Presiden SBY menawarkan jurus tiga pro untuk menghadapi persoalan ketenagakerjaan global yang tengah dihadapi banyak negara. Ketiga pro itu adalah pro growth, pro job, dan pro poor. “Di Indonesia, kami menyebutnya strategi pembangunan dan pemerataan,†ujar SBY ketika berpidato di forum International Labor Organization (ILO) di Jenewa, Swiss, hari Selasa lalu (14/6). Ketiga pro itu, sambung SBY, harus disempurnakan dengan pro environment.
Dalam pidato tersebut, SBY juga menyampaikan komitmen Indonesia terhadap delapan konvensi ILO. Bahkan Indonesia, sebutnya, adalah negara Asia pertama yang telah meratifikasi kedelapan konvensi itu. SBY percaya, ratifikasi kedelapan konvensi tersebut akan mempercepat dan mengintesifkan promosi dan perlindungan hak pekerja Indonesia.
Mengutip pembukaan Konstitusi 1919 ILO, SBY menegaskan bahwa perdamaian abadi dan universal hanya bisa diciptakan di atas keadilan sosial.
Pidato SBY itu mendapat tanggapan yang begitu positif dari ILO. Terlebih, SBY adalah presiden Indonesia pertama yang berpidato di forum ILO.
Namun demikian, sebut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, pidato SBY itu tidak dapat menutup bau busuk yang disebarkan kondisi perburuhan Indonesia yang masih memprihatinkan.
“Pidato SBY yang membanggakan dirinya dengan pencapaian ratifikasi seluruh konvensi inti ILO berbanding terbalik dengan buruknya implementasi konvensi dan memburuknya kondisi perburuhan di Indonesia,†ujar Direktur LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat, dalam keterangannya.
Ratifikasi konvensi ILO itu, sambungnya, hanya menjadi tumpukan perundang-undangan yang tidak berarti mengingat kondisi perburuhan di Indonesia masih buruk.
Beberapa hal yang memperlihatkan betapa buruknya kondisi perburuhan Indonesia itu, sambung Nurkholis, antara lain adalah pengawas ketenagakerjaan yang mandul. Terdapat kontradiksi dari ratifikasi konvensi ILO dengan kebijakan pemerintah.
“Pengawas Ketenagakerjaan kini hampir dipastikan menjadi lembaga yang menganggur karena lahirnya UU 2/2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial yang memuat pelanggaran hak normatif sebagai sengketa hubungan industrial yang bersifat perdata/sengketa,†sambungnya.
Aturan tersebut menjadikan pelanggaran hak yang seharusnya bersifat publik dan mewajibkan pengawas ketenagakerjaan untuk memberikan hukuman kepada pengusaha yang melanggar kini dialihkan menjadi sengketa yang bersifat perdata.
Dia juga menyoroti Konvensi ILO 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi yang setelah diratifikasi menjadi Keppres 83/1998, juga Konvensi ILO 98 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama yang telah diratifikasi menjadi UU 18/1956. Sepuluh tahun setelah UU 21/2000 tentang tentang Serikat Buruh dan Serikat Pekerja sekalipun masih kerap ditemukan pembiaran terhadap aksi anti organisasi buruh di banyak tempat.
“Tidak kurang 20 kasus aktivis serikat buruh yang dikriminalisasi dengan berbagai alasan seperti, pencemaran nama baik dan tuduhan palsu penghasutan dan penggelapan. Data tersebut menunjukan buruknya komitmen pemerintah dalam menjamin hak berserikat di Indonesia,†ujar Nurkholis lagi.
Perlindungan terhadap pekerja di sektor rumah tangga juga masih memprihatinkan. Mengutip data ILO tahun 2002, Nurkholis mengatakan saat ini ada sekitar 2,6 juta PRT. Kondisi mereka masih memprihatinkan dan menjadi warganegara yang sangat rentan menjadi korban. [guh]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: