Artikel ini mengkaji penerapan prinsip-prinsip hukum universal dalam perkara dugaan ijazah palsu mantan Presiden RI, dengan menyoroti pergeseran arah penegakan hukum dari substansi menuju intimidasi terhadap pelapor. Disorot pula bagaimana aparat mengabaikan asas Audi Alteram Partem, mengaburkan pembuktian dalam perkara pidana (In Criminalibus Probationes Debent Esse Luce Clariores), serta menyimpang dari prinsip praduga tak bersalah (In dubio Pro Reo). Dengan menggunakan pendekatan normatif-analitis, artikel ini menilai bahwa proses hukum yang berjalan tidak mencerminkan prinsip negara hukum (rechtstaat), melainkan cenderung melanggengkan impunitas melalui kriminalisasi partisipasi publik.
Pendahuluan: Menyoal Kepastian Hukum dalam Dugaan Kepalsuan Dokumen Publik
Di tengah demokrasi yang menuntut transparansi dan akuntabilitas, muncul pertanyaan krusial: apakah dokumen pendidikan Presiden merupakan dokumen publik yang sah diverifikasi? Jika ya, mengapa ketika publik bertanya, negara justru membalasnya dengan proses pidana?
Penerbitan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) terhadap sejumlah warga seperti Rismon Sianipar dan Roy Suryo, justru menjadi paradoks penegakan hukum. Bukan terduga pelaku pemalsuan yang diselidiki lebih lanjut, melainkan terlapor yang justru dijadikan objek penyidikan. Fenomena ini menunjukkan penyimpangan serius dalam penegakan prinsip-prinsip hukum pidana dan tata kelola pemerintahan yang akuntabel.
Kedudukan Dokumen Publik dan Hak Bertanya dalam Negara Demokratis
Ijazah sebagai syarat administrasi pencalonan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu merupakan dokumen publik, bukan milik privat. Oleh karena itu, publik memiliki legitimasi hukum untuk menuntut verifikasi dan klarifikasi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-X/2012 memperluas legal standing masyarakat dalam perkara yang menyangkut kepentingan publik. Maka, sesungguhnya para terlapor memiliki rechtelijk belang untuk mempertanyakan keabsahan dokumen tersebut.
Upaya hukum berupa gugatan perdata dan pelaporan pidana yang dilakukan oleh Bambang Tri Mulyono dan pendamping-pendamping hukum lainnya semestinya ditempatkan dalam konteks partisipasi publik dalam demokrasi konstitusional. Ketika negara justru membalas dengan pemidanaan, maka yang dipertanyakan bukan lagi validitas laporan, tetapi validitas sistem hukum itu sendiri.
Analisis Yuridis: Konstruksi Hukum Tanpa Pondasi
1. Audi Alteram Partem
Prinsip keadilan universal ini mewajibkan negara untuk memberi kesempatan seluas-luasnya bagi pihak yang berkepentingan untuk didengar sebelum diambil tindakan hukum. Klarifikasi yang dilakukan di Polda Metro terhadap para pelapor dilakukan tanpa kejelasan status hukum, tanpa notulensi resmi, dan tanpa akses informasi terbuka. Proses ini tidak hanya mencederai due process of law, tetapi juga menihilkan hak konstitusional warga untuk memperoleh kepastian hukum sebagaimana dimuat dalam Pasal 28D UUD 1945.
2. In Criminalibus Probationes Debent Esse Luce Clariores
Dalam perkara pidana, pembuktian harus dilakukan dengan derajat kejelasan yang melebihi dugaan wajar. Namun hingga hari ini, negara tidak pernah menampilkan bukti autentik secara forensik atas ijazah Presiden. Tanpa pembuktian yang terbuka, logis, dan dapat diuji secara ilmiah, maka tindakan mengkriminalkan terlapor justru menyalahi asas pembuktian yang terang dalam perkara pidana.
3. Falsus in Uno, Falsus in Omnibus
Kredibilitas aparat penegak hukum diuji saat mereka menutup proses gelar perkara khusus, merahasiakan hasil klarifikasi kampus, dan menolak membuka salinan ijazah kepada publik. Ketika satu bagian dari proses hukum dijalankan dengan manipulasi atau rekayasa, maka seluruh integritas proses tersebut dapat dianggap cacat. Asas ini mengingatkan bahwa kejujuran proses menentukan validitas keseluruhan putusan hukum.
4. In Dubio Pro Reo
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam situasi keraguan, yang diuntungkan haruslah pihak terlapor atau terdakwa. Namun dalam konteks perkara ini, pihak yang seharusnya mendapat perlindungan karena bertanya justru dijadikan tersangka. Negara tidak dalam posisi in dubio terhadap pelapor, melainkan telah membentuk prasangka hukum terhadap mereka tanpa pembuktian komprehensif terhadap pokok persoalan: keaslian dokumen ijazah.
Distorsi Penegakan Hukum: Antara Kepentingan Simbolik dan Pengabaian Keadilan
Penegakan hukum tidak boleh dimotivasi oleh kepentingan simbolik untuk menjaga citra institusi. Dalam perkara ini, hukum digunakan sebagai instrumen delegitimasi atas suara publik. SPDP diterbitkan bukan karena kejahatan telah dibuktikan, tetapi karena suara terlapor dianggap mengganggu stabilitas politik. Ini adalah bentuk criminalization of dissent, dan bertentangan secara prinsipil dengan asas lex certa dan non-retroaktivitas hukum pidana.
Alih-alih menyelidiki dugaan pemalsuan dokumen, negara memilih untuk menutup substansi dan mengalihkan perhatian kepada pelapor. Ketiadaan verifikasi terbuka dari universitas dan absennya dokumen akademik yang dapat diuji membuat seluruh proses hukum kehilangan pijakan objektif.
Penutup: Demokrasi Tanpa Ruang Bertanya Adalah Otoritarianisme Terselubung
Negara hukum tidak menuntut ketaatan buta. Ia menuntut partisipasi kritis dan akuntabilitas terbuka. Kriminalisasi terhadap terlapor dalam perkara dugaan ijazah palsu Jokowi merupakan bentuk pembungkaman terhadap hak konstitusional masyarakat. Dalam paradigma rechtstaat, tidak ada satu pun pejabat publik yang kebal terhadap pertanyaan publik, apalagi terhadap tuntutan transparansi administratif.
Apabila prinsip-prinsip audi alteram partem, in dubio pro reo, dan probationes luce clariores diabaikan, maka yang terjadi bukan penegakan hukum, melainkan represi terselubung yang dikemas dalam kemasan prosedural.
Oleh karena itu, negara harus menghentikan proses kriminalisasi terhadap terlapor, membuka seluruh dokumen yang relevan, dan mengembalikan kepercayaan publik melalui mekanisme verifikasi ilmiah, bukan intimidasi hukum. Karena jika negara gagal menjawab, maka publik berhak meragukan.
Catatan Akhir:
Tulisan ini ditujukan sebagai kritik akademik terhadap penyimpangan prinsip negara hukum dalam praktik hukum pidana yang berlangsung. Ia menyerukan pemulihan akal sehat hukum, bukan sekadar pembelaan terhadap pihak-pihak tertentu, melainkan pembelaan terhadap masa depan konstitusionalisme Indonesia. Advokat, aktivis ProDem.
BERITA TERKAIT: