Komisi IV DPR: Greenpeace Obok-obok Indonesia, BIN dan Polri Harus Usut Tuntas

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Rabu, 24 November 2010, 16:45 WIB
Komisi IV DPR: Greenpeace Obok-obok Indonesia, BIN dan Polri Harus Usut Tuntas
Firman Soebagyo/ist
RMOL. Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo mendesak pemerintah menindak tegas LSM asing Greenpeace, karena kerap membawa pejabat Amerika Serikat meninjau hutan tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan pihak berwenang.

Ia juga meminta Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri segera mengusut tuntas kasus tersebut untuk mengetahui siapa sebenarnya di balik Greenpeace.

“Selama ini kan Greenpeace membawa Duta Besar AS dan Menteri Luar Negeri AS ke lapangan (hutan) tanpa koordinasi kepada pemerintah. Ini sudah menyangkut kedaulatan. Pemerintah harus tegas. LSM asing punya kewajiban untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan undang-undang di Indonesia. Tidak bisa seenaknya mengobok-obok kedaulatan Indonesia. Badan Intelijen Negara dan Polri harus mengusut tuntas, siapa di balik Greenpeace," katanya kepada wartawan di Jakarta hari ini (Rabu, 24/11).

Firman juga menyoroti laporan Greenpeace bertajuk “Protection Money” yang dirilis beberapa waktu lalu. Menurutnya, laporan tersebut  tidak objektif dan tidak rasional. Soal tudingan Greenpeace, bahwa dana bantuan sebesar 1 miliar dolar AS dari Norwegia rawan dikorupsi, misalnya, kader Partai Golkar ini juga mengkritisi.

"Itu sangat berlebihan. Greenpeace tidak boleh asal menuduh. Jangan bikin suasana semakin keruh. Mekanisme penyerahan dananya saja belum jelas, bagaimana mau dikorupsi. Ini bisa memicu kemarahan rakyat Indonesia. Kadang-kadang, Greenpeace di seberang sana, kadang-kadang di seberang sini. Kalau terus begini, Greenpeace akan menjadi musuh bersama,” tandas dia. 

Sebelumnya, Staf Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Agus Purnomo mengatakan, terdapat kekeliruan dalam laporan Greenpeace berjudul “Protection Money.” Hal yang tidak benar dalam laporan tersebut, yaitu mengenai luas hutan yang akan dikonversi untuk industri dan dana internasional perubahan iklim yang diterima Indonesia bakal dikorupsi.

Dalam laporan tersebut, Greenpeace menganalisa bakal ada 63 juta hektar hutan sampai 2030 untuk pengembangan pulp dan papper, palm oil, pertambangan, dan energi terbarukan.

“Kita bingung, mereka (Greenpeace) menemukan angka itu dari mana. Karena setelah kita telusuri dari berbagai hal, kita tidak menemukan angka sebesar itu. Angka itu ngawur. Angka itu dikarang oleh mereka,” tukas Agus Purnomo kepada wartawan di Jakarta, Selasa (23/11).

Agus juga mempertanyakan kekhawatiran Greenpeace terkait dana internasional untuk perubahan iklim yang bakal didapat Indonesia akan dikorupsi. “Itu tidak benar, karena dana tersebut akan diperoleh setelah Indonesia terbukti berhasil menurunkan emisi karbondioksida,” tandasnya.

Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan, Indonesia dijanjikan 220 juta dolar Amerika untuk dana perubahan iklim di luar dana dari Norwegia dan hanya sekitar dua persen atau 5,5 juta dolar Amerika yang dikelola oleh pemerintah.

“Dana yang lain dikelola oleh program-program internasional dan bilateral. Jadi bagaimana pemerintah bisa mengkorupsi dana itu?” tanya Agus. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA