Mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso mempaparkan, ada lima faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam hal ini yang diyakininya telah berubah total. Sebelum reformasi bergulir, dalam ingatannya masyarakat Indonesia lebih terkesan manut (penurut), ramah dan murah senyum. Walaupun saat itu dibawah belenggu penguasa Orde Baru tapi setelah reformasi menjadi brutal dan beringas.
Aparat kepolisian dan TNI mengalami kapasitas kewenangan yang cukup dtratis. Jika dulu semua kewenangan pengamanan diborong oleh TNI, saat ini diambil semua oleh polisi.
"Padahal rasio polisi dan masyarakat itu satu banding 600, termasuk polisi yang bukan lapangan," tutur Sutiyoso dalam dialog kenegaraan bertajuk "Maraknya Konflik dan Kekerasan Ciri Disfungsi Negara?" di pressroom DPD, Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta, Rabu (6/10).
Faktor ketiga, sebutnya, adalah ekonomi. Semakin luas lapangan pengangguran di Indonesia akan memicu rawan konflik sosial. Selain itu, juga diakibatkan tumpah tindih atau ketidakjelasan kewenangan dari petugas keamanan setempat.
"Contoh simpel Satpol PP dan polisi saja suka berebutan mengatasi masalah parkiran mobil," kata Sutiyoso mencontohkan.
Terakhir adalah faktor penegakan hukum yang tidak konsisten. Setelah reformasi digulirkan semua seolah-olah menjadi ditolerir. Aparat keamanan pun enggan memberikan teguran.
"Rakyat kita terlalu dibiarkan. Misalnya melakukan perampokan, asalkan dilakukan berjamaah akan dibiarkan begitu saja. Jadi rakyat menerjemahkan demokrasi secara keliru," tukasnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: