ASEAN Tonggak Utama Perdamaian Kawasan

Oleh: Abdul Rouf Ade Segun*

Jumat, 04 Juli 2025, 22:38 WIB
ASEAN Tonggak Utama Perdamaian Kawasan
Ilustrasi/Ist
SUDAH tiga pekan ini, Kamboja dan Thailand kembali bersitegang. Bukan hal baru. Sengketa perbatasan antara dua tetangga lama ini seperti bara dalam sekam. Lama diam, tapi sekali menyala bisa membakar apa saja termasuk kepercayaan terhadap ASEAN.

Pemicunya tetap sama yaitu garis batas. Lokasinya bergeser, tapi narasinya tetap. Kali ini, bentrokan pecah lagi di Chong Bok, perbatasan timur dekat Laos. Seorang tentara Kamboja tewas. Thailand langsung merespons dengan menutup pos perbatasan di Buriram, disusul langkah serupa dari Kamboja di Oddar Meanchey. Puluhan ribu warga sipil jadi korban secara sosial dan ekonomi.

Perbatasan Sa Kaeo, Poipet, salah satu jalur tersibuk bagi pekerja lintas negara, kini dibatasi operasionalnya hanya dari jam 8 pagi hingga 4 sore. Padahal sebelumnya dibuka dari pukul 06.00 hingga 22.00. Akibatnya, warung-warung tutup lebih awal, toko ganja di Aranyaprathet sepi, tukang taksi kehilangan penumpang, pegawai kasino dipecat. Dan yang lebih gawat: suasana genting mulai menular ke politik dalam negeri Thailand.

Rekaman suara Paetongtarn Shinawatra bocor. Ia mengkritik jenderalnya sendiri. Koalisi pemerintah pun langsung goyah, Partai Bhumjaithai angkat kaki. Ancaman runtuhnya pemerintahan hanya karena sengketa di tapal batas.

Lalu ASEAN di mana?

ASEAN seperti biasa menonton dari kejauhan sambil terus menggumamkan mantra "non-intervensi". Padahal ASEAN pernah jauh lebih berani. ASEAN pernah jadi penengah utama dalam konflik Kamboja-Vietnam di tahun 1980-an. Bahkan Indonesia turun langsung menjadi tuan rumah negosiasi damai.

Kini, ASEAN justru menggantungkan penyelesaian pada forum bilateral yang sejak awal tak ampuh. Sudah sejak 2008 hingga 2011 konflik berdarah ini terjadi. Puluhan tentara gugur. Dan meski Mahkamah Internasional pada 2015 sudah memutuskan Candi Preah Vihear milik Kamboja, lahan-lahan di sekitarnya masih terus disengketakan hingga kini.

Yang lebih ironis dalam hitungan hari, Malaysia akan menggelar ASEAN Ministerial Meeting ke-58 dan ASEAN Regional Forum (ARF). Sebuah panggung megah diplomasi regional. Isu Myanmar dipastikan masuk agenda. Tapi konflik Thailand–Kamboja? Tak terdengar. Padahal justru di sinilah kesempatan ASEAN menebus ketidaktegasannya selama ini.

Bayangkan, satu forum bisa menyentuh dua luka ASEAN sekaligus: Myanmar dan konflik perbatasan. Dua-duanya berkaitan dengan satu hal kegagalan mekanisme bilateral dan lemahnya penyelesaian damai dalam rumah sendiri.

ASEAN tak bisa lagi sembunyi di balik prinsip “non-intervensi” saat dua anggotanya Thailand dan Kamboja yang tak mampu duduk bersama menyelesaikan sengketa tanah kedua negara. Apalagi ketika dampaknya sudah terasa lintas sektor dan lintas batas.

Dulu, ASEAN bisa mendamaikan Kamboja dan Vietnam. Bisa jadi penjaga gencatan senjata. Bisa dorong dialog. Sekarang? Justru lebih sibuk menghindar, khawatir dianggap mencampuri urusan dalam negeri anggota sendiri.

Tapi jika kita terus diam, ASEAN bukan lagi “rumah bersama”. Ia hanya jadi ruang sewa rapat. Dipakai seminggu, lalu ditinggal tanpa keputusan berarti.

ASEAN Ministerial Meeting minggu depan seharusnya jadi titik balik. Pertama, dorong pembentukan task force kawasan untuk sengketa Thailand-Kamboja seperti ASEAN Troika yang pernah dibentuk untuk mendamaikan Kamboja di era 1990-an.

Kedua, desak Myanmar patuh penuh pada konsensus lima poin. Bukan hanya menerima utusan ASEAN, tapi membuka akses kemanusiaan dan menghentikan kekerasan.

Sementara itu, ekonomi warga perbatasan runtuh. Pelintasan dibatasi. Perdagangan terganggu. Pekerja migran Kamboja sekitar 500.000 orang terancam tak bisa masuk Thailand. Larangan sepeda motor asal Kamboja masuk, larangan bar dan kasino, hingga embargo buah dan bahan bakar saling dilayangkan. Ini bukan lagi konflik nasional. Ini krisis kawasan.

Kalau ASEAN tak juga turun tangan dikhawatirkan pihak luar akan masuk. Amerika atau China tak akan tinggal diam. Dan kita tahu, begitu kekuatan besar mencium konflik kecil, maka panggung ASEAN akan jadi ladang pengaruh mereka. ASEAN akan kembali kehilangan otoritas moralnya.

Maka, ASEAN harus bangkit dari sikap pasif. Gagasan seperti misi mediasi kawasan, zona demiliterisasi di titik panas, hingga penyusunan peta perbatasan bersama lewat lembaga independen, harus segera dilakukan. Kalau perlu, dorong ke Mahkamah Internasional lagi bukan untuk mengulang sejarah, tapi untuk menutupnya dengan tuntas.

ASEAN tak boleh hanya jadi organisasi dagang. Harus juga jadi penjamin perdamaian. Kita pernah berhasil. Sekarang tinggal punya keberanian atau tidak.

Kalau tidak, tinggal tunggu waktu. Konflik kecil ini bisa jadi pemicu badai besar. Bukan cuma buat Kamboja dan Thailand tapi buat kawasan yang selama ini kita banggakan sebagai salah satu yang paling damai di dunia. rmol news logo article

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional, Universitas Paramadina

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA