Begitu juga soal langkah SBY memperpanjang masa jabatan komisioner Komisi Yudisial, beberapa waktu lalu. Padahal UU menyebutkan secara eksplisif bahwa masa jabatan KY adalah lima tahun dan tidak bisa diperpanjang.
Tiga pelanggaran UU ini sebenarnya telah menunjukkan bahwa SBY tidak kokoh dan fokus dalam menjalankan tugas konsitusinya sebagai Presiden. Dalam bahasa konstitusi, bisa disebut sebagai disorientasi konstitusi.
"Sekarang tergantung DPR. Pelanggaran itu diletakkan sebagai pelanggaran konstitusi atau tidak. Bolanya ada di DPR," tegas pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis saat berbincang dengan
Rakyat Merdeka Online, di Gedung Nusantara IV DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (6/10).
Sebab, tambah dia, jika memperkarakan SBY melalui jalur
judicial review ke Mahkamah Konstitusi pun tidak mudah.
"Agak berat tapi kalau bicara
class action itu bisa," bebernya.
Menurut dia, upaya
class action ke pengadilan negeri jika menyangkut pelanggaran kepala negara, bisa ditempuh oleh siapapun. Tak terkecuali lembaga swadaya masyarakat seperti Kontras, YLBHI dan ICW atau bisa juga kelompok HKBP menyusul insiden penusukan pendetanya di Bekasi beberapa waktu lalu. Untuk kasus ini SBY bisa digugat gagal menjamin kebebasan beragama, memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyatnya sebagaimana amanah konstitusi.
Itu masuk kategori pidana bukan?"Bukan, itu bukan pidana tapi masuk dalam kategori perbuatan tercela. Itu diatur dalam UUD kalau tidak salah Pasal 7A atau 7B," jelas Margarito.
Konsekuensinya bagi SBY? "Konsekuensinya adalah
impeach oleh DPR. Sekarang tinggal DPR mau meletakkan kerangka pelanggaran itu seperti apa," tukasnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: