KLHK menyebut penyebab utamanya adalah sektor transportasi. Dengan demikian, maka transportasi menjadi penyumbang separuh dari kandungan polusi di udara, separuh dari kandungan logam berat di udara Jakarta, separuh dari kandungan bahan bahan beracun dan berbahaya di udara Jakarta.
Presiden Jokowi menyatakan pentingnya mempercepat pemindahan ibukota negara (IKN) sebagai solusi mengatasi udara kotor Jakarta. Presiden buru-buru ke China untuk membujuk investor agar segera menginvestasikan uangnya di IKN.
Presiden menjamin akan banyak fasilitas dan insentif bagi investor dari negara. Tapi dugaan saya, investor China belum yakin dengan semua jaminan pemerintah. Kalau investor China percaya, mereka tentu sudah lama masuk ke IKN bersama megaproyek kereta cepat.
Sebelumnya usaha mempercepat pembangunan IKN telah dirancang melalui APBN. Proposal APBN telah disampaikan kepada internasional dengan dua sasaran utama, yakni dana Sovereign Wealth Fund (SWF), dan Softbank Fund. Namun Menteri Keuangan gagal dalam berburu dana-dana ini.
Jika IKN gagal dan tidak ada kemajuan sama sekali, maka Jakarta akan makin padat, makin macet, konsumsi BBM meningkat pesat, akibatnya udara Jakarta makin pengap, dan semua ini terus berlangsung di depan mata tanpa jalan keluar.
Megaproyek pemerintah di bidang transportasi seperti MRT, LRT, dan berbagai transportasi massal gagal berkejaran dengan perkembangan kendaraan pribadi dan angkutan logistik yang menggunakan BBM. Akibatnya Jakarta jika difoto dari udara seperti mesin pabrik dan langit Jakarta seperti cerobong asapnya. Mengerikan.
Hanya tersisa satu jalan untuk menekan udara kotor jakarta, yakni kurangi penggunaan BBM sekarang juga. Bagaimana caranya silakan dipikirkan.
Kalau belajar dari kasus Covid-19, maka Jakarta bisa pembatasan secara terbatas. Misal PNS dan Pegawai BUMN bisa diliburkan 3 hari kerja, cukup masuk 2 hari saja. Paling tidak selama 3 bulan penuh.
Langkah lain, untuk sementara waktu hanya mobil dan motor listrik yang boleh leluasa putar-putar Jakarta. Mobil dan motor BBM sebaiknya dibatasi sekarang. Wani ora?
Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
BERITA TERKAIT: