WAWANCARA

LPK65: Pencabutan Paspor, Pelanggaran HAM dan Melawan UU

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Sabtu, 13 November 2010, 10:49 WIB
RMOL. Direktur Jenderal (Dirjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) RI Aidir Amin Daud, berinisiatif menemui pengurus dan anggota Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65) Nederland, yang diwakili MD Kartaprawira, A.Sungkono, Ibrahim Isa dan Gde Arka.

Pertemuan berlangsung di hari Selasa (9/11) lalu di Amsterdam. Aidir Amin Daud didampingi oleh Atase Imigrasi KBRI Den Haag  Sarno Wijaya.
 
Aidir Amin Daud bermaksud membicarakan secara informal, dari hati ke hati, mengenai permasalahan yang berkaitan dengan orang-orang Indonesia di luar negeri yang terhalang pulang (OTP) karena dicabut paspornya oleh rezim Suharto pasca timbulnya peristiwa yang disebut Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.

Setelah pertemuan tersebut, Rakyat Merdeka Online berkesempatan bincang-bincang dengan Ketua LPK65 di Belanda, MD Kartaprawira, menanyakan beberapa hal mengenai pembicaraan dengan Dirjen AHU Aidir Amin Daud.

Berikut ini kutipan wawancara itu.


Khusus mengenai soal pemulihan kewarganegaraan, menurut Dirjen AHU Aidir Amin, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mempertanyakan, "Mengapa sampai detik ini masalah para OTP tersebut belum juga selesai, padahal sudah ada peluang untuk mendapatkan kembali paspor dan kewarganegaraan RI melalui prosedur yang ditetapkan dalam UU Kewarganegaraan RI Nomor 11, Tahun 2006."  Komentar anda?
Pertanyaan demikian memang wajar. Tapi di samping kewajaran itu, tampak kesalahan fatal suatu logika kebijakan, yang intinya: "Kalian dicabut paspornya atau kewarganegaraannya, sekarang kalian bisa mendapatkan kembali paspornya atau kewarganegaraannya. Dengan demikian selesailah sudah masalahnya, habis perkara".

Sebab ada hal-hal mendasar dan prinsipiil yang dilupakan atau ditinggalkan oleh penyelenggara negara, yaitu  pertama-tama seharusnya diselesaikan lebih dulu masalah pengakuan terjadinya pelanggaran HAM berat terhadap mereka dan kemudian meminta maaf kepadanya. Sesudah itu dituntaskan kasus pelanggaran HAM tersebut secara adil, jujur dan manusiawi untuk pemulihan semua hak-hak sipil, ekonomi dan politik, kompensasi, restitusi. Sedang  pengembalian paspor atau kewarganegaraan adalah salah satu bagian kecil dari hasil penuntasan kasus tersebut.

Di samping itu adalah suatu cacat ketidak adilan bahwa para OTP di"samakan" dengan orang-orang yang ke luar negeri, kemudian menghilang atau selama 5 lima tahun berturut-turut tidak pernah melaporkan diri dengan akibat kehilangan kewarganegaraannya. Sedang para OTP tidak menghilang dan tidak melarikan diri, tapi dicabut paspornya yang akibatnya tidak bisa pulang ke tanah air. Pencabutan paspor tersebut adalah bertentangan dengan undang-undang, merupakan pelanggaran HAM dan mengakibatkan berbagai penderitaan serius bagi mereka di luar negeri dan sanak keluarganya yang terpisah di tanah air.

Bagaimana tanggapan anda tentang usul Dirjen AHU, agar OTP mengirim surat resmi kepada Presiden dan lembaga-lembaga negara lainnya?
Saran dari Dirjen AHU, agar kami (LPK65) mengirimkan surat resmi mengenai kasus tersebut di atas kepada lembaga-lembaga negara: Presiden, MPR, DPR, Komnas HAM bisa diterima sebagai bahan pertimbangan. Meskipun sesungguhnya data-data kasus yang sudah berjalan 45 tahun tersebut dan sering dipublikasikan di berbagai media massa sudah lebih dari cukup bagi penyelenggara negara untuk menjadi dasar pembuatan kebijakan yang adil dan manusiawi.

Dalam pembicaraan timbul gagasan pemberian "fasilitas yang  bersifat keindonesiaan" bagi OTP yang tetap berkewarganegaraan asing. Pendapat anda?
Gagasan pemberian "fasilitas yang  bersifat keindonesiaan"  (misalnya kemudahan bagi para OTP yang tetap memegang kewarganegaraan asing untuk mendapatkan izin tinggal di Indonesia tanpa batas atau kemudahan perpanjangan izin tinggal) adalah gagasan yang brilian dan manusiawi. Sebab meskipun mereka tetap memiliki paspor asing, eksistensinya sebagai bangsa Indonesia tidak akan berubah. Apa lagi kalau mengingat bahwa mereka ini tetap cinta tanah air, tidak pernah berontak melawan RI, mendukung Pancasila dan NKRI.

Bagaimana pendapat anda tentang pertemuan dengan Dirjen AHU tersebut?

Meskipun pertemuan tersebut bersifat informal (tak resmi) tapi  mempunyai arti positif,  dalam artian kedua belah pihak saling mendapat masukan-masukan langsung dari yang bersangkutan, yang berguna untuk melangkah ke depan demi penuntasan kasus pelanggaran HAM di luar negeri, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 di Indonesia secara keseluruhan. Dan alhamdulillah, hal-hal penting  yang kami utarakan di atas bisa dimengerti dengan baik oleh Aidir Amin Daud. Tentu saja semua itu tergantung kemauan politik penyelenggara negara Indonesia.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA