PRODUKTIVITAS tenaga kerja merujuk pada efektivitas pemanfaatan tenaga kerja dalam proses produksi barang dan jasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja adalah sikap kerja, tingkat keterampilan, hubungan antara tenaga kerja dan pimpinan organisasi, manajemen produktivitas, dan efisiensi tenaga kerja. Dibandingkan negara ASEAN, Indonesia berada di peringkat kelima terkait produktivitas.
Produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di peringkat kelima dibandingkan negara ASEAN SEBESAR 26.328 dolar pada tahun 2023. Produktivitas Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia sebesar 59.978 dolar, Brunei Darussalam sebesar 120.112 dolar, dan Singapura sebesar 172.182 dolar.
Berdasar data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), jumlah mahasiswa baru Indonesia pada tahun 2023 lebih dari 2 juta. Jumlah ini naik 4,02% dibandingkan tahun sebelumnya.
Jumlah mahasiswa paling banyak berasal dari jenjang sarjana (S-1) sebesar 7,83 juta orang; sebanyak 607.228 mahasiswa menempuh jenjang pendidikan D-3; sebanyak 351.892 mahasiswa menempuh jenjang magister (S-2); dan sebanyak 273.894 mahasiswa menempuh jenjang pendidikan D-4.
Pada tahun 2024, pendaftar PTN akademik sebanyak 1.961.878 orang dengan daya tampung 219.709, kemudian mahasiswa yang diterima sebanyak 190.444. Adapun jumlah pendaftar PTN vokasi sebanyak 257.256, daya tampung total sebanyak 36.307, dan mahasiswa yang diterima sebanyak 28.415.
Penempatan pekerja migran Indonesia pada Agustus 2024 sebanyak 23.197 orang. Di wilayah Hongkong, Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, dan Jepang penempatan jumlah pekerja migran sebanyak 20.081 atau 86,55 persen dari seluruh penempatan.
Pekerja migran tersebut bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART), caregiver, pekerja, pekerja pabrik, pekerja domestik, dan pekerjaan lainnya.
Total lima jabatan tersebut mencapai 47.365 (75,97 persen) dari seluruh lowongan pekerjaan yang tersedia pada SIP2MI (Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia) sebanyak 62.342.
Provinsi terbanyak penyumbang pekerja migran adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan sebagainya. Sedangkan lima kabupaten yang mengirim tenaga kerja pada Agustus 2024 adalah Indramayu, Cilacap, Ponorogo, Cirebon, dan Malang.
Jumlah angkatan kerja berdasar Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2024 sebanyak 152,11 juta orang, naik 4,4 juta orang dibanding Agustus 2024. Penduduk yang bekerja pada Agustus 2024 sebanyak 144,64 juta orang naik sebanyak 4,79 juta orang dari Agustus 2023.
Lapangan usaha yang mengalami peningkatan terbesar adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 1,31 juta orang. Pada Agustus 2024 sebanyak 60,81 juta orang (42,05 persen) bekerja pada kegiatan formal, naik sebesar 1,16 persen poin dibanding Agustus 2023.
Persentase setengah pengangguran pada Agustus 2024 naik sebesar 1,32 persen poin, sedangkan pekerja paruh waktu turun sebesar 0,46 persen poin dibanding Agustus 2023.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2024 sebesar 4,91 persen, turun sebesar 0,41 persen poin dibanding pada Agustus 2023.
Angkatan kerja yang tidak terserap pasar kerja menjadi pengangguran jumlahnya 7,47 juta orang, atau menurun sekitar 0,39 juta orang dibandingkan Agustus 2023. Jumlah pengangguran sebanyak 7,47 juta orang itu setara dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,91 persen.
Penurunan jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2024 dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu terjadi baik pada penduduk laki-laki maupun perempuan, serta terjadi di perkotaan maupun pedesaan.
E. Langkah-langkah Terobosan Stakeholder SDM Indonesia
Diperlukan sejumlah langkah-langkah terobosan untuk mengatasi semua masalah yang ada.
Hal ini tentunya perlu keterlibatan dari pemerintah dan stakeholder terkait. Menjalin kerja sama dengan negara-negara yang membutuhkan tenaga kesehatan seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang agar mudah mendapatkan visa
Dalam rangka memudahkan penyerapan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, pemerintah perlu bekerja sama dengan negara-negara yang dituju untuk memudahkan proses administrasi.
Contoh, kerja sama dalam pengurusan visa dan izin kerja. Selain administrasi, negara juga perlu menjamin keamanan setiap WNI yang bekerja di luar negeri dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi dengan baik.
Peningkatan pendidikan vokasi dan pengembangan BLK harus dilakukan dengan pendekatan berbasis data untuk memastikan relevansi pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja.
Per Maret 2024, jumlah BLK di Indonesia adalah 4.282 unit. Demi meningkatkan akselerasi pelatihan kerja, Kemnaker akan membangun BLK komunitas sebesar 400 lembaga. Sementara itu, ada ketimpangan angkatan kerja. Sebanyak 58,76 persen tenaga kerja adalah lulusan SD dan SMP.
Dengan kondisi ini, tentu perlu pembekalan keterampilan yang memadai bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja dengan pendidikan rendah. Setiap BLK perlu dilengkapi fasilitas berbasis teknologi canggih seperti simulasi AI, untuk mempersiapkan tenaga kerja menghadapi Society 5.0.
Menurut Kemenristekdikti, pendidikan vokasional di Indonesia terdiri dari 1.365 lembaga pendidikan, di antaranya 1.103 akademi kejuruan dan 262 politeknik. Jumlah pendidikan vokasi di Indonesia hanya 16 persen dari seluruh institusi pendidikan.
Kenyataan ini berbeda dengan negara Cina yang 56 persen perguruan tingginya adalah pendidikan vokasi. Cina menyiapkan lulusan yang siap kerja. Hal ini yang perlu diperhatikan Indonesia, memperbanyak BLK dan pendidikan vokasi sesuai dengan kebutuhan zaman.
Pemprov membuka kesempatan untuk bernegosiasi langsung dengan negara penempatan dengan pengawasan dari Pemeritah Pusat.
Setiap Pemprov perlu pro-aktif dalam menjalin kerja sama dengan negara tujuan penempatan tenaga kerja. Hal ini dimaksudkan supaya Pemprov bisa mengontrol langsung dan memantau kebutuhan serta keamanan warga yang bekerja di luar negeri.
Jika Pemprov sudah terlibat langsung dalam kerja sama dengan negara tujuan penempatan tenaga kerja, proses administrasi dan perizinan diharapkan bisa berjalan lebih cepat.
F. Manfaatkan Momentum Bonus Demografi dengan Tepat
Bonus demografi dan percepatan digitalisasi merupakan momentum krusial yang harus dimanfaatkan dengan langkah strategis dan inovatif.
Tentu saja, Indonesia harus menyelesaikan sejumlah persoalan yang ada. Dengan mengubah tenaga kerja biasa menjadi pekerja profesional, utamanya di bidang teknologi dan AI, ini adalah salah satu solusi terbaik. Apalagi dengan adanya AI, sejumlah pekerjaan konvensional bisa tergantikan oleh teknologi.
Memperbanyak pendidikan vokasi dan BLK untuk memberikan keterampilan baru bagi 58,76 persen tenaga kerja yang merupakan lulusan SD dan SMP. Pemerintah bisa memfasilitasi pembekalan keterampilan lebih masif lagi agar tenaga kerja yang belum terserap bisa berpenghasilan dengan usaha mereka sendiri. Pendidikan vokasi dan BLK yang maju akan menciptakan generasi yang siap kerja.
Terakhir, kita perlu mengembalikan kejayaan swasembada pangan yang pernah diraih Indonesia sebelumnya. Kebijakan dari hulu ke hilir perlu dievaluasi kembali agar berpihak pada petani.
Ketersedian bibit, pupuk murah, bantuan modal, dan alsintan produksi dalam negeri diperlukan oleh para petani. Petani milenial perlu diberikan pelatihan terkait teknologi smart farming agar dapat memaksimalkan sistem pertanian dengan lebih baik.
Selain itu, petani perlu dilatih untuk memasarkan hasil pertaniannya menggunakan teknologi agar petani tidak mengalami kerugian saat panen tiba. Mari menyongsong Era Society 5.0 dengan lebih berdaya lagi.
Mari katong baku jaga!
*Penulis adalah Pemerhati Ketenagakerjaan dan Pendidikan
BERITA TERKAIT: