Majelis Hakim yang saya hormati,
Adalah menjadi kewajiban saya membuka tabir manipulasi fakta persidangan, menelanjangi analisa fakta, meluruskan apa yang dinamakan petunjuk, membersihkan noda analisa yuridis-"yang sifat dan hakikat dari peradilan yang bermartabat berdasarkan Ketuhanan yang Maha-esa sebenarnya betul-betul elegan, terhormat, intelek, dilakukan oleh orang yang punya integritas, barulah pantas memberi judul dengan nama analisa yuridis. Terkecuali ini menjadi analisa kebencian! Kemudian, setelah itu adalah kesimpulan, bagaimana menyelamatkan kesimpulan ini dari kesimpulan yang sesat. Kemudian, habis kesimpulan, cara berpikir Jaksa ini, adalah tuntutan pidana, bagaimana memasukkan tuntutan pidana ini dalam ruang yang transparan, akuarium kebenaran, keadilan, untuk satu pembelajaran yang pahit.
Dari fakta-fakta persidangan yang juga nanti saya ikut ungkap berdasarkan transkripsi dan rekaman di dalam DVD, akan terlihat jelas bagaimana fakta-fakta persidangan itu diabaikan. Mungkin ada pikiran yang menggoda atas pengabaian ini, "Lho, hakim yang lima itu kan bukan hakim yang tidak cermat? Mereka bukan hakim yang tidak melihat secara saksama jalannya peradilan itu?"
Saya sempat dibisiki oleh seorang teman, yang sebenarnya peringatan itu buat saya tidak punya pengaruh, bahwa setelah hakim Syarifuddin Umar, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ditangkap, banyak yang berkomentar, "Lihat, nanti hakim-hakim Pengadilan Tipikor itu akan juga ikut ketakutan dan nanti mereka akan patuh dengan apa kehendak oknum KPK dan apa yang menjadi skenario dari Jaksa Penuntut Umum KPK ini. Lihat nanti."
Ada berita soal cerita ketakutan hakim-hakim ini di Harian Sinar Harapan edisi Jumat, 10 Juni 2011, halaman 1, dengan judul "Tiarap setelah Penghuni R 302 Tertangkap". Yang dimaksud dengan R 302 adalah Ruang 302, ruang kerja hakim Syarifuddin Umar, yang ditangkap KPK pada 1 Juni 2011. Menurut berita di Sinar Harapan tersebut, "penangkapan Syarifuddin telah membuat PN Jakarta Pusat kocar-kacir." Namun, semua kekhawatiran akibat penangkapan dari hakim Syarifuddin ini, yang mempengaruhi para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dibantah dengan keras oleh seorang hakim senior yang punya integritas, sekaligus menjadi juru bicara Pengadilan Jakarta Pusat, yaitu Saudara Tjokorda R. Suamba. Di dalam harian Sinar Harapan tersebut , dengan tegas ia membantah hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, termasuk hakim pengadilan Tipikor ketakutan. Sebaliknya, katanya, sidang tetap berjalan normal sesuai jadwal. "Kenapa waswas kalau kita tidak berbuat salah?" kata hakim Tjokorda sambil menaikkan bahunya.
Ia mengakui, pasca penangkapan Syarifuddin saat itu, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang melakukan rapat pimpinan. Yang dibicarakan dalam pertemuan bukan hanya teknis penanganan perkara, tapi juga bicara tentang pentingnya menjaga mental. "Sikap mental sangat ditekankan. Tapi, itu juga ditekankan dalam rapim-rapim sebelumnya," kata Tjokorda.
Saya pribadi secara total absolut tidak dapat menerima anggapan bahwa penangkapan hakim Syarifuddin Umar itu akan mempengaruhi jati diri kelima majelis hakim yang terhormat ini. Karena, selama jalannya persidangan, sejak tanggal 13 April 2011 hingga hari ini, selama dua bulan lebih, kita semua menyaksikan sampai sidang yang kesepuluh, bagaimana hakim secara cermat, teliti, menjaga jalannya persidangan ini. Saya bisa menyampaikan di sini, bagaimana secara tegas hakim menegur jaksa sampai lima kali, termasuk mengoreksi cara-cara bertanya jaksa, menegur penasihat hukum sampai tiga kali, bahkan ada yang mengingatkan agar jangan ada yang tertidur, dan tiga kali mengingatkan para pengunjung supaya tertib mengikuti jalannya persidangan.
Juga dari cara-cara mengajukan pertanyaannya yang betul-betul profesional, dengan pertanyaan-pertanyaan yang cermat dan bernas. Saya percaya, saya yakin, saya ainul yakin, bahkan... hakkul yakin, kelima hakim majelis ini akan mengambil keputusan yang benar, betul-betul berkualitas, dan bermartabat, dengan menjunjung moralitas yang tinggi, sesuai dengan Ketuhanan yang Maha-esa. Juga sesuai dengan hati nurani, logika hukum, yang diambil secara cerdas berdasarkan fakta-fakta di persidangan dan berdasarkan bukti-bukti di persidangan, berdasarkan kenyataan yang betul-betul terungkap dalam persidangan. Saya percaya moralitas dari satu keputusan berdasarkan Ketuhanan yang Maha-esa itu dalam totalitasnya, yang di dalamnya tersirat kejujuran, ketulusan, yang juga beretika, bermoral, dalam mengambil keputusannya.
Apa pun risikonya dalam persidangan ini, saya harus berani mengambilnya, seberat apa pun risiko itu. Saya tidak merasa takut. Saya teringat pada Firman Tuhan Yesus saat murid-murid-Nya mendapat cobaan, seperti tertera dalam Matius 14 ayat 27 yang menyatakan, "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" Dan memang saya tidak takut. Ini sudah menyangkut suatu prinsip, ketika saya melihat ada satu bahaya dalam peradilan, karena ada orang bermental mentang-mentang berkuasa, seraya mengatakan �""Saya bisa buat kamu jadi saksi. Saya bisa buat kamu jadi tersangka. Saya bisa buat kamu terdakwa. Dan saya bisa atur hakim untuk membuat kamu menjadi terpidana". Ini pasti saya lawan. Untuk tiga tahap yang pertama tadi, okelah mereka bisa sewenang-wenang. Memanggil jadi saksi, membuat jadi tersangka, menjebloskan ke penjara, dan kemudian menyeret jadi terdakwa. Tetapi, untuk menjadi terpidana, itu tidak akan mudah. Tidak semudah mereka melakukan rekayasa seperti sebelumnya.
Pengaduan saya ke Kejaksaan Agung dan kepada pimpinan KPK, ternyata membawa hikmah bagi kalangan petinggi di Kejaksaan Agung. Pengaduan saya ini menimbulkan pertanyaan di kalangan mereka, siapa yang bertugas mengeksaminasi dan mengawasi jaksa-jaksa yang berada di institusi KPK sekarang? Itu sekarang menjadi suatu problematika yang sedang mereka bahas. Saya mendapat informasi, mereka berterima kasih atas pengaduan saya, karena akan dipakai menjadi bahan dalam mencari jalan keluar bagaimana menghadirkan jaksa-jaksa berkualitas serta mengawasi kinerjanya di KPK. Tentu ini untuk memperkuat KPK.
Majelis Hakim yang Terhormat,
Sekarang mari sama-sama kita simak bagaimana Jaksa Penuntut Umum menggambarkan pencairan 29 TC BII senilai Rp 1.450.000.000 yang disangkakan telah saya terima. Buka bab 4 Analisa Fakta, halaman 179. Di situ di judul nomor 15 dikatakan, "Bahwa benar terdakwa satu Panda Nababan memperoleh bagian sebanyak 29 TC senilai satu milyar empat ratus lima puluh juta rupiah."
Bagaimana caranya? Menurut saksi Binsar Toras Maringan, ia diperintahkan saksi Komarudin untuk mencairkan 29 TC itu. Komarudin alias Tan Cit Sui sendiri menerima 30 TC dari Joni Hartono. Yang 29 TC diserahkan kepada Binsar untuk dicairkan dan 1 TC diberikan kepada Johan, sebagai bonus atas pembayaran utang Komarudin kepada Johan.
Adapun cara Jaksa Penuntut Umum melakukan manipulasi fakta bisa dilihat pada berkas tuntutan halaman 204: "Bahwa menurut saksi (berarti pengakuan dari Komarudin sendiri) perusahaan saksi tersebut bergerak di eksport- import barang. Akan tetapi, perusahaan saksi tersebut tidak memiliki dokumen-dokumen arsip pabean secara jelas."
Kalau kita simak dalam kesaksiannya, perusahaan Komarudin bergerak di ekspedisi muatan kapal laut (MKL) atau ekspedisi muatan kapal udara (MKU) di Halim Perdanakusuma. Tidak pernah Komarudin mengatakan perusahaannya bergerak di bidang eksport-import barang. Itu satu teknik menyesatkan yang tercantum di dokumen tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Dikatakan lagi bahwa saksi Komarudin menyatakan perusahaannya tidak mempunyai catatan keuangan mengenai pencairan 29 TC BII senilai Rp 1.450.000.000 yang dicairkan oleh Binsar. Di dalam Analisa Fakta ini, baik pada judul atas nama Binsar, Komarudin, maupun Johan tidak ada dinyatakan di situ bahwa traveller cheque itu diberikan atau diperoleh dari Panda Nababan.
Untuk menjustifikasi, membenarkan, judul di atas, bahwa Panda Nababan memperoleh Rp 1.450.000.000, simaklah baik-baik apa yang dibuat di bawah judul Petunjuk: "Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut di atas (yang tiga orang itu) diperoleh satu fakta atau keadaan yang merupakan petunjuk kuat keterangan para saksi satu dengan yang lain, tidak berdasarkan pada adanya hubungan logis, sehingga memberikan kesan…." Nah, jadi, ini buat ahli-ahli hukum, analisa fakta memberikan kesan.
Padahal, istilah memberikan kesan sering dikoreksi oleh Ketua Majelis Hakim, yang kerap melarang dalam dialog-dialog, dalam pernyataaan-pernyataan, dalam memeriksa saksi, terdakwa, menggunakan pertanyaan seperti "Bagaimana dengan kesan Saudara?", "Bagaimana dengan kemungkinan?", atau "Apa pendapatnya?". Berkali-kali Majelis Hakim melarang untuk tidak menggunakan kata-kata semacam itu.
Namun, untuk membenarkan tuduhannya, pada bagian Petunjuk dalam berkas tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum menggunakannya. Saya bacakan kembali petunjuk versi Jaksa Penuntut Umum itu: "Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut di atas diperoleh satu fakta atau keadaan yang merupakan petunjuk kuat keterangan para saksi satu dengan yang lain tidak berdasarkan pada adanya hubungan logis sehingga memberikan kesan telah direkayasa dan penuh kejanggalan fakta-fakta tersebut adalah diuraikan di bawah ini…."
Mengenai "hubungan logis" itu, saya tidak tahu maksudnya. Saya tidak tahu logika apa yang dipakai Jaksa Penuntut Umum. Apa tidak logis ada orang disuruh? Tidak logis ada orang mengembalikan uangnya? Saya tidak tahu.
Tetapi, yang menarik, ini "sehingga memberikan kesan", jadi bukan "sehingga memberikan bukti" atau "memberikan fakta". Sekali lagi: "memberikan kesan".
Yang menarik juga, untuk memperkuat kesan itu supaya lebih dramatis, bahwa nomor pada 4 lembar TC yang dicairkan oleh Binsar dengan nomor 4 lembar TC yang dicairkan oleh Tejo Baskoro, anak Soekardjo, berurutan. Benar-benar dramatis, kan? Apalagi, dituduhkan, Soekardjo menerima TC dari Panda Nababan, bukan menerima dari Dudhie Makmun Murod atau Emir Moeis. Padahal, baik Dudhie maupun Emir dalam kesaksian masing-masing mengatakan seluruh anggota Komisi IX, termasuk Soekardjo, menerima amplop dari Dudhie Makmun Murod.
Malah, pernyataan Dudhie soal adanya nama Soekardjo pada amplop yang ia bagikan merupakan jawaban atas pertanyaan Jaksa Penuntut Umum. Tetapi, semua itu dianggap informasi tidak penting oleh Jaksa Penuntut Umum. Yang penting, supaya ada kesan, seperti dikatakan oleh Jaksa, ada kesan berurut.
Kenapa pula Jaksa Penuntut Umum tak mencari tahu, apakah nomor TC yang dicairkan oleh Binsar berurutan dengan nomor TC yang dicairkan oleh Emir Moeis, oleh Dudie Makmun Murod, oleh Fadillah? Padahal, itu akan semakin memperkuat kesan. Sayang, jaksa tidak ada waktu rupanya untuk melakukan itu.
Mungkin, Jaksa ragu dengan kata-kata kesannya itu, di halaman 208 Jaksa mulai menguliahi hakim, mencoba mempengaruhi hakim. Maka, dia kutiplah kalimat sebagai berikut: "… berdasarkan fakta-fakta yang merupakan petunjuk di atas (tidak ada hal itunya… tadi ada kesan itu, tidak dikatakan berdasarkan fakta-fakta dan kesan) maka dihubungkan dengan Pasal 185 ayat 6 yang menyatakan ’dalam menilai kebenaran keterangan, seorang hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, b. persesuaian antara saksi dengan alat bukti yang lain, c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu, d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya, maka terhadap keterangan saksi tersebut di atas tidak dapat dinilai keterangannya sehingga harus diabaikan."
Jadi, apakah kemudian bahwa Komarudin mengakui dia memberikan kepada Binsar untuk dicairkan dan Binsar mengakui menerima dari Komar dan dia cairkan itu tidak sesuai? Menurut versi Jaksa, itu tidak sesuai karena tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Bahwa itu sesuai dengan fakta, urusan lain.
Yang terhormat Majelis Hakim,
Sebelumnya, di dalam judul Fakta Persidangan yang diajukan oleh Jaksa dinyatakan bahwa menurut saksi penyerahan pinjaman uang Rp 2 miliar kepada Joni Hartono tidak ada tanda terimanya. Menurut saksi juga, hubungan saksi dengan Joni Hartono adalah saudara ipar.
Setelah hari Rabu yang lalu, tanggal 8 Juni 2011, ketika saya sedang membaca kembali tuntutan Jaksa, yang membuat petunjuk dengan kesan itu, rekayasa, dan kejanggalan-kejanggalan, antara lain tidak ada tanda terima, saya dibesuk oleh seorang pejabat senior. Dia adalah mantan pejabat Bea dan Cukai yang punya pengalaman mumpuni, yang punya reputasi dalam karir di Bea dan Cukai, baik di Pelabuhan Tanjung Priok, di Direktorat Penyidikan Pemberantasan Penyelundupan, maupun di dalam soal-soal yang berkenaan dengan Bea dan Cukai. Namanya Toni Sunanto.
Dia mengatakan kepada saya bahwa perusahaan-perusahaan ekspedisi ada dua macam: ada perusahaan ekspedisi muatan kapal laut yang sangat konvensional, ada kemudian perusahaan-perusahaan yang agresif. Perusahaan-perusahaan ekspedisi yang agresif ini lazimnya mengeluarkan kontainer-kontainer dari pelabuhan dengan cara memberikan tarif per satu kontainer itu Rp 20 juta sampai Rp 30 juta untuk yang berisi barang yang bea masuknya dinilai lebih dari Rp 30 juta atau Rp 40 juta. Apakah itu tekstil, barang elektronik, atau peralatan lain-lain, tidak soal. Pokoknya ditarif satu kontainer itu Rp 20 juta.
Perusahaan inilah yang membayar ke Bea dan Cukai. Perusahaan ini juga yang membayar angkutan dari pelabuhan sampai ke gudang pemilik barang. Dan, dia mengenakan tarif cuma Rp 20 juta.
Biasanya perusahaan-perusahaan ini menyewakan PT-PT-nya, kata teman saya itu. Karena itu, jika diketahui melakukan penyelundupan, PT-PT tersebut tidak bisa dilacak, tidak bisa diketahui. Istilah teman saya, PT-PT ini adalah PT yang berada di rumah makan padang atau berada di bawah pohon. Mereka ini bergerak secara cash and carry, bergerak cepat untuk mengeluarkan barang dari pelabuhan. Karena, kalau terlambat mengeluarkan dari pelabuhan kena demorate denda per hari yang cukup besar.
Jadi, teman saya itu, yang mantan pejabat senior Bea dan Cukai ini, menceritakan ke saya bahwa jenis perusahaan atau kegiatan yang dilakukan Saudara Komarudin alias Tan Ci Sui di Tanjung Priok adalah soal biasa. Tapi, kini, perusahaan-perusaan atau kegiatan semacam sudah ditertibkan dengan sistem. Sekarang sistem Bea dan Cukai sudah sangat baik, sudah komputerisasi, dan kemudian juga dengan pengawasan yang lebih ketat lagi. Bisnis-bisnis seperti itu sudah tidak dapat tempat lagi.
Menyangkut kemudian adanya pinjam-meminjam di kalangan dan tidak ada tanda terima, di kalangan etnis Cina itu satu hal yang biasa. Apalagi yang bersaudara beripar, tetapi itu dianggap menjadi satu kejanggalan. Jangankan mempunyai kantor yang tetap permanen, apalagi mempunyai NPWP, hampir tidak pernah perusahaan-perusahaan ini yang bergerak dalam bisnis pengeluaran barang dari Tanjung Priok dengan cara agresif, dengan cara-cara yang serba-cepat, pembayarannya cepat, dan kemudian tidak memerlukan dokumen-dokumen ke pabeanan karena dokumen kepabeanan itu sudah dibayarkan kemudian dikembalikan kepada pemesan, urusan selesai. Dibayar sampai di gudang, selesai. Paling-paling kalau apes, kalau tiba-tiba ada pemeriksaan dan antara isi yang di dalam kontainer dengan yang dilaporkan di dokumen tidak tepat, mereka baru diusut.
Sayang, Jaksa tidak melakukan satu riset dulu terhadap jenis bisnis apa yang dilakukan Komarudin di Tanjung Priok. Jadi, waktu saya mengatakan kepada Jaksa bahwa perusahaan ini tidak memiliki pembukuan, tidak memiliki NPWP, kantornya berpindah-pindah, ya, memang begitu perusahaannya. Bagaimana itu Jaksa? Belajar lagi itu Jaksa atau suruh tanya saya atau tanya ke orang-orang yang berpengalaman di Tanjung Priok, bagaimana perusahaan-perusahaan itu. Tapi, memang, perusahaan semacam itu sekarang sudah berhasil diberantas, sudah berhasil dikunci untuk tidak bisa bergerak kembali dengan cara-cara yang begitu.
Pada periode-periode Bea dan Cukai 5-10 tahun yang lalu, cara-cara perusahaan ekspedisi yang main tembak begitu sudah sangat lazim. Jaksa yang bertugas di Tanjung Priuk pasti tahu itu. Kenapa Jaksa ini tidak lebih dulu bertanya kepada jaksa yang di Tanjung Priok, apakah ada perusahaan model perusahaan si Komar ini.
Kalau kita baca di halaman 21 dalam Analisa Yuridis, karena Jaksa mengatakan antara Komarudin alias Tan Ci Sui dan Joni Hartono alias Cun ada pinjam-meminjam yang tidak didukung dengan bukti-bukti yang sah, keterangannya itu langsung divonis sebagai karangan-karangan belaka. Coba baca simak itu halaman.
Yang paling aneh lagi, tidak ada fakta pendukung adanya pembelian traveller cheque BII dari Feri Yen, yang dianggap memiliki traveller cheque itu, kepada Joni Hartono atau Komarudin alias Tan Ci Sui. Nah, Jaksa juga tidak pernah mempertanyakan dan meragukan keterangan Ari Malangjudo yang membagi-bagi traveller cheque padahal tidak ada tanda terima dari Feri Yen ke Ari Malangjudo.
Kalau kita simak halaman 55 dalam Fakta Persidangan yang diajukan oleh Jaksa, Saudara Budi Santoso yang Direktur Keuangan First Mujur Plantation Industry bersaksi dengan mengatakan bahwa Feri Yen adalah relasinya dan kemudian, menurut Budi Santoso, Feri Yen inilah yang punya traveller cheque itu, walau kemudian jaksa mengatakan tidak ada bukti-bukti bahwa Feri Yen menyerahkan kepada Joni Hartono, Cun Yang, dan kemudian Joni Hartono menyerahkan kepada Komarudin.
Dalam kesaksiannya, pada halaman 57, Budi Santoso mengatakan "bahwa tidak ada diinformasikan TC tersebut untuk anggota DPR ataupun untuk Pak Panda Nababan." Kalau mengikuti logika Jaksa dalam meruntuhkan kepercayaan terhadap kesaksian Komarudin alias Tan Ci Sui dan dua saksi yang lain supaya sahlah itu ada penuh kejanggalan, dikatakanlah tidak ada tanda terima bukti yang sah dari Feri Yen pemilik traveller cheque itu kepada Joni Hartono.
Soal bagaimana Ari Malangjudo bisa membagi-bagi begitu banyak traveller cheque kepada Saudara Dudie Makmun Murod, Hamka Yandhu, Endin, dan kemudian Udju, Jaksa tidak bertanya, apakah ada tanda terima bukti yang sah dari Feri Yen ke Ari Malangjudo untuk bagi-bagi, tidak ditanya itu, tidak penting itu. Pokoknya sudah cocok, peran Ari Malangjudo itu sudah mendukung skenario. Ari Malangjudo dapat dari mana, itu tidak ada urusan. "La, wong, yang kita pakai Pasal 11, kok. Pasal 5 hanya untuk nakut-nakutin aja gitu."
Begitulah caranya. Jadi, setelah fakta-fakta mulailah Jaksa mengarahkan, inilah teknik mempengaruhi Majelis Hakim dan opini publik. Petunjuk bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut di atas--Komarudin, Binsar, Johan�"diperoleh satu fakta atau keadaan yang merupakan petunjuk kuat keterangan para saksi satu dengan yang lain tidak berdasarkan pada adanya hubungan logis sehingga memberikan kesan. Bukan memberikan bukti, memberikan fakta, tapi memberikan kesan telah direkayasa dan penuh kejanggalan. Jadi, yang seharusnya di antara saksi ada persesuaian dalam logika hukum harus dipatahkan. Tidak berdasarkan adanya hubungan yang logis dan memberikan kesan telah direkayasa. Untuk lebih paten lagi argumentasi dari Petunjuk ini dengarlah dulu vonisnya, dengarlah dulu analisa yuridisnya, halaman 221, saya kutip: "Bahwa keterangan saksi Komarudin alias Tan Ci Sui yang mengaku telah mendapatkan TC BII dari Joni Hartono sebanyak 29 lembar karena adanya hubungan utang piutang namun sama sekali tidak didukung oleh bukti-bukti sah yang diajukan di persidangan sehingga keterangan saksi Komarudin alias Tan Ci Sui adalah keterangan yang merupakan karangan belaka…."
Nah, ini sedap. Kok, mereka yang beripar ada pinjam-meminjam tak ada tanda terima dibilang karang-karangan, padahal di kalangan etnis China itu adalah hal yang biasa, apalagi bersaudara. Kemudian juga bahwa Feri Yen tidak ada bukti kemudian di sini dipakai istilahnya "Selanjutnya tidak ada fakta hukum yang mendukung adanya pembelian TC tersebut dari Feri Yen kepada Joni Hartono ataupun Komarudin alias Tan Ci Sui, tetapi kemudian secara tiba-tiba sebanyak 29 lembar TC berada di tangan Komarudin dan dicairkan Binsar sebanyak 28, dicairkan Johan sebanyak 1 lembar…."
Sayang, kalimat tersebut tidak dilanjutkan sesuai dengan judul. Seharusnya dilanjutkan. Harusnya kemudian ditambah "kemudian secara tiba-tiba sebanyak 29 lembar TC tersebut jatuh di tangan Panda Nababan…." Itu baru namanya berdasarkan kesan-kesan seperti yang diuraikan di atas.
Majelis Hakim yang terhormat,
Semua orang juga bisa melihat bentuk rekayasa itu, bagaimana itu dibuat secara lihai dengan berselimutkan analisa hukum, di samping juga ada suatu sinisme kepada integritas hakim, yang menyatakan "banyak keputusan yang dibuat hakim dengan mengabaikan fakta persidangan", juga "bagaimana hakim bisa obyektif karena begitu banyak beban pekerjaannya, overloaded, sibuk, dengan sidang-sidang maraton dan berkas-berkas yang begitu tebal". Saya sendiri melihat sinisme kepada hakim itu sebagai hal yang naif, yang menyepelekan. Alasan saya sederhana saja: perjalanan persidangan yang lebih dari 10 kali ini, berlangsung dengan cermat, seksama dan tetap dalam pengawasan jalannya persidangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada. Kepada petugas Komisi Yudisial yang sejak dari awal ikut mengawasi jalannya persidangan ini, memberikan komentar yang sama dengan pendapat saya. Malah mereka baru terperangah melihat perilaku dari para oknum Jaksa Penuntut Umum dalam menghormati jalannya persidangan ini.
Dalam kesempatan pembelaan, pleidooi ini, saya harus berkali-kali dan tidak bosan-bosannya mengingatkan, termasuk kepada para penyelenggara negara, penegak hukum, khususnya para penyidik dan juga Jaksa Penuntut Umum, bahwa kekuasaan yang mereka miliki adalah kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan yang Mahakuasa, yang diwujudkan dalam undang-undang dan peraturan yang ada. Alangkah angkuhnya kalau sampai berani mengatakan, bahwa kekuasaan yang mereka genggam adalah kekuasaan yang sesuka hatinya untuk dipergunakan, tanpa ada satu tanggung jawab moral.
Yang paling berbahaya, dengan sikap itu, mereka akan terjerumus dalam suatu pemikiran yang sesat, dan kemudian merasa paling tahu, paling bersih, paling kuat, dan bisa melakukan apa saja terhadap seorang manusia yang sudah dipenjarakan ini. Agar tidak terjerumus dalam suatu sikap ini, memperalat nama Tuhan yang Maha-esa, kita memang harus mengingatkan mereka supaya berhati-hati.
Pemahaman saya, mengenai pemakaian landasan Ketuhanan yang Maha-esa, Tuhan yang Mahakuasa, yang memang Mahakuasa, dasar pemikiran dan kepatuhan serta penghormatan kepada hal itu terwujud dan menjadi indikator dari sikap yang jujur, tidak dengan kebencian, dan mempunyai suatu etika moral yang tinggi.
Ada perdebatan dua orang profesor ahli hukum pidana, yang mempertanyakan mana yang lebih tinggi posisinya, hukum atau etika. Perdebatan itu akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa derajat etika lebih tinggi daripada hukum. Karena, nilai-nilai etika-lah yang dinormatifkan menjadi undang-undang.
Satu hal lagi yang terungkap dalam persidangan ini. Kalau kita membaca secara teliti, mendengar secara cermat, tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum, maka banyak hal yang mengagetkan kita, membuat kita sadar, bagaimana peradilan ini dihinakan. Sekali lagi saya katakan: dihinakan! Betulkah itu? Dramatisasikah itu? Betulkah ada penghinaan? Saya berikan satu contoh.
Emir Moeis mengaku mengembalikan traveller cheques yang diterima dari Dudhie Makmun Murod kepada saya, yang disaksikan oleh Saudara Tjahjo Kumolo dan Binsar, staf saya. Dua hari kemudian, Emir Moeis mendatangi saya, di ruang saya ada Tjahjo Kumolo dan Binsar, lalu saya serahkan kepada Emir traveller cheques senilai Rp 200 juta. Keterangan inilah yang mungkin dijadikan oknum penyidik KPK menjadi salah satu bukti dari dua bukti yang diperlukan untuk legitimasi menjadikan Panda Nababan sebagai tersangka dan sah untuk dipenjarakan.
Untuk dua peristiwa ini, di dalam sidang ini, kita semua menyaksikan, kita mendengar, dan kita punya rekaman terhadap kesaksian itu, Tjahjo Kumolo mengatakan, "Saya tidak pernah tahu itu dan saya tidak pernah melihat itu." Demikian juga Binsar, membantah dengan keras tidak pernah tahu. Mereka juga tidak mengetahui apa yang dikatakan oleh Emir tersebut. Tetapi, dalam tuntutan, soal pengembalian traveller cheques kepada saya dan soal saya menyerahkan traveller cheques senilai Rp200 juta kepada Emir Moeis tetap dinyatakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Bukankah ini sebuah penghinaan atas kebenaran dalam persidangan, dimana dua orang saksi nyata-nyata membantah pengakuan dari seorang saksi, tapi tidak digubris oleh jaksa?
Yang terhormat Majelis Hakim,
Coba kita simak lagi dalam surat tuntutan yang dikarang-karang oleh Jaksa Penuntut Umum, di halaman 231 yang berbunyi: "Bahwa benar terdakwa 1 PANDA NABABAN membagikan TC BII kepada saksi Emir Moeis sebanyak 4 lembar senilai Rp 200 juta dan saksi SOEKARDJO HARYOSUWIRYO sebanyak 4 lembar senilai Rp 200 juta."
Dari mana sumber para Jaksa Penuntut Umum dalam analisa fakta untuk mencapai analisa yuridis seperti itu? Mari kita buka Berita Acara Pemeriksaan Saudara Emir Moeis, 26 Oktober 2010, poin 18.
Emir mengatakan di situ: "Saat itu saya berpikir bahwa amplop itu berisi lembaran TC tersebut berasal dari Miranda sehingga saya langsung bertemu dengan Saudara Panda Nababan di ruang kerja pimpinan fraksi di lantai 7, yang turut disaksikan oleh Saudara Tjahjo Kumolo dan Saudara Binsar Toras, staf Panda Nababan. Saat itu, saya meletakkan amplop putih yang berisi lembaran TC tersebut di meja kerja Saudara Panda Nababan. Saat itu, saya berkata, ‘Gue enggak mau terima amplop ini. Benar enggak amplop ini dari Miranda?’ Lalu saudara Panda Nababan menjawab, ‘Itu amplop putih bukan dari Miranda. Emangnya kenapa?’ Lalu, saya tetap menolak dan berkata, ‘Wah, tambah enggak jelas, nih. Baiklah, Pan, kalau kamu ketemu Miranda, sampaikan saja bahwa saya enggak mau terima apa-apa lagi dari dia.’ Lalu, saya meninggalkan tanpa membawa amplop putih tersebut. Beberapa hari kemudian, sekitar tanggal 11 Juni, saya dipanggil kembali oleh Saudara Panda Nababan di ruang kerjanya. Saat itu hadir juga Saudara Tjahjo Kumolo dan Saudara Binsar Toras. Saat itu, Saudara Panda Nababan berkata, ‘Mir, ini ada bantuan fraksi untuk pembinaan kontituen di wilayah.’ Lalu, saya berkata, ‘Baiklah, terima kasih.’ Dia serahkan kepada saya, memberikan kepada saya, selembar amplop putih. Setelah kembali ke ruang kerja, saya membuka amplop itu, amplop tersebut ternyata berisi empat lembar TC senilai Rp 200 juta.â€
Sekarang kita bandingkan, dengan menyimak transkrip rekaman otentik dalam persidangan yang ke-6, tanggal 18 Mei 2011, yang menghadirkan saksi Saudara Emir Moeis. Ini petikan tanya-jawab Jaksa Penuntut Umum Saudara Roem dengan saksi Saudara Emir Moeis.
JPU: "Kemudian apakah Saudara menerima traveller cheque tersebut?"
Emir: "Saya menolak."
JPU: "Saudara menolak? Saudara menerima dari siapa, dari Dudhie?"
Emir: "Dari Dudhie, kemudian saya tolak, saya serahkan ke fraksi, Pak."
JPU: "Fraksi apa terdakwa satu Panda Nababan?"
Emir: "Fraksi, dan pada waktu itu adanya Panda Nababan."
JPU: "Saudara menerima dari Dudhie atau dari terdakwa Panda Nababan?"
Emir: "Dari Pak Dudhie, Pak."
JPU: "Kemudian Saudara kembalikan?"
Emir: "Saya kembalikan ke fraksi lewat fraksi, waktu itu ada Pak Panda, Pak Tjahjo, dan Bang Binsar."
JPU: "Kembali ke traveller cheque yang Saudara terima, kemudian Saudara kembalikan, kemudian Saudara menerima kembali?"
Emir: "Beberapa hari kemudian, Pak."
JPU: "Siapa yang menyerahkan?"
Emir: "Waktu itu di ruangan ada Pak Panda, ada Pak Tjahjo, seingat saya ada Pak Binsar juga. Saya terima dari fraksi."
Keterangan Saudara Emir baik di BAP maupun dalam persidangan inilah rupanya yang menjadi dasar dari Jaksa Penuntut Umum mencantumkan kata-kata "bahwa benar terdakwa satu PANDA NABABAN membagikan TC kepada saksi EMIR MOEIS sebanyak 4 lembar senilai Rp.200 juta."
Majelis Hakim yang Terhormat,
Sekarang kita lihat keterangan Saudara Tjahjo Kumolo yang disebut-sebut oleh Saudara Emir Moeis berada di ruangan dan menyaksikan baik pengembalian yang dia terima dari Dudhie Makmun Murod maupun waktu menerima traveller cheque 4 yang Rp 200 juta itu.
Berikut tanya-jawab pada sidang yang ke-8, Jumat, 27 Mei 2011, yang menghadirkan saudara Tjahjo Kumolo sebagai saksi. Sesuai dengan transkrip rekaman otentik.
Hakim: "Apakah Saudara mengetahui ada bantuan dana fraksi yang diserahkan sekretaris fraksi ke masing-masing anggota?"
Tjahjo Kumolo: "Tidak pernah tahu."
Hakim: "Kepada Emir Moeis?"
Tjahjo Kumolo: "Tidak tahu saya."
Penasehat hukum Saudara Juniver Girsang bertanya juga kepada saksi Tjahjo Kumolo, seperti berikut ini.
PH: "Baik, terima kasih, Majelis. Ini dia konkret, Majelis. Mengenai katanya ada pertemuan setelah pemilihan deputi senior gubernur itu sekitar tanggal 9 Juni, Saudara dilaporkan oleh Emir Moeis bahwa yang terpilih itu adalah Miranda Goeltom. Itu kapan?"
Tjahjo Kumolo: "Malam itu juga setelah voting selesai lewat telepon."
PH: "Kemudian tanggal 9, apakah Saudara ada bertemu dengan Emir Moeis di gedung sekretariat?"
Tjahjo: "Tidak pernah."
PH: "Tolong diingat."
Tjahjo Kumolo: "Tidak pernah."
PH: "Tidak pernah, ya? Saudara tidak pernah tanggal 9 atau 10 ketemu Emir Moeis di ruang fraksi?"
Tjahjo Kumolo: "Seingat saya tidak pernah."
PH: "Baik. Saudara kenal sekretaris Pak Panda itu namanya siapa? Seingat saudara tanggal 9, 10, apakah Saudara Karel ada bertemu dengan Saudara di ruang fraksi?"
Tjahjo Kumolo: "Ketemu saya tidak pernah."
PH: "Enggak pernah, ya? Bukan stafnya Pak Panda, ya? Baik. Kalau dikatakan pada tanggal 9 Saudara Emir Moeis menemui Saudara di ruang fraksi, ada Karel, ada Panda, kemudian ada Emir Moeis, Saudara sedang duduk-duduk, apakah Saudara merasa ada pertemuan itu?"
Tjahjo Kumolo: "Tidak ada."
PH: "Jadi, kalau dikatakan Saudara Emir Moeis menyerahkan tiba-tiba ada amplop?"
Tjahjo Kumolo: "Itu enggak tahu."
Yang terhormat Majelis Hakim,
Pada sidang ke-6, Rabu 18 Mei 2011, diajukan juga saksi Binsar Toras Maringan. Kita simak transkrip rekaman otentik pada persidangan tersebut, sewaktu Saudara Binsar diajukan sebagai saksi. Berikut petikannya.
PH: "Baik, terima kasih, Majelis, 2004, Juni 2004, sekitar 2004, mungkin Saudara ingat kebiasaan
ini, makanya saya uji tadi mengenai kebiasaan, sekitar 2004 Emir Moeis masuk ke ruangan Pak Panda, kemudian Saudara Saksi ada juga masuk, ada Emir Moeis katanya menyerahkan amplop yang disaksikan Saudara?"
Binsar: "Tidak pernah, Yang Mulia. Tidak pernah, Pak."
PH: "Baik. Yang kedua, apakah ada seingat Saudara saksi namanya Tjahjo Kumolo?"
Binsar: "Ketua fraksi."
PH: "Ketua fraksi. Kalau masuk ke ruang Pak Panda, mereka berdiskusi, apakah Saudara tahu apa yang mereka bicarakan?"
Binsar: "Tidak bisa kedengaran."
PH: "Tidak bisa kedengaran. Baik. Kalau Pak Tjahjo itu ke ruangan Pak Panda sering atau tidak pernah seingat Saudara?"
Binsar: "Seingat saya sering jarang-jarang."
PH: "Jadi Saudara Saksi sekitar tahun 2004 tidak pernah masuk ke ruangan melihat Emir Moeis
menyerahkan sesuatu kepada Pak Panda?"
Binsar: "Tidak."
Yang terhormat Majelis Hakim,
Dalam persidangan itu secara terang-benderang, secara tegas, secara lugas, Saudara Tjahjo Kumolo membantah itu. Saudara Binsar juga membantah itu. Karena itu, saya tidak bisa mengerti, bagaimana kepatuhan dan penghormatan terhadap jalannya persidangan ini kalau Jaksa Penuntut Umum masih tetap saja mengatakan bahwa terdakwa Panda membagikan traveller cheque kepada Saudara Emir Moeis sebanyak 4 lembar senilai Rp 200 juta, dengan menafikan kedua saksi yang vital tersebut, Tjahyo Kumolo dan Binsar. Apakah itu cara pembuktian hukum? Apakah itu memang gaya dan cara menyusun analisa yuridis berdasarkan analisa fakta yang amburadul?
Oleh Jaksa Penuntut Umum, kesaksian Tjahjo Kumolo dan Binsar itu diabaikan, dinafikan! Sepertinya Jaksa Penuntut Umum tidak peduli dengan daya tangkap, pendengaran, akal sehat, hati nurani, dan logika hukum yang dimiliki kelima Majelis Hakim, yang dimiliki para penasihat hukum, dan hadirin di peradilan yang terbuka untuk umum ini.
Yang terhormat Majelis Hakim,
Yang lebih menghina lagi, suatu peghinaan yang sangat serius, dalam tuntutan itu, yang juga tertera pada halaman 231. Sangat fantastis! Jaksa Penuntut Umum mengatakan: “Bahwa kemudian saksi DUDHI MAKMUN MUROD membagikan amplop tersebut kepada Terdakwa II ENGELINA PATTIASINA sebanyak 10 lembar senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Terdakwa III Drs. M. IQBAL sebanyak 10 lembar senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Terdakwa IV Dra. BUDHININGSIH sebanyak 10 lembar senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan Terdakwa I PANDA NABABAN sebanyak 39 lembar senilai Rp. 1.950.000.000,- (satu milyar sembilan ratus lima puluh juta rupiah).â€
Masya Allah. Astagfirullah. Ya, Allah, ya, Rabbi…. Di mana ada data itu dalam persidangan?!! Siapa yang memberikan?!! Dudhie Makmun Murod berkali-kali mengatakan dia tidak pernah menyerahkan satu amplop pun kepada saya. Di mana dan kapan Dudhie mengatakan membagikan amplop kepada saya?
Padahal, dalam dokumen tuntutan, pada Bab V Analisis Yuridis, halaman 215, Jaksa Penuntut Umum mengatakan, "Majelis hakim yang kami muliakan dan Tim Penasehat Hukum dan Para Terdakwa yang kami hormati. Selanjutnya kami akan menyampaikan analisa yuridis yaitu dengan menilai fakta perbuatan/kejadian yang telah kami uraikan dalam analisa fakta untuk kemudian menerapkan unsur-unsur pasal dari tindak pidana yang didakwakan". Nah, apa itu analisa yuridis berdasarkan analisa fakta? Kita semua akan terperangah dan terkaget-kaget akan manipulasi data dan fakta yang ada dalam dokumen tuntutan halaman 231 itu.
Bayangkan betapa dahsyatnya manipulasi fakta ini. Tapi, supaya jangan gegabah kita mengatakan soal manipulasi fakta atau satu kriminalisasi yang dilakukan oknum jaksa KPK, kita harus mengacu pada berita acara pemeriksaan Dudhie Makmun Murod. Kenapa saya singgung berita acara ini?
Sebenarnya, yang paling menentukan apa yang diucapkan adalah kesaksian di bawah sumpah di pengadilan. Tapi, agak unik saksi yang satu ini, karena berkali-kali Dudhie mengatakan bahwa kesaksiannya di persidangan ini adalah kesaksian yang konsekuen dengan berita acara.
Pada sidang ke-5, Rabu, 11 Mei 2011, diajukan saksi Saudara Dudhie Makmun Murod, Fadillah, Gunawan, dan Soekardjo. Saya kutip dulu transkrip rekaman secara otentik dari dialog hakim ketua majelis Bapak Eka Budi Prijanto dengan saksi Dudhie Makmun Murod
Hakim Ketua: "Saudara dijatuhi pidana berapa lama?"
Dudhie: "Dua tahun."
Hakim Ketua: "Dua tahun. Baik, silakan lanjutkan, Saudara Dudhie"
Dudhie: "Baik. Setelah itu, Pak, perkembangannya ada beberapa dari yang hadir ini menjadi tersangka. Saya juga tidak begitu paham dan tidak pernah mengikuti mengapa mereka menjadi tersangka. Yang saya ikuti adalah seperti keterangan saya di berita acara pemerikasaan yang tidak pernah saya ubah satu kalimat pun sampai di persidangan. Itulah yang memang saya alami dan saya katakan."
Saya kutip kembali bagaimana ketegasan Saudara Dudhie mengenai berita acara pemeriksaan. Yang dia nyatakan ini terungkap dalam dialog anggota majelis halim yang bertanya kepada Saudara Dudhie.
Hakim: "Tadi Saudara menerangkan di depan persidangan, yang mengundang adalah Terdakwa Satu. Yang benar yang mana ini, Saudara Dudhie?"
Dudhie: "Baik. Begini, Pak. Terus terang, pada waktu diambil dengan Tjahjo Kumolo memang ditulis dalam BAP, saya nyatakan undangan dari Bapak Tjahjo Kumolo, Majelis."
Hakim: "Jadi, yang benar adalah yang ada di dalam BAP?"
Dudhie: "Ya, betul, Pak."
Hakim: "Yang tadi Saudara cabut?"
Dudhie: "Ya, karena BAP saya tidak pernah berubah, saya konsisten dengan BAP."
Sekarang kita ungkapkan apa yang rupanya dinyatakan Saudara Dudhie dalam berita acara pemeriksaannya. Coba disimak Berita Acara Pemeriksaan Saudara Dudhie Makmun Murod pada BAP tanggal 4 Oktober 2010, poin 22.
Penyidik: "Saudara jelaskan apakah Panda Nababan, Angelina Patiasina, M. Iqbal, Budhiningsih, Jefri Tongas menerima juga amplop berisi TC. Jika menerima, kapan dan di mana menerimanya serta bagaimana proses penyerahan TC tersebut?
Dudhie: "Ya, mereka (Panda Nababan, Angelina Patiasina, M. Iqbal, Budiningsih, Jefri Tongas) menerima TC seperti yang saya terima. Mereka menerima dalam amplop tertutup. Untuk penyerahan TC tersebut dilakukan di dalam ruangan Saudara Emir Moeis, untuk waktunya sesudah voting pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia (hari itu juga bersamaan penyerahan TC kepada saya)."
Itulah yang dianyatakan dalam BAP Dudhie pada tanggal 4 Oktober 2010. Nah, satu bulan kemudian, dalam BAP pada tanggal 8 November 2010, Saudara Dudhie Makmun Murod dalam poin 30 menjawab pertanyaan dari penyidik.
Penyidik: "Apakah Saudara masih tetap keterangan Saudara yang terdahulu sebagaimana tercantum dalam berita acara pemeriksaan saksi atas nama Saudara Dudhie Makmun Murod tanggal 4 Oktober 2010?"
Dudhie: "Ada keterangan yang akan saya koreksi dan saya tambahkan. Yang saya koreksi yaitu pada jawaban saya nomor 22 bahwa saya menyerahkan TC BII kepada Saudara Engelina Patiasina, M. Iqbal, Budhiningsih, Jefri Tongas di ruang Saudara Emir Moeis, tetapi saya tidak pernah merasa menyerahkan TC BII secara langsung kepada Saudara Panda Nababan."
Itulah yang dikatakan Saudara Dudhie bahwa dia tetap konsekuen terhadap yang dinyatakannya dalam berita acara seperti yang disampaikannya kepada majelis. Untuk lebih tegas lagi, kita ungkapkan transkrip rekaman otentik menjawab pertanyaan dari Saudara Rum, Jaksa Penuntut Umum, terhadap Saudara Dudhie.
JPU: "Dari mana aja tolong Saudara sebutkan."
Dudhie: "Seingat saya dari..
JPU: "TNI Polri, ya? Baik. Saudara di ruangan Emir Moeis, kemudian tadi juga menyerahkan titipan. Lalu, apa yang dilakukan antara Saudara dengan Saudara Emir Moeis saat itu?"
Dudhie: "Saya laporkan kepada Bapak Emir Moeis dan Emir Moeis sebagai ketua, saya serahkan beliau yang membuka dan mengatakan, ‘Ini, Mir.’ Dan juga bilang, ‘Bukalah. Lu kan ketua poksi.’ Dia yang buka. Setelah itu, kami memutuskan untuk memanggil dan memberikan kepada anggota karena di sana sudah ada namanya, Pak."
JPU: "Sudah ada nama dalam amplop-amplop itu? Saudara ingat enggak berapa jumlah amplop itu semua?"
Dudhie: "Seingat saya 18 atau 19."
JPU: "18 atau 19, ya?"
Dudhie: "Iya."
JPU: "Ada juga nama-nama untuk terdakwa ini?"
Dudhie: "Ada, Pak, kecuali nama Panda Nababan, tidak ada."
JPU: "Kenapa tidak ada?"
Dudhie: "Saya tidak tahu karena memang tidak ada."
Itu cukup tegas di dalam persidangan dan kita dengar dan kita simak semua pertanyaan yang begitu tegas dari jaksa dan jawaban yang begitu tegas dari Saudara Dudhie. Sewaktu penasihat hukum Panda Nababan, Saudara Juniver Girsang, pada persidangan yang sama juga bertanya ke Saudara Dudhie Makmun Murod, saya kutip di sini transkrip rekaman secara otentik.
PH: "Apakah Saudara Saksi pada saat pertemuan itu menyatakan bahwa ‘mengenai traveller cheque yang saya bagikan semuanya itu tertulis dan tidak ada satu lembar pun kepada Saudara Panda’?"
Dudhie: "Memang di dalam amplop cokelat itu tidak ada nama Panda."
Kita semua mendengar secara cermat bagaimana jalannya persidangan, jalannya kesaksian. Yang menjadi pertanyaan besar, dari manakah data Jaksa Penuntut Umum ini, sehingga berkesimpulan bahwa Saudara Dudhie Makmun Murod membagikan amplop berisi 39 lembar TC kepada Terdakwa 1 Panda Nababan dengan nilai Rp 1.950 miliar?!! Kapan Saudara Dudhie memberikan itu? Di mana diberikannya? Disaksikan oleh siapa? Alat buktinya apa?
Saya pikir, Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak memperhitungkan itu karena sudah terjebak dalam arogansi kekuasaannya dan semena-mena dalam melakukan tuntutan. Saya melihat secara serius, untuk masa depan peradilan yang bermartabat, untuk adanya KPK yang kuat dengan menempatkan jaksa-jaksa yang punya integritas, apa yang dilakukan oleh oknum Jaksa Penuntut Umum ini, yang dengan gegabah menyatakan bahwa saksi Saudara Dudhie Makmun Murod membagikan amplop kepada Panda Nababan sebanyak 39 lembar senilai Rp1,950 miliar itu merupakan penghinaan terhadap sidang ini! Menghina nalar kita, menghina daya tangkap, daya pendengaran, dan nurani kelima majelis hakim. Juga menghina kami, terdakwa yang sudah dipenjarakan! Termasuk menghina para penasihat hukum, dan hadirin yang dengan setia mengikuti jalannya persidangan ini.
Setelah saya pelajari tuntutan jaksa ini, akhirnya saya bersyukur juga tuntutan ini tidak sampai dibacakan secara detail minggu lalu. Bukan karena takut persidangan yang akan melewati jam 12 malam. Tapi saya bisa bayangkan, jika halaman 231 ini dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, saya rasa ada di antara kita yang akan jatuh pingsan! Dan tidak percaya bahwa setega ini Jaksa Penuntut Umum memanipulasi fakta.
Saya menganggap ini suatu penghinaan terhadap jalannya peradilan, penghinaan terhadap intelektualitas kita, penghinaan terhadap logika kita, penghinaan terhadap akal sehat kita. Lantas, mau disebut kualitas macam apa tuntutan jaksa ini? Bukankah ini namanya fitnah?
Kalau melihat kejinya tuntutan ini, kalau melihat penghalalan segala cara dari tuntutan ini, hampir sama dengan fitnah. Memang kalau saya coba ikuti cara berpikir jorok dari oknum Jaksa Penuntut Umum yang tidak etis itu, menimbulkan tanda tanya pada diri saya, kok, saya hanya dituntut tiga tahun? Kenapa bukan lima tahun?
Saya diajari oleh orang yang mengerti filsafat: semakin orang terjerumus dalam satu kesalahan perbuatan culas, semakin banyak ketidakpastian dan keragu-raguan yang muncul. Saya menduga, oknum Jaksa Penuntut Umum ini ragu. Seharusnya, untuk menutupi rekayasa dan keganasan mereka, saya dituntut lima tahun.
Belakangan, teka-teki kenapa saya dituntut tiga tahun, bukan lima tahun, terjawab sudah. Dalam mekanisme untuk menentukan besar-tidaknya hukuman, rupanya ada rumusnya dalam sms. Ini bukan lagu dangdut, "Bang..sms siapa ini, bang?" Instruksi dalam sms itu sudah ada patokannya dan rumusnya sederhana: pelapor seperti Agus Condro satu setengah tahun; yang mengembalikan seperti Williem Tutuarima dituntut dua tahun; yang tidak mengembalikan seperti Enggelina Pattiasina dua setengah tahun; yang melawan seperti Panda Nababan dituntut tiga tahun." Jadi memang sudah dipatok, tinggal menyalin perintah sms saja!
Melihat realitas dan rumus komando sms ini, ada semacam satu pemeo dalam kasus yang melibatkan 25 mantan anggota DPR dan anggota DPR priode 1999-2004 ini: "Buat apa persidangan ini berlelah-lelah, menyita waktu, menyita pikiran? Wong ini sudah ada rumusnya. Sudah ada yang mengatur."
Lalu, bagaimana melegalisasi tuntutan yang sudah dipatok itu? Dibuatlah rekayasa, seperti yang saya sampaikan tadi, yaitu fakta persidangan yang dikebiri, analisa fakta yang direkayasa, analisa yuridis yang dimanipulasi, kesimpulan sesuka-sukanya, "semau gue", dan tuntutan pidana berdasarkan komando sms. Ini bisa dilihat pada berkas tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, pada bagian tuntutan, yang masih dikosongkan (hanya titik-titik) dan kemudian baru diisi dengan tulisan tangan, boleh jadi setelah Jaksa Penuntut Umum menerima sms. Ini menunjukkan Jaksa Penuntut Umum tidak berani mendahului, walaupun tadinya begitu yakin dengan analisa-analisanya. Tunggu instruksi komandan!
[yan]