Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sodium Ion Vs Litium Ion

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/rusdianto-samawa-5'>RUSDIANTO SAMAWA</a>
OLEH: RUSDIANTO SAMAWA
  • Senin, 29 Januari 2024, 08:12 WIB
Sodium Ion Vs Litium Ion
Sodium Ion Battery/Net
UNGKAPAN Tom Lembong di salah satu stasiun TV swasta sungguh membuat petani garam tercengang, sekaligus berharap, agar agro maritim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar Amin) dapat memanfaatkan ruang pesisir yang luas lahannya 40 juta hektare untuk diintegrasikan ke dalam tata kelola lahan garam. Dengan demikian perdebatan Tom Lembong dengan Luhut Binsar Panjaitan dan Bahlil Lahadalia dapat menjawab kegagalan rezim Jokowi yang tak bisa mengobati keresahan, kesusahan dan kemiskinan petani garam.

Luhut Binsar Panjaitan dan Bahlil Lahadalia belum paham bahwa garam bisa gantikan litium menjadi baterai. Walaupun kapasitas baterai kecil, tetapi ini, harapan kedaulatan sumber daya mineral Indonesia yang tak dilirik sama sekali. Padahal, garam bisa memperkuat program kebijakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Kami dukung Tom Lembong, debat terbuka. Luhut dan Bahlil jangan bilang hoax kepada lawan debat. Buktikan saja datanya. Luhut dan Bahlil lebih lemah dalam argumentasi dan cenderung menyerang pribadi.

Padahal, nikel ke depan sudah tak tersedia dan pasti beralih ke energi lain, seperti garam. Karena rezim Jokowi, keruk nikel hanya kepentingan jual. Bukan mementingkan kedaulatan rakyat dan negara. Ingat ekspor ilegal nikel ke China, lolos tanpa ada proses hukum. Ini pertanda hilirisasi nikel itu omong kosong.

Semua orang jadi menteri. Kalau prinsip jual, pasti bisa semua. Apakah Menko Marves dan Menteri BKIPM pernah memikirkan petani garam? Jawabannya, kabinet Jokowi, malah menuduh hasil produksi garam Indonesia tidak berkualitas.

Hal itu alasan saja, supaya bisa impor jutaan ton garam. Main mafia lagi dalam impor. Ingat kasus impor garam 3 tahun lalu? Visi poros maritim dunia itu omong kosong. Hanya jadi penarik investasi. Sejak kapan pemerintah memperhatikan petani garam, maupun petani rumput laut.

Front Nelayan Indonesia (FNI) sudah menghitung hasil petani garam sejak 2015-2024. Ini tak lebih baik dan tak kunjung ada common will dari pemerintah untuk memberdayakan. Malah lahan banyak dirampas oleh pengusaha atas nama negara. Lagi-lagi alasan Land Reform Agraria, lahan petani diambil alih alasan masuk kawasan hutan lindung. Lalu aparat dibayar untuk backup.

Potensi Garam Indonesia

Kalau melihat potensi hasil produksi garam, maka bisa diolah menjadi baterai pengganti nikel. Ada banyak kelompok Pugar dan Kugar, tersebar di seluruh Indonesia seperti Rembang, Brebes, Cilacap, Demak, Batang, Kebumen, Purworejo, Jepara, Sampang, Pati, Indramayu, Sumenep, Bima, Demak, Pamekasan, Sumbawa, Lombok Barat, Kota Surabaya, Pangkajene, Jeneponto, Lamongan, Tuban, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Probolinggo, Gresik. Kota Kupang, Aceh Timur dan masih banyak lainnya yang bakal ketiban untung.

Kelompok Pemberdayaan Usaha Garam (Pugar) jumlahnya mencapai 11 ribuan dan Kelompok Usaha Garam (Kugar) sebanyak 12.728 yang terdiri dari 216.399 petambak garam rakyat di 541 desa di 200-an kecamatan dan 60 Kabupaten/Kota dengan luas lahan 33.854,36 ha dengan lahan produksi garam seluas 24.130,92 hektar. Berarti existing lahan pakai per orang (kepala keluarga) sekitar 1-156 hektar.

Tahukah bahwa produksi garam di Indonesia selalu melimpah sepanjang tahun. Kualitasnya pun tak perlu diragukan lagi mulai dari yang biasa hingga yang premium dengan harga Rp1000-2500. Kasian petani kita, sekilo harganya hanya segitu.

Tak kurang dari 6 daerah di bawah ini terkenal sebagai daerah penghasil garam di Indonesia. Tersebar di 5 provinsi yang berbeda, di antaranya ada di NTT, NTB, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Kualitas garam yang dihasilkan juga bersaing dengan produksi garam impor. Tetapi tetap pemerintah dan mafia bilang, rendah kadarnya. Duh omon-omon.

Luhut Binsar Panjaitan dan Bahlil Lahadalia tak berpihak ke petani garam. Hanya Tom Lembong dan Anies Baswedan dalam visi Agro Maritim mau memperjuangkan hak-hak petani garam. Apalagi menjadi bahan baku baterai. Maka ke depan petani garam Indonesia, menang banyak. Bisa-bisa penambang batubara dan nikel pindah ke penambang garam.

Bagi Anies dan Tom Lembong, garam bisa jadi terobosan untuk energi terbarukan bahwa baterai Sodium ion (aaram) berpotensi mengurangi biaya dengan menyediakan kapasitas penyimpanan empat kali lebih besar dengan bahan litium ion yang sumber bahan baku nikel. Sodium ion kurangi biaya dalam jangka panjang, dan mulai tinggalkan nikel. Karena sudah habis nikelnya. Lalu apa yang mau dihilirisasi?

Saat iklim memanas, ada kebutuhan mendesak untuk beralih ke sumber energi terbarukan, seperti garam, angin dan matahari. Tapi, energi terbarukan tidak selalu konsisten dengan sumber lain, yang berarti baterai diperlukan untuk menyimpan listrik yang digunakan.

Banyak baterai dibuat dengan logam tanah seperti litium, grafit, dan kobalt. Demi mencapai netralitas iklim, pada 2050 ke depan, Uni Eropa butuh litium 60 kali lebih banyak baterai. Padahal nikel menipis. Pada akhirnya nanti garam yang digunakan.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan "Garam akan segera jadi lebih penting daripada minyak dan gas. Garam akan dibayar mahal. Karena problemnya, ekstraksi litium berakibat kekurangan air, hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya fungsi ekosistem, dan degradasi tanah. Ketika logam diproduksi menggunakan kolam penguapan, misalnya, dibutuhkan sekitar 2,2 juta liter untuk menghasilkan satu metrik ton. Ini juga mahal secara finansial untuk menambang dalam skala besar. Maka Garam solusinya.

Di sinilah petani garam berperan sebagai plasma inti penyiapan bahan baku baterai yang bersumber energinya dari garam sehingga garam menjadi alternatif di masa depan. Baterai garam bukanlah konsep baru. Telah ada selama 50 tahun lalu. Sekarang salah satu alternatif yang lebih rendah biaya, dengan siklus hidup energi yang panjang.

Shenlong Zhao dari University of Sydney sudah meriset dan mencoba bahwa garam merupakan elektroda untuk meningkatkan reaktivitas belerang, elemen kunci yang menentukan kapasitas penyimpanan. Produk yang dihasilkan menunjukkan kapasitas super tinggi dan masa pakai sangat lama pada suhu ruangan sehingga garam bisa menjadi alternatif baterai lithium ion bisa penyimpanan berkualitas tinggi yang tidak merugikan bumi dan mudah diakses di tingkat lokal atau regional.

Federasi Eropa untuk Transportasi dan Lingkungan (TE) bahwa Garam (Natrium) di undang-undang baru sebagai pengganti Baterai Lithium yang bisa mengubah permainan dagang global sebagai sumber energi dan produksi daur ulang.

Mulai Juli 2024, produsen baterai yang menjual produknya di Eropa harus melaporkan total jejak karbon produk, mulai dari penambangan hingga daur ulang. Data itu kemudian akan digunakan untuk menetapkan batas maksimum karbon dioksida agar baterai mulai berlaku paling cepat Juli 2027.

Garam Baterai jauh lebih berkelanjutan daripada membakar fosil. Aturan baru Eropa tentang jejak karbon, daur ulang, dan pemeriksaan uji tuntas berarti Garam baterai yang dijual di Eropa adalah yang paling berkelanjutan secara global, menetapkan standar untuk seluruh dunia.

Energi Alternatif

Luhut dan Bahlil sendiri, tidak mau menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan menekan penggunaan sumber energi fosil. Perkembangan teknologi EBT berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah permintaan baterai sebagai energi storage.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis kebutuhan baterai dunia pada 2035 akan capai 5.300 giga watt hour (gWh) atau 5,3 terra watt hour (TWh). Namun, sudah diramal akan menyebabkan gejolak dunia yang mengalami kekurangan pasokan mineral nikel.

Ramalan tersebut diperkuat adanya analisis bahwa harga lithium yang cukup tinggi sementara nilai komersialnya belum sebanding. Hal ini salah satu penghalang investor untuk berinvestasi. Baterai berbasis lithium mengancam keberlanjutan lingkungan karena proses penambangan material dasarnya yang sangat masif di negara penghasil lithium. Setiap ton litium yang ditambang dari batuan keras menghasilkan 15 ton limbah gas karbondioksida.

Selanjutnya setiap proses ekstraksi litium akan menyebabkan lingkungan sekitarnya terkontaminasi limbah yang mengganggu kelangsungan ekosistem. Selain itu baterai ion litiium membutuhkan bahan seperti kobalt, nikel, dan litium yang langka, mahal, dan harus diekspor dari negara penghasil bahan tersebut sehingga biaya produksinya menjadi sangat mahal.

Mengapa sodium ion (garam) bisa menjadi alternatif. Teknologi baterai sodium ion bukan merupakan teknologi yang baru karena sudah dikenal sejak 1970-an akan tetapi pengembangannya tidak sepesat litium.

Seiring berjalannya waktu teknologi baterai sodium semakin dilirik oleh para peneliti. Hal tersebut dikaitkan dengan posisi ion sodium yang berdekatan dengan ion litium pada tabel periodik unsur sehingga diyakini para peneliti bahwa kandungan fisika dan kimiawi antara kedua ion tersebut hampir sama.

Baterai sodium mempunyai kelebihan yaitu paling mendominasi keberadaan di bumi. Material sodium 12.000 kali lebih melimpah daripada lithium. Hal ini sangatlah penting bagi dunia yang ingin mengatasi masalah terkait sumber energi berbasis karbon. Kelebihan lainnya yaitu sodium lebih ramah lingkungan dan lebih aman pada suhu tinggi dibandingkan lithium.

Apabila dilihat dari segi harga bahan baku Sodium hidroksida (NaOH) adalah 300-800 Dolar AS per metrik ton, sedangkan harga Lithium hidroksida (LiOH) 78.000 Dolar AS per metrik ton. Hal tersebut sangatlah untung jika baterai sodium ion dikomersilkan karena bisa menekan harga hingga 1/10 kalinya. Ke depannya, baterai sodium ion akan menjadi alternatif hemat biaya yang berkelanjutan dibandingkan dengan baterai lithium ion. rmol news logo article

*Penulis adalah Ketua Gema Pelaut Amin, Ketua Front Nelayan Indonesia (FNI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA