SBY, Apa yang Kau Cari di Jogja?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Selasa, 14 Desember 2010, 13:02 WIB
<i>SBY, Apa yang Kau Cari di Jogja?</i>
RMOL. Pemerintah RI melalui Kementerian Dalam Negeri masih bersikeras mengajukan draf RUU Keistimewaan Jogjakarta, yang menempatkan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama yang memiliki sejumlah kewenangan. Sementara, gubernur dan wakil gubernur Jogja tetap dipilih melalui DPRD.

Begitu kuat penolakan masyarakat di Jogja, seperti tampak pada sidang ala rakyat yang digelar besar-besaran di Jogja kemarin. Bahkan kesepakatan bulat fraksi-fraksi, minus fraksi Partai Demokrat, di DPRD dalam Rapat paripurna DPRD I Jogjakarta, kemarin, mendukung penetapan Sultan HB X-Paku Alam sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur.

Pemerintah bergeming. Draf rancangan Undang-undang Keistimewaan Jogjakarta sudah diantar ke Sekretariat Negara dan sedang dalam penggodokan. Hal tersebut dikatakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi usai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Gedung DPR Senayan, Jakarta Pusat (Senin, 13/12). Ia juga menegaskan, bahwa hasil paripurna DPRD Jogjakarta tidak akan mempengaruhi usulan yang disampaikan pemerintah dalam RUUK tersebut. Menurutnya, yang dilakukan pemerintah adalah membuat Undang-undang bukannya Peraturan Daerah, jadi tidak ada mekanismenya dengan DPRD.

Gamawan menambahkan, terkait jika adanya penolakan dari masyarakat Jogjakarta sendiri dengan RUUK tersebut, pihaknya akan melihat perkembangan lebih lanjut. Pasalnya RUUK tersebut juga belum dibahas oleh DPR. Ia menjelaskan pula, bahwa usulan  RUUK itu merupakan pemikiran pemerintah setelah menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk dari masyarakat Jogjakarta dan para pakar.

Mengapa pemerintah begitu keras sikapnya? Coba mendasari dari apa yang dikatakan SBY terkait proses pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta saat membuka rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jumat (26/11).

SBY menyatakan, Keistimewaan Jogjakarta itu sendiri dari bentang sejarah dan dari aspek lain harus diperlakukan secara khusus sebagaimana diatur UU kita yang harus nampak dalam struktur keistimewaan Jogja. Kehadiran satu UU yang tepat sungguh diperlukan. Tapi, nilai demokrasi (democracy value) tidak boleh diabaikan, karena itu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai demokrasi.

Apakah dengan perkembangan instabilitas di Jogja saat ini, sebaiknya pemerintah mendengarkan dan ikuti aspirasi rakyat dan DPRD Jogja atau tetap mempertahankan apa yang sudah dikonsepkan?

Ketua Umum Nasional Demokrat, Surya Paloh dalam acara deklarasi Dewan Pimpinan Wilayah di Hall A PRJ Kemayoran Jakarta Pusat (Minggu, 12/12), menyarankan, polemik soal RUU Keistimewaan Jogjakarta sudah seharusnya dihentikan, karena berpotensi menimbulkan perpecahan di Indonesia.

Di sisi lain, ada yang menduga-duga kemungkinan lain di balik kengototan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono agar Gubernur dan Wakil Gubernur Jogjakarta dipilih DPRD. Wakil Seketaris Jenderal PP Nasional Demokrat Melki Laka Lena, mengatakan, Rancangan Undang Undang Jogjakarta sebagai bagian dari upaya untuk melapangkan jalan bagi agenda neoliberalisme di Indonesia. Agenda neolib diselipkan dalam banyak urusan. Dan agenda neolib, sambung dia, bisa berjalan ketika sistem politik, ekonomi, dan budaya itu berada pada situasi dan bentuk yang sama.

Mungkin terlalu menaruh curiga kepada pemerintah tidak baik pula. Kalau memang pemerintah ingin menetapkan satu sistem politik yang seragam di seluruh wilayahnya, termasuk di Jogja, tanpa harus menabrak kearifan lokal, itu adalah sesuai otoritasnya. Dalam kearifan lokal, Kesultanan itu tidak bisa diganggu gugat. Tetapi, di lain pihak, Sri Sultan Hamengkubuwono diminta memiliki jiwa kearifan nasional.

Mengingat sidang rakyat yang terjadi di Jogja kemarin adalah akumulasi dari berlarut-larutnya permasalahan yang dimulai dari kontroversi pernyataan Presiden pada 26 November lalu, tampaknya "perlawanan" rakyat Jogja itu bak memukul angin. Pemerintah dan masyarakat sama-sama keras kepala.

Layakkah kita berandai-andai, satu saja pihak akan mengalah dari sikap kerasnya. Meskipun sekali lagi, Keistimewaan Jogja versi pemerintah masih bersifat usulan yang belum diputuskan oleh DPR bersama pemerintah.

Miris, seperti yang diungkapkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, karena RUUK yang masih sebatas konsep kok sudah menuai instabilitas, keresahan sosial dan menghabiskan energi yang luar biasa dari bangsa ini?

Sekali lagi, kalau kita berandai-andai, pemerintah mau mempertimbangkan untuk mengembalikan keitimewaan Jogja seperti sedia kala. Kalau memang pemerintah tetap bersikeras, bukan tak mungkin pertanyaan kita akan beralih menjadi rasa penasaran yang sangat, sebenarnya apa yang Presiden SBY cari di Jogja?[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA