Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Anies Baswedan dan Dana Kampanye

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-syahganda-nainggolan-5'>DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN</a>
OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
  • Senin, 13 Februari 2023, 19:45 WIB
Anies Baswedan dan Dana Kampanye
Anies Baswedan/Net
FAHRI Hamzah telah merespon secara negatif penjelasan Anies Baswedan terkait dana kampanye yang diungkapkan Erwin Aksa dan Sandiaga Salahuddin Uno beberapa hari lalu. Fahri mengatakan, penjelasan Anies mengarah pada komitmen perencanaan korupsi, karena Anies mengatakan perjanjian dia dengan Sandi bahwa pinjaman dana kampanye tidak ditagih lagi jika mereka menang di pilgub DKI 2017.

Fahri, secara tidak langsung, menyarankan agar orang-orang model Anies, yang kurang modal sebaiknya tidak usah memaksakan diri menjadi kandidat. Atau bisa ditafsirkan agar yang didukung rakyat sebaiknya adalah orang-orang yang punya uang saja, yang bisa membiayai sendiri dana kampanyenya.

Benarkah seorang tokoh besar yang mencalonkan diri harus punya uang sendiri? Apakah tidak mungkin dia menghimpun dukungan dana publik? Atau sumbangan orang-orang yang ingin menjadi sponsor?

Persoalan dana kampanye menjadi persoalan dasar di seluruh dunia yang menjalankan demokrasi. Dalam negara-negara yang maju demokrasinya, aturan dana ini begitu ketat dan detail, sehingga dana kampanye masuk dalam kerangka pemilu yang jujur dan adil.

Calon presiden, meskipun mendapatkan sponsor dari pengusaha, harus membuka semua transaksi politik yng dia lakukan sebelum pemilu. Dalam hal ini, contoh "kontrak politik" yang tidak masuk dalam janji pemilu Jokowi 2019 adalah pemindahan ibukota, UU Omnibus Law Ciptaker dan revisi UU Anti Korupsi. Dalam demokrasi, semua unsur kebijakan strategis harus termuat, sehingga rakyat tahu konsekuensi dukungan sponsor dikemudian harinya.

Di Amerika misalnya, pemerintah melalui komisi pemilihan umum, menyedialan semua biaya calon presiden yang masuk nominasi dari dua partai utama, dalam pemilu awal (premier) dan pemilu (general election), secara terbatas.

Dalam "Public Funding of Presidential Elections" (www.fec.gov), sumbangan negara dapat mencapai 103 juta dollar kepada calon dari dua partai utama, pada pilpres, malah sumbangan pribadi kandidat dibatasi. Kandidat partai-partai kecil dapat juga meminta bantuan dalam porsi yang lebih kecil.

Sebelumnya, untuk pemilu awal, pemerintah juga memberikan uang yang besar, dengan syarat kandidat pantas untuk dukung. Misalnya, kandidat mampu mengumpulkan uang sponsor sebesar 100.000 dolar AS dari 20 negara bagian, atau 5.000 dolar AS per negara bagian. Setiap sponsor, individual, hanya boleh menyumbang maksimal 250 dolar AS.

Sebelum Obama, malah dana untuk calon dalam Konvensi Partai, masih didukung negara. Sehingga tiap kandidat memperoleh uang. Namun, Obama kemudian menghapuskan bantuan uang itu.

Namun, bantuan pemerintah ini, mempunyai efek yang membatasi kandidat memperoleh uang secara bebas. Sementara, pengeluaran kandidat Trump dan Biden, 2020, misalnya mencapai 6 miliar dolar AS lebih. Hal itu dilaporkan CNBC dalam "Total 2020 election spending to hit nearly $ 14 billion, more than double 2016's sum". Bahkan, pada pemilu 2020 itu, disebutkan Biden mampu mengumpulkan 1 miliar dolar AS dana kampanye.

Apakah kemudian Biden di Amerika, terperangkap dalam keinginan oligarki? Dalam perjalanan kepemimpinan Biden belum terlihat dia tunduk pada oligarki. Meskipun tentu ada kompromi, misalnya soal besaran dan penagihan pajak.

Ketakutan bahwa kandidat akan terperangkap pada kemauan oligarki, di Indonesia, telah mengarah pada Jokowi. Saat ini Jokowi dipersepsikan kelompok oposisi memanjakan kaum pengusaha daripada rakyat jelata yang mendukungnya. UU Omnibus law Ciptaker dan pemindahan ibukota negara, misalnya, lebih dimaksudkan untuk memanjakan kaum bisnis.

Namun, dalam skala ibukota, Anies tidak memanjakan pengusaha. Anies, misalnya, mendengarkan jeritan nelayan miskin pantai utara Jakarta dan penggiat lingkungan hidup, sehingga membatalkan izin-izin reklamasi. Meskipun, kemudian hari kalah dengan tekanan kekuasaan pusat dan pengadilan. SBY ketika memerintah terlihat membuat keseimbangan antara memanjakan konglomerasi, namun sekaligus mengentaskan kemiskinan.

Prasangka Fahri pada Anies, misalnya dengan melihat Sandiaga Uno yang dikenal sebagai pengusaha, tidak memberi peluang bahwa model pengusaha yang soleh benar-benar tidak ada. Padahal di Indonesia orang-orang seperti itu masih banyak, setidaknya ada. Jika di Amerika, kita melihat bagaimana John Kerry, capres dan keluarga kaya raya Amerika, mendukung Obama yang "miskin" untuk menjadi presiden Amerika sejak Konvensi Partai Demokrat 2004.

Seandainya Sandi merelakan sumbangannya pada Anies, tentu itu masuk akal, apalagi Sandi menyebutnya setelah "istikharoh". Jejak inipun dapat dilihat pada keluarga Sandi, khususnya mertuanya, dalam berdonasi di Jakarta.

Isu dana politik dan dana kampanye tentu perlu didengungkan terus menerus. Dana kampanye dalam pengertian yang sangat luas, bukan saja dana yang terkait masa kampanye, yang umumnya sekitar 2,5-3 bulan. Namun, itu juga termasuk dana-dana yang digunakan untuk persiapan seorang kandidat.

Misalnya, jika Erick Tohir terbukti suatu waktu nanti akan menjadi kandidat capres/wapres, maka semua langkah yang dilakukan Erick sebagai ketua panitia Satu Abad NU, ketua panitia perkawinan anak presiden, dan lain-lain, yang tidak terkait dengan jabatannya saat ini, dapat dikatagorikan persiapan untuk kandidasi. Sehingga biaya yang dia keluarkn termasuk dana kampanye dalam pengertian luas itu. Begitu juga kandidat lainnya.

Persoalnnya adalah KPU dan Bawaslu kita belum mengeluarkan aturan pendanaan yang tuntas. Dalam "Aturan Dana Kampanye Pilpres Digugat", (mkri.id), penggugat misalnya meminta kejelasan berapa uang maksimal yang boleh dikeluarkan kandidat, dan bagaimana mengetahui asal-usul uang tersebut? Sebab, jika tidak ada pembatasan uang maksimal yang boleh digunakan, maka keadilan bagi para capres tidak akan terjadi.

Peringatan Fahri soal kejelasan dana pemilu tentu penting. Namun, prasangka dia yang buruk terhadap Anies mungkin berlebihan. Justru Anies adalah fenomena bagus di Indonesia, mirip Presiden Obama di Amerika Serikat, menjadi kandidat presiden berbekal cita-cita yang lurus untuk bangsanya. Tidak bisa didikte oligarki.

Anies adalah satu-satunya harapan, capres yang  ada dengan cita-cita untuk bangsanya, cita-cita perubahan. rmol news logo article

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA