Idealnya dalam pemrosesan akuntansi, seluruh biaya produksi dalam setiap siklus dijumlahkan untuk mendapatkan HPP. Termasuk estimasi biaya produksi tenaga kerja langsung maupun tidak langsung dalam satu siklus akuntansi beras.
Tapi realitasnya, perhitungan akuntansi tidak menjadi pertimbangan utama oleh kaum tani. Dalam prakteknya, kaum tani merdeka dalam hegemoni akuntansi kapitalistik yang menjajah sarjana akuntansi di kelas-kelas perkuliahan. Hegemoni ini pulalah yang menggiring perilaku apatis sarjana akuntansi terhadap akuntansi tradisional termasuk perhatiannya terhadap akuntansi beras.
Baginya, akuntansi yang dipahami oleh kelompok tradisional seperti butiran debu dibandingkan dengan akuntansi korporasi. Sehingga dalam pikiran seorang sarjana akuntansi, tempat kerja yang pas baginya adalah korporasi dengan gedung pencakar langit, pakaiannya adalah balutan kemeja dengan setelan jas berdasi.
Padahal tantangan akuntansi adalah kelompok tradisional yang butuh dipahamkan ilmu akuntansi untuk tata kelola pertanian yang lebih baik. Hal tersebut akan memahamkan mereka mengenai manajemen akuntansi untuk biaya produksi. Juga untuk membantu mereka memenej HPP pertanian padi.
Pengetahuan tersebut, akan membangun kesadaran kaum tani dalam pengendalian harga gabah/beras. Yang terjadi saat ini, kaum tani menjadi bahan sapi perah atas korporasi yang terlibat dalam siklus akuntansi beras dari hulu ke hilir.
Salah satu kegirangan korporasi atau bahkan mafia, karena kaum tani hanya bisa menerima, patut dan tunduk atas harga yang mereka patok. Mulai dari bibit, pupuk, insektisida hingga monopoli harga gabah/beras. Karena mereka tidak cukup memiliki pemahaman dan kesadaran.
Idealnya sebagai produsen, memiliki kuasa dalam pengendalian harga. Apalagi produknya adalah bahan pokok yang dibutuhkan oleh seluruh konsumen (korporasi/tengkulak).
Akuntansi Humanis Kaum Tani
Secara teknis, kamu tani memang tidak memahami secara komprehensif dalam tata kelola akuntansi untuk pertanian. Namun, mereka sangat paham soal perilaku etis dalam pengelolaan pertanian. Mereka sangat humanis, nilai budaya dan gotong royong selalu menjadi terdepan dalam praktek bisnisnya.
Angka-angka tidak begitu penting bagi petani, apalagi berpikir untuk saling mendominasi seperti prinsip-prinsip kapitalisme. Di mana prinsipal selalu menekan dengan berbagai cara agar agen bekerja sebesar-besarnya untuk kepentingannya (laba).
Antar sesama petani dalam kerjasama bisnis pertanian sangat memegang teguh nilai himanis, budaya dan gotong royong. Yang bisa terjadi dalam bisnis pertanian antara petani adalah konsep bisnis bagi hasil. Ada teseng dalam suku Bugis, paro dalam suku Sunda dan mato dalam suku Minangkabau serta banyak lagi konsep unik bagi hasil pertanian dari berbagai suku di Indonesia.
Akuntansi humanis adalah konsep utama dalam pengelolaan keuangan pertanian antar kaum tani. Konsep ini berbanding terbalik dengan perilaku akuntansi korporasi yang terlibat dalam pertanian mulai dari hulu ke hilir, khususnya dalam rantai distribusi beras.
Contoh akuntansi humanis dalam siklus pemanenan adalah keterlibatan sesama kaum tani yang bergotong royong dalam pemanenan padi. Mereka saling mengundang dalam pemanenan padi antara keluarga dengan keluarga yang lain, antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Mereka memiliki kesadaran bahwa kepemilikan modal yang bersumber dari sumber daya alam adalah wajib untuk didistribusikan kepada yang lainnya, meskipun dengan cara yang berbeda. Yaitu dengan melibatkan sebagai butuh panen padi. Fenomena ini tentu jauh dari perilaku korporasi yang terlibat dalam pertanian. Seharusnya mereka belajar etika bisnis humanis dari kaum tani.
Akuntansi Mafia Korporasi
Seperti yang disampaikan penulis bahwa korporasi menjadikan petani sebagai sapi perah atas ketidaktahuan dan kepolosan mereka. Kepolosan dan ketidaktahuan petani dalam pengelolaan pertanian, menjadikan korporasi semakin kapitalis hingga titik tertentu menjadi mafia dalam siklus akuntansi beras.
Perilaku akuntansi mafia adalah mampu mengatur sedemikian rupa harga beras dipasaran sesuai dengan kepentingannya. Merugikan bagi petani sebagai produsen dan konsumen tingkat akhir.
Mafia ini mampu mengatur rantai distribusi beras. Termasuk mengatur harga beras dari petani dan harga beras yang akan dijual ke konsumen akhir. Petani tidak diberi pilihan harga, kecuali hanya menjualnya kepada meraka, begitu pula kepada konsumen.
Mafia beras memainkan harga dengan sistem monopoli, menekan distribusi dan peredaran beras hingga impor beras dengan dalih keterbatasan stok beras dalam negeri.
Padahal, itu semua hanya muslihat mereka untuk mengatur harga beras seenaknya demi mewujudkan nafsu kapitalisnya. Mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan menjadikan petani dan konsumen sebagai sapi perah.
Jangan salah, beras adalah bisnis paling potensial di negeri ini, selain memiliki lahan persawahan yang luas, juga sebagai makanan pokok. Oleh kerenanya, mafia korporasi beras akan selalu hidup di Indonesia, apalagi dengan titik buta Management Control System (MCS).
Refleksi
Peran pemerintah sangat sentral dalam menata MCS dalam siklus akuntansi beras. Tanggungjawab ini ada dipundah Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, PT Pertani, Bulog dan Stakeholder yang lainnya. Perlu perhatian khusus dari Presiden sebagai prinsipal kepada Menteri atau Pimpinan BUMN terkait sebagai agen.
Pemerintah harus belajar akuntansi humanis dari kaum tani. Karenanya, semoga tata kelola siklus akuntansi beras bisa dilakukan dengan ideal dengan intervensi pemerintah. Dan semoga terwujud kemerdekaan bagi petani, tidak lagi menjadi sapi perah bagi mafia korporasi.
*
Penulis adalah Ketua Program Studi Akuntansi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
BERITA TERKAIT: