Sebagai penyegaran, kala itu medio 2018-2019, BPJS Kesehatan sedang sempoyongan, karena terus menerus didera masalah defisit. Lembaga penyelenggara program kesehatan nasional tersebut, meminta tambahan modal -
bailout kepada pemerintah.
Kondisi itu kemudian dijawab dengan perintah audit oleh Kementerian Keuangan. Hasilnya? Tambalan defisit dikucurkan, meski nilainya tidak penuh sesuai dengan total pengajuan. Pencairan dana tersebut mengakhiri sengkarut defisit, yang santer membicarakan tentang perilaku curang -
fraud.
Di lain waktu, di tahun 2020, iuran BPJS Kesehatan naik sesuai kalkulasi hitung aktuaria yang disimulasikan berdasarkan risiko penjaminan kesehatan nasional. Tema besar yang diusung, mengatasi defisit keuangan program kesehatan nasional tersebut. Hal ini ditolak oleh berbagai lembaga publik.
Pun termasuk ICW, yang kemudian mengajukan permohonan untuk meminta keterbukaan informasi publik terkait hasil pemeriksaan dan audit BPJS Kesehatan oleh BPKP. Dasar pemahamannya, perbaikan dan pembenahan tata kelola BPJS Kesehatan akan bisa diketahui bila sumber masalah teridentifikasi.
Dengan begitu, asumsi awal dari persepsi publik terkait defisit BPJS Kesehatan, tidak akan mengakibatkan kenaikan premi iuran bila temuan audit BPKP diekspos ke publik. Sekaligus momentum tersebut menjadi upaya untuk memastikan kesinambungan program terkait hajat hidup publik.
Di sisi yang berbeda, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menganggap informasi audit BPKP merupakan hal yang dikecualikan. Di mana, perspektif yang diajukan bahwa informasi dalam hasil laporan tersebut memiliki potensi dapat merugikan ketahanan negara (
CNN Indonesia 10/2).
Pilar Penting: Transparansi & AkuntabilitasKasus serupa antara Kemenkeu dan ICW terkait arus informasi yang terbuka menjadi ruang konflik antara publik dan pengelola negara. Kita tidak hadir di ruang kosong dimana informasi bersifat senyap. Kerahasiaan terbesar terkait sebuah informasi, diukur dari kebermanfaatan data tersebut bagi publik.
Alasan ICW untuk dapat memastikan berjalannya proses pengelolaan dana publik, merupakan bentuk partisipasi. Keterlibatan perwakilan publik tersebut, merupakan bentuk kontribusi demokratis dalam kehidupan bersama. Dengan begitu, dibutuhkan adanya keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
Mengapa transparansi dan akuntabilitas diperlukan? Karena kedua sendi tersebut menjadi pilar penopang dari tegaknya proses tata laksana pemerintahan yang baik -good governance. Keadilan dalam akses informasi menjadi syarat yang dibutuhkan agar tidak terjadi ketimpangan pemaknaan.
Hakikat terberat dari konsekuensi ketertutupan informasi, adalah terciptanya ruang gelap yang penuh prasangka, dan berpotensi pada terciptanya konflik yang mengemuka. Saling gugat, sama-sama tidak percaya. Kredibilitas pengelola persoalan publik menjadi dipertanyakan. Lebih jauh lagi, penyelesaian atas masalah publik kemudian diambil melalui informasi terbatas, di lingkaran elit semata.
Padahal emansipasi publik, hanya dapat tercipta melalui partisipasi aktif. Lembaga publik menjadi pengembang kepentingan serta corong bagi publik. Sementara itu, pemangku kekuasaan sudah seharusnya mampu menangkap aspirasi dari kehendak publik dalam mengatasi berbagai persoalan.
Diskursus yang dimunculkan, terkait saling gugat Kemenkeu dan ICW, memperlihatkan keseimbangan ruang itu dapat dipergunakan bagi kebaikan publik. Kekuasaan tidak dapat semena-mena memberi tafsir tentang apa yang disebut rahasia, terlebih bila hal tersebut berurusan dengan hajat publik yang luas.
Institusi Kesehatan si Homo SacerAda yang tercecer dari pertarungan wacana terkait keterbukaan informasi atas hasil audit BPJS Kesehatan, yakni mereka pemberi layanan baik profesi maupun institusi kesehatan. Kenapa? Tersebab bila selama ini tudingan selalu diarahkan pada muka dan hidung mereka.
Persoalan kecurangan -
fraud yang dimaknai sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan dengan tindakan manipulatif, seolah menempatkan tuduhan itu pada pemberi layanan. Mereka inilah yang mendapatkan sorotan dan sentimen negatif. Meski begitu terbentuk relasi yang benci tapi butuh.
Sebagai sebuah program, BPJS Kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Terdapat kepentingan publik sebagai penerima pelayanan, dan institusi serta profesi kesehatan sebagai juru layanan. Ketika terjadi program defisit, pembicaraan mengenai
fraud mengemuka, mudah ditebak siapa yang menjadi kambing hitam.
Kelompok ini sebagaimana Giorgio Agamben sebut
homo sacer, mereka yang bisa dimatikan kapan saja, menjadi kelompok pelengkap penderita serta termarjinalkan, seakan tanpa hak suara. Padahal keberhasilan program BPJS Kesehatan akan sangat bergantung dari keberadaan mereka.
Pada posisi yang sama, sejatinya profesi dan institusi kesehatan juga membutuhkan keterbukaan data hasil audit BPKP tersebut guna dapat membersihkan martabat serta nama baik. Kita kembali pada prinsip moral dan falsafah Pancasila, kesejahteraan dimaknai secara gotong-royong dan berkeadilan.
Ketika sebuah program nasional memberikan dampak luas bagi publik, maka seharusnya yang dilakukan otoritas kekuasaan adalah memastikan semua pihak terjamin keselamatannya tanpa terkecuali. Bukan sebaliknya menebar prasangka, menuai konflik yang justru memperkeruh suasana.
Kesehatan adalah hak semua warga negara, sedangkan tugas kekuasaan adalah memastikan serta bertanggung jawab atas pelaksanaan hal tersebut. Peran aktif kekuasaan adalah mengantisipasi kegagalan mekanisme pasar, sekaligus memastikan bangsa yang sehat,demi terciptanya negara kuat.
Dalam relasi yang seimbang para pihak terkait pelayanan kesehatan, maka keberlanjutan ekosistem BPJS Kesehatan akan dapat terjaga dengan baik, memastikan tidak ada yang tercecer dan menjadi
homo sacer. Kini, babak baru era keterbukaan informasi tidak bisa ditawar lagi. Kita tunggu hasilnya.
BERITA TERKAIT: