berantakan.
Opininya, bahwa menjadi kewajiban SBY-lah sebagai perwira tinggi TNI yang beretika Saptamarga untuk menyerahkan seluruh hidupnya bagi kepentingan negara dan bangsa sehingga NKRI menjadi kuat kembali. Kuncinya adalah kepercayaan masyarakat. Sayang, kepercayaan rakyat itu sedang melorot. Dan Sayidiman tegaskan, SBY akan kembali memperoleh kepercayaan itu asal mau meninggalkan sifat ragu-ragu dan kecil hati.
Memang, tidak sekali itu kritik dari kalangan eks petinggi TNI menyasar SBY. Menurut mantan Sekretaris Militer Presiden, Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, kritik para sesepuh TNI tidak berarti menunjukkan mereka telah terjun dalam politik praktis.
"Pak Sayidiman terkenal bijak dan pendiam. Kalau dia sudah bicara mengeritik SBY, barangkali karena sudah kebangetan yang dia rasakan," ujar TB saat berdialog dengan
Rakyat Merdeka Online, Jumat petang (8/7).
TB yang kini menjadi pimpinan Komisi I DPR mengaku menangkap benang merah yang diutarakan Sayidiman dan para purnawirawan TNI lain yang resah atas situasi bangsa di bawah pimpinan SBY.
"Saptamarga memang tak berlaku lagi pada Beliau (SBY) tapi karakter dan jiwa serta roh dari Saptamarga, sumpah prajurit dan Pancasila seharusnya menjadi karakter keseharian yang diwujudkan dalam aplikasi memimpin bangsa ini," papar TB.
TB sendiri melihat kemerosotan-kemrosotan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan bangsa adalah akibat satu hal, yaitu ketidakmampuan pemimpin tertinggi, Presiden SBY, mengambil risiko saat harus memutuskan putusan sulit.
"Ibarat berlatih silat, semua ilmu itu sudah dikuasai tapi keberanian harus datang dari diri sendiri. Seorang guru tidak bisa mengajarkan keberanian," ungkapnya berumpama.
[ald]
BERITA TERKAIT: