Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksdya TNI Irvansyah menilai persoalan pagar laut dapat diselesaikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tanpa perlu melibatkan banyak pihak.
Menurut Irvansyah, hal tersebut merupakan kewenangan KKP, dan yakin bahwa KKP mampu membereskan hal tersebut.
Selanjutnya KKP juga telah melakukan penyegelan terhadap beberapa pagar laut yang terdeteksi di perairan Tangerang dan Bekasi.
Langkah ini diambil sebagai bentuk pengawasan terhadap aktivitas ilegal yang berpotensi merugikan ekosistem laut dan aktivitas nelayan.
Sementara Kakorpolairud Baharkam Polri Irjen Mohammad Yassin memastikan belum ada unsur tindak pidana dalam kasus tersebut.
Sementara itu, KKP disebut sebagai pihak yang memiliki kewenangan penuh untuk menangani permasalahan tersebut.
Sehubungan dengan masalah tersebut, sesungguhnya dalam peristiwa hukum yang terjadi terkait pagar laut di sekitar perairan Tangerang dan Bekasi, apakah masih merupakan pelanggaran administratif dan sanksinya bersifat administratif, yang penyelesaiannya menjadi kewenangan Kementerian KKP?
Sebelum menjawab permasalahan tersebut, peristiwa hukum terkait pagar laut merupakan peristiwa hukum yang masuk dalam ranah pelanggaran yang sifatnya administratif. Maka perlu terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan pelanggaran administratif dan apa sanksi atas pelanggaran administratif tersebut.
Pelanggaran administratif merupakan bentuk pelanggaran yang dapat diberikan sanksi administratif bagi mereka yang melanggarnya.
Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara.”
Jenis sanksi administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu:
a. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang, dwangsom;
b. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif;
c. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan.
Tujuan penerapan sanksi administrasi terhadap suatu pelanggaran yang terjadi dimaksudkan sebagai upaya badan administrasi untuk mempertahankan norma-norma hukum administrasi yang telah ditetapkan dalam wujud peraturan perundang-undangan.
Mempertahankan norma hukum administrasi pada dasarnya menjadi konsekuensi logis dari wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada badan pemerintahan untuk:
a. Menjamin penegakan norma hukum administrasi;
b. Sebagai pelaksanaan dari wewenang pemerintahan yang berasal dari aturan hukum administrasi itu sendiri; dan
c. Tanpa melalui perantaraan pihak ketiga (peradilan).
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang mengubah Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan jo Pasal 16 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dapat dimaknai bahwa setiap orang baik individu ataupun korporasi (swasta, koperasi ataupun lainnya) dapat melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil dengan terlebih dahulu mempunyai izin lokasi dan izin pengelolaan.
Untuk dapat memanfaatkan ruang laut, maka dalam pelaksanaannya pemberian izin pemanfaatannya harus sesuai ketentuan Pasal 101 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, yaitu: Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) diberikan setelah dilakukan kajian dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan: rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, rencana tata ruang wilayah provinsi, RTR KSN, RZ KSNT, RZ KAW, RTR pulau/kepulauan; dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Kemudian terkait peristiwa pagar laut di Tangerang dan Bekasi, lebih tepat masih bersifat pelanggaran yang sifatnya administratif, yang lebih tepat diterapkan berupa sanksi administratif terkait ketentuan Pasal 2 huruf b Peraturan Menteri KP Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan: “Sanksi administratif di bidang kelautan dan perikanan dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan: b. pemanfaatan ruang Laut.”
Penerapan sanksi administratif terkait pagar laut sebagaimana diuraikan di atas, pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri KP Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan, tersebut bertujuan untuk:
Pertama, menjamin penegakan norma hukum administrasi dalam hal ini yaitu ketentuan: Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Peraturan Menteri KP Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan.
Kedua, Sebagai pelaksanaan dari wewenang pemerintahan yang berasal dari aturan hukum administrasi itu sendiri sebagaimana pada poin pertama di atas, yang dalam hal ini merupakan kewenangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ketiga, Tanpa melalui perantaraan pihak ketiga (peradilan), yang dalam hal ini menjadi kewenangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam menyelesaikan seluruh pelanggaran administratif sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri KP Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Berdasarkan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di atas, maka oleh karena dalam peristiwa hukum terkait pagar laut di sekitar perairan Tangerang Dan Bekasi masih bersifat pelanggaran administratif, maka dalam penyelesaiannya menjadi kewenangan sepenuhnya dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, bukan menjadi kewenangan perantaraan pihak ketiga dalam hal ini badan peradilan atau aparat penegak hukum lainnya.
*Penulis adalah Dosen Tetap Hukum Acara Tata Usaha Negara/Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia
BERITA TERKAIT: