Sebuah munajat yang mengagetkan sekaligus mengundang tanya jutaan masyarakat dalam dan luar negeri, anak bangsa RI atau bahkan masyarakat asing di Tanah Air ini dan mancanegara.
Apa yang mendorongnya bermunajat itu. Tidak seperti biasanya Anies begitu. Inilah yang layak kita analisis lebih jauh. Pertama dan utama, Anies seorang cendekiawan yang tak pernah henti berpikir saat menyaksikan panorama negeri kita yang sangat memprihatinkan.
Fakta bicara, negeri kita sedang tidak baik-baik saja dalam berbagai sektor. Rakyat secara luas menjadi korban perilaku kekuasaan ketidakadilan secara ekonomi, hukum, bahkan sosial-politik. Boleh dikata, gunung es sedang bersiap-siap melumer dahsyat. Maka, di hadapan kita terbayang tsunami politik yang siap menenggelamkan kepulauan Nusantara ini.
Kedua, fenomena itu menggerakkan keterpanggilan untuk penyelamatan. Sangat urgen. Tapi, upaya penyelamatan itu tampak telah “dikunci” secara terstruktur, ekstensif, dari terpuncak hingga terbawah. Seluruh pintu itu seolah menegasikan harapan untuk melakukan perubahan-perbaikan. Maka, bayang-bayang negeri ini semakin gulita. Apakah, akan segera tenggelam karena tercengkeram oleh sosok pemimpin yang tak jauh beda prototipenya dengan rezim saat ini?
Itulah – sebagai hal ketiga – yang mendorong Anies menengadahkan kedua tangannya, mengajak seluruh hadirin Apel Siaga Perubahan Nasdem untuk mengaminkannya. Yaitu sebuah doa yang memohon kepada Gusti Allah Yang Maha Kuasa untuk memberikan rahmat atau berkah kepada para pemimpin negeri ini, dari yang tertinggi hingga yang terbawah stratanya.
Sebuah doa yang mengharapkan perubahan sikap para pemimpin itu melindungi seluruh rakyatnya dari hal-hal yang tak diinginkan. Sebuah permohonan yang sungguh arif dan sarat dengan dimensi kemanusiaan dan nasionalisme.
Namun, sebagai karakter manusia yang dhaif, Anies pun melihat, hidayah itu milik Allah SWT semata. Tak ada satupun yang bisa mengubah kehendak-Nya, kecuali Allah SWT memang menghendakinya. Karena itu, Anies pun memandang secara objektif bahwa seluruh saluran yang telah “terkunci” itu menggambarkan kedigdayaan raksasa yang memang antiperubahan. Ada kesan kuat, tak mungkin bisa menggerakkan perubahan yang dicita-citakan itu.
Di sanalah, Anies – sebagai hal keempat – melihat dan meyakini: ada Allah SWT yang jauh lebih digdaya.
Skenario manusia secanggih atau sehebat apapun, terlalu kecil dibandingkan skenario Allah SWT. Jika Allah SWT “turun tangan”, maka porak-poranda skenario jahat manusia itu. Maka, terlihat dan terdengarlah desis suara yang keluar dari mulut seorang Anies: memohon kekuatan, perlindungan dan pertolongan. Allah SWT-lah pemberi kekuatan yang superdigdaya, sehingga seorang Thalut mampu kalahkan Jalut, sang raja raksasa.
Juga, karena pertolongan Allah SWT, Ibrahim AS selamat dari amukan api besar yang membakarnya, padahal – secara logika – fenomena Thalut dan Ibrahim – kondisinya tidak memungkinkan menang dari cengkeraman penguasa atau sistem thaghut kala itu. Sejarah telah membuktikan, keyakinan yang disertai ketaqwaannya kepada Yang Maha Kuasa akan membawa hasil sesuai cita-cita, meski demikian berat dan penuh perjuangan dan pengorbanan.
Menelisik doa Anies di hadapan ribuan massa itu bagai deklarasi secara terbuka sekaligus melaporkan kepada Gusti Allah yang Maha Suci, tentang nasib bangsa dan negeri ini yang harus diselamatkan segera. Untuk misi dan hak-hak kemerdekaan sejati umat manusia di Tanah Air ini.
Sebuah renungan, mengapa baru kali ini Anies bermunajat di hadapan basis massa yang lebih dari angka 150-an ribu, padahal jauh sebelumnya sudah sering berhadapan dengan massa ratusan ribu juga?
Seperti kita ketahui, baru beberapa hari lalu Anies Baswedan, istri dan anak-anaknya baru selesai menunaikan ibadah haji. Dengan keyakinan, ibadah hajinya mabrur, maka – seperti yang terurai di berbagai macam hadits – ia bagai kain putih, suci, karena telah terlebur dosa-dosanya.
Dan selama 40 hari seusai ibadahnya, doa yang suci dari debu-debu dosanya itu maqbul (diijabah), apalagi diamini oleh puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang yang berada di arena GBK, dan – boleh jadi puluhan juta orang yang menyaksikan tayangan langsung saat Anies berdoa yang penuh damai, ajakan yang sangat arif dan doa untuk perbaikan nasib bangsa dan negeri ini.
Pengaminan ratusan bahkan jutaan orang itu mengkuantitaskan berapa miliar total munajat itu. Totalitas kuantitatif itulah yang mengoptimalkan hasil: terkabul doanya, apalagi dalam “lautan” manusia yang mengamini doa Anies itu terdapat jutaan orang yang ternistakan secara sosial-ekonomi, terzalimi secara hukum dan politik yang demikian tendensius. Penderitaan mereka ternista dan terzalimi itu tentu didengar oleh Allah yang Maha Adil itu. Menambah kualitas pengabulan doa yang diamini itu.
Mencermati responsi massa yang mengamini doa Anies, menimbulkan satu decak kagum: Subhanallah. Doa yang penuh makna itu mencerminkan calon pemimpin yang memahami realitas kondisi objektif. Tahu persis kapan dan bagaimana mengadu kepada “Yang Maha Tepat” atas bergunung persoalan beratnya.
Tahu persis pula
way out bagi sosok yang beriman dan mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan. Berat dan tak mungkin bagi ukuran manusia. Tapi, lain bagi Allah SWT. Karena itu mendasarkan kepada Allah SWT memang
the one way.
Cara pandang itu tidak berarti kita harus “memperbudak” Allah SWT. Berdoa atau bermunajat tanpa berjuang. Para pendamba terwujudnya cita-cita keadilan, kesejahteraan yang berkemajuan dan nilai-nilai konstruktif lainnya, tetaplah memperkuat barisan dalam langkah yang terukur: untuk berjuang tanpa henti.
Maka, menjadi relevenlah ketika lagu wajib berkumandang: Maju Tak Gentar… “Majulah, majulah menang…” Majulah, majulah menaaang”… Satu lirik lagu, yang bukan hanya membangkitkan gelora berjuang, tapi berjuang itu menjadi serangkaian kata kunci penguat doa.
Sekali lagi, lagu wajib perjuangan itu menjadi energi positif, spirit bagi seluruh elemen bangsa ini untuk menggolkan capres idaman bangsa negeri ini: Anies Baswedan.
Right now, not later. Untuk kepentingan anak bangsa saat ini, anak-anak kita, cucu-cucu dan buyut-buyut kita sebagai generasi pewaris sah negeri ini. Inilah nur
legacy yang harus dipersembahkan, bukan gulita dan nestapa. Sebuah
legacy yang bermartabat, penuh rasa pertanggungjawaban dan kemanusiaan.
Penulis adalah Analis dari Center for Public Policy Studies – Indonesia
BERITA TERKAIT: