Noorsy: Negara Kaya tapi Miskin Harga Diri

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Sabtu, 02 Juli 2011, 09:52 WIB
Noorsy: Negara Kaya tapi Miskin Harga Diri
ichsanudin noorsy/ist
RMOL. Kelangkaan bahan bakar minyak yang berujung pada kenaikan harganya diyakini bukan suatu proses yang kebetulan berjalan sendiri tanpa adanya rekayasa pihak-pihak berkepentingan. Salah satu realitas ini menunjukkan bahwa kebijakan publik sudah dibelok-belokkan menjadi kepentingan politik dan golongan tertentu.

"Soeharto juga jatuh karena kenaikan BBM. Soeharto jatuh, muncul LoI di bidang energi, lalu keluar perjanjian dengan asing agar mereformasi sektor energi dan melaksanakan mekanisme pasar bebas," kata pengamat kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy, dalam diskusi Polemik Trijaya Network di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (2/7).

Pada 2010 dia mencatat ada permintaan dari Bank Dunia agar Indonesia segera merealisasikan janjinya mencabut subsidi rakyat pada sektor energi. Dan pada saat yang sama, muncul klaim tidak ada ditemukan cadangan minyak baru di seluruh tanah air.

"Pada saat yang sama kita impor luar biasa dan itu ada biaya transaksi yang dekat dengan korupsi dan, saya katakan, mafia minyak tidak pernah mati. Dan kalau kita teruskan, teruskan lagi, kita bisa bilang negeri ini kaya tapi miskin dan sangat miskin harga diri," tegasnya.

Noorsy menegaskan, agar adil dalam menilai akar persoalan, situasi yang krisis saat ini bukanlah situasi yang dimulai dalam hitungan sejak SBY berkuasa.

"Supaya kita fair harus mundur ke belakang. Kalau kita lihat pada saat sebelum Soeharto berkuasa, ketika Soekarno dijatuhkan, lahir UU Penanaman Modal Asing dan freeport muncul dan asing dibebaskan bukan main," terangnya.
 
Dia ingatkan juga, Soeharto jatuh pada tahun 1998 karena praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tapi sebab-sebab kejatuhan itulah yang kini malah dilakukan penguasa.

"Kita melihat ada yang melantik ipar jadi KSAD, dan anak jadi anggota Dewan," ucapnya.

Dan di era SBY, khususnya pada 2005 sampai 2010, peningkatan pinjaman program sangat luar biasa dan dampaknya adalah liberalisasi habis-habisan.

"Selama SBY berkuasa saya mengajukan uji materil tiga undang undang liberal yaitu Kelistrikan, Migas dan Penanaman Modal. Poinnya adalah, kalau hari ini meradang dan kita sebut Indonesia ini gila harusnya jujur melihat siapa saja yang berkontribusi sehingga negara ini gila, dan media massa juga berkontribusi karena mendukung sistem yang salah dan tidak memberi alternatif," paparnya.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA