Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bunuh Diri dan Urgensi Evaluasi Sistem Akademik

OLEH: MUHAMAD NUR PURNAMASIDI*

Selasa, 24 Oktober 2023, 11:42 WIB
Bunuh Diri dan Urgensi Evaluasi Sistem Akademik
Anggota Komisi X DPR RI Muhamad Nur Purnamasidi/Net
MAHASISWA bunuh diri, mengakhiri hidupnya dengan mengenaskan adalah sesuatu yang sulit dicerna akal sehat. Pendidikan tinggi idealnya mendorong mahasiswa untuk berpikir dan bersikap lebih dewasa, kritis, bijaksana, dan semakin dekat dengan masyarakatnya. Kendati demikian, data menunjukkan jumlah kasus bunuh diri meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir.

Di Amerika Serikat, bunuh diri merupakan penyebab tertinggi kedua kematian para mahasiswa di seluruh wilayah negara tersebut. Di Massachusetts, salah satu negara bagian yang sangat terkenal dengan kampus-kampus top dunia, terdapat 214 mahasiswa yang tewas karena bunuh diri berusia antara 18-24 tahun pada periode 2007-2016. Jumlah ini meningkat sebanyak 43 persen dibandingkan dengan jumlah kematian bunuh diri pada dekade sebelumnya.

Di Inggris, sebanyak 1.554 mahasiswa tewas akibat bunuh diri pada periode 2001-2020. Dengan rata-rata jumlah 64 peristiwa bunuh diri per 100.000 mahasiwa, para orang tua mahasiswa mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang sedang berkuliah dan menuntut agar universitas terbuka kepada publik terkait dengan peristiwa kematian mahasiswanya akibat bunuh diri dan gangguan kesehatan mental.

Tidak hanya di negara-negara besar tersebut, jumlah mahasiswa bunuh diri juga meningkat di beberapa negara Asia yang menjadi destinasi mahasiswa internasional seperti India, Korea Selatan, dan Jepang.

Di India, kenaikan jumlah kematian mahasiswa akibat bunuh diri mencapai 70 persen dalam periode 2011-2021. Di Korea Selatan, tingkat kematian akibat bunuh diri mencapai 26 peristiwa per 100.000 orang pada 2021, menempatkan Korsel sebagai yang tertinggi di antara negara-negara anggota organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan OECD. Di Jepang, jumlah peristiwa bunuh diri mencapai 21.881 kejadian pada 2022, di dominasi oleh masalah kesehatan mental, problematika keluarga dan finansial.

Di Indonesia, menurut data Kementerian Kesehatan, terdapat kenaikan drastis jumlah kasus bunuh diri dari 613 kasus pada 2021 menjadi 826 kasus pada 2022.

Tekanan Akademik dan Perundungan

Terdapat setidaknya tiga faktor yang diperkirakan menjadi penyebab maraknya peristiwa bunuh diri oleh para pelajar di perguruan tinggi. Pertama adalah beban akademik yang membuat mahasiswa menjadi stres dan lepas kendali hingga terdorong untuk mengakhiri hidupnya.

Kedua adalah beban finansial yang menyebabkan mahasiswa putus asa, kehilangan harapan untuk masa depannya, dan lebih memilih untuk mengakhiri kegelapan itu dengan bunuh diri. Ketiga adalah beban sosial yang bisa muncul dari dirinya sendiri, atau lingkungan keluarga, dan menyebabkan dirinya malu, kehilangan kepercayaan diri, hingga mengurung diri dari lingkungan sosialnya.

Kendati demikian, beberapa studi menunjukkan bahwa tekanan akademik merupakan faktor dominan diantara penyebab kejadian mahasiswa bunuh diri.

Leilei Zhang (2023) dalam penelitiannya terkait tingginya peristiwa bunuh diri mahasiswa tingkat doktoral di China menemukan fakta demikian dari hasil wawancara mendalam kepada lingkungan sekitar dan teman-teman dekat korban. Altavini et al., (2023) menguraikan faktor akademik yang menjadi penyebab tingginya jumlah bunuh diri mahasiswa di Brazil diantaranya adalah ketidakpuasan pada mata kuliah, rendahnya performa akademik, dan kekhawatiran terhadap putus kuliah.

Selain itu, studi Urme et al., (2022) mengidentifikasi faktor perundungan oleh senior terhadap mahasiswa/i baru menjadi salah satu penyebab umum yang memicu rasa depresi dan keinginan bunuh diri mahasiswa di beberapa kampus negeri di Bangladesh.

Evaluasi Sistem Akademik
 
Kita tidak mengharapkan generasi muda kita, khususnya para siswa yang sedang belajar di berbagai perguruan tinggi mengakhiri hidup mereka dengan sia-sia. Bonus demografi sebagai salah satu kekuatan Indonesia di masa yang akan datang hanya akan menjadi mimpi, tanpa tata kelola akademik yang baik dan bermutu, dan berorientasi kepada keberlanjutan studi siswa di semua jenjang pendidikan.

Dalam Permendikbud 3/2020, 1 sks mata kuliah mencakup kegiatan perkuliahan 50 menit per minggu, 60 menit penugasan terstruktur, 60 menit kegiatan mandiri. Artinya, terdapat beban 170 menit setiap minggu pada setiap 1 sks mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa baik yang bersifat wajib maupun pilihan.

Dengan beban antara 18-24 sks setiap semester, seorang mahasiswa harus menghabiskan waktunya kurang lebih 48.960 menit hingga 65.280 menit, atau setara dengan 816 jam hingga 1.088 jam untuk 16 minggu pertemuan (satu semester) paling sedikit menurut aturan tersebut.

Perlu dilakukan suatu evaluasi menyeluruh terhadap durasi pembelajaran tersebut. Beban waktu belajar yang padat dapat mengurangi kesempatan mahasiswa untuk mengekspresikan dirinya dalam berbagai kegiatan akademik, dan non-akademik di luar kelas. Terlebih bahwa kegiatan perkuliahan di kelas dapat menjadi monoton dan membosankan karena metode belajar yang kurang atraktif dan interaktif.

Untuk itu, sistem penilaian perlu dimodifikasi dengan tidak hanya menghitung poin penilaian dari kegiatan kelas, tetapi juga hasil capaian prestasi mahasiswa dari kegiatan akademik dan non-akademik di luar kelas. Penilaian terpadu ini dapat menjadi faktor positif mahasiswa untuk lebih berprestasi dengan mengikuti beragam lomba dan kompetisi, sekaligus membangun mentalitas mereka menjadi para juara.

Dengan demikian, para tenaga pengajar, guru dan dosen, juga dilibatkan dalam pendampingan para siswa mereka untuk mempersiapkan dan memfasilitasi mereka mengikuti kegiatan-kegiatan di luar perkuliahan. Pendampingan ini harus dihitung juga sebagai indikator kinerja utama para tenaga pendidik, sehingga mereka juga termotivasi untuk serius memberikan bimbingan dan pendampingan kepada siswanya.

Early Warning System dan Kepedulian Bersama

Selain perlunya upaya untuk membangun sistem penilaian terpadu dan beban belajar yang lebih fleksibel, perguruan tinggi diharapkan dapat mempersiapkan sistem peringatan dini untuk mencegah lebih banyaknya jumlah mahasiswa yang mengalami depresi, gangguan kesehatan mental, hingga bunuh diri.

Sistem peringatan dini ini membutuhkan keterlibatan semua pihak, tidak hanya para dosen dan tenaga kependidikan, tetapi juga para kolega mahasiswa. Kita harus menempatkan para mahasiswa/i untuk berperan aktif dalam pencegahan dampak psikologis yang buruk terhadap teman-teman terdekat mereka.

Oleh sebab itu, sosialisasi intensif kepada seluruh civitas akademika mengenai gejala-gejala depresi, tekanan akademik, stress, gangguan kesehatan mental perlu segera dilakukan, karena bagaimanapun, tidak semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, serta para mahasiswa memiliki kemampuan seperti seorang psikolog atau psikiater yang dapat mudah mendeteksi gejala-gejala tersebut. Bermodalkan kemampuan dasar ini, perguruan tinggi dapat memberikan jalur komunikasi cepat kepada setiap orang agar dapat segera melaporkan temuan dari orang-orang terdekat mereka.

Pola peringatan dini ini juga diharapkan dapat mengantisipasi semakin meningkatnya jumlah kasus perundungan di perguruan tinggi. Oknum mahasiswa atau dosen dapat melakukan tindakan perundungan dalam kegiatan yang diselenggarakan di dalam kampus maupun di luar kampus apabila minimnya pengawasan dan kepedulian dari semua pihak, serta tidak tersedianya jalur komunikasi yang baik dan memadai.

Kita harus menjadikan isu ini sebagai permasalahan bersama, tidak hanya bagi pengelola perguruan tinggi, tetapi juga semua pemangku kepentingan demi menjadikan bonus demograsi sebagai kekuatan dan keunggulan Indonesia.rmol news logo article

*Penulis adalah anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA