Menurut Dirut Pertamina Nicke Widyawati, antrean yang mengular disebabkan adanya penyelewengan oleh spekulan dan pengguna yang tidak tepat sasaran, mengakibatkan penyaluran BBM subsidi over kuota di SPBU tersendat. Tentu hal itu telah merugikan keuangan negara dan merugikan konsumen BBM masyarakat bawah juga.
Over kuota Solar hingga akhir Maret 2022 mencapai 13 persen, sementara over kuota Pertalite sudah mencapai 20 persen dari kuota yang sudah ditetapkan pemerintah melalui BPH Migas. Akibat over kuota inilah membuat Pertamina membatasi suplai BBM tersebut ke SPBU.
Pertamina membatasi penyaluran BBM subsidi berakibat kelangkaan untuk menghidari kerugianar. Kena kerugian over kuota tidak ditanggung oleh pemerintah, kecuali ada penyesuaian kuota dari BPH Migas.
Sebab, selisih antara harga jual solar dan Pertalite di SPBU dengan harga keekonomiannya, masing-masing untuk solar Rp 7800 per liter dan Pertalite Rp 4.500 per liter.
Selisih harga BBM itulah menjadi beban keuangan negara yang dianggarkan di APBN, asal masih dalam batasan kuota BPH Migas.
Tak hanya itu, Pertamina pun mengalami kerugian jika digitalisasi SPBU tidak berfungsi baik sebagaimana mestinya, menyebabkan kebocoran BBM subsudi tidak bisa dipantau sejak dini secara real time.
Namun ironisnya Pertamina harus membayar juga sebesar Rp 15,25 per liter, dengan total jumlah BBM yang dikeluarkan dari SPBU di seluruh Indonesia selama 5 tahun kepada PT Telkom.
Akibat digitalisasi tidak berfungsi, maka Pertamina gagal mengendalikan penyimpangan distribusi BBM-nya. Terbukti sering terjadi Pertamina terlambat menyalurkan BBM subsidi ke SPBU dan banyaknya spekulan BBM yang tertangkap oleh aparat penegak hukum di berbagai daerah.
Oleh sebab itu, Menteri Keuangan tidak wajib membayar klaim Pertamina untuk penggantian BBM subsidi dan BBM penugasan diluar kuota yang sudah ditetapkan oleh BPH Migas.
Sebab, kerugian over kuota BBM subsidi dan penugasan tersebut harus dibebankan kepada PT Telkom yang diduga gagal membangun IT Nozle tersebut.
Kecuali, pihak Pertamina bisa menyajikan semua nomor kenderaan bermotor penguna BBM subsidi dan penugasan secara manual dalam klaim tagihannya kepada pemerintah.
Atau, KPK telah melakukan audit teknologi digitalisasi SPBU tersebut, sesuai permintaan BPH Migas di awal tahun 2021 kepada KPK.
Pasalnya, sejak diresmikan beroperasi digitalisasi 5.515 SPBU Pertamina oleh Menteri ESDM Arifin Tasrih pada 29 Desember 2020, proyek digitalisasi dengan niliai investasi Rp 3,6 triliun patut diduga tidak berfungsi sempurna.
Proyek tersebut merupakan hasil kerja sama antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Telkom (Persero) Tbk.
Perjanjian kerja sama tersebut, ditandatangani oleh Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas'ud Khamid dengan Direktur Enterprise PT Telkom Dian Rahmawan, dilaksanakan pada 31 Agustus 2018 di Kementerian BUMN.
Acara penandatanganan kerja saman saat itu disaksikan oleh Wamen ESDM Arcandra Tahar, Menteri BUMN Rini Soemarno, Kepala BPH Migas Fansurullah Asa, Dirut Pertamina Nicke Widyawati dan Dirut Telkom Alex Sinaga.
Sebab, jika IT Nozle atau digitalisasi SPBU itu berfungsi sempurna, maka sistem itu secara real time memberikan seluruh informasi terinci kondisi di SPBU kepada Kementerian ESDM, BPH Migas, Pertamina pusat dan seluruh Pertamina Marketing Operation Regional seluruh Indonesia.
Informasi yang diberikan, meliputi volume BBM semua jenis yang sudah tersedia di seluruh depo terminal BBM, maupun yang sudah terjual dan yang masih tersisa di seluruh tangki SPBU, termasuk CCTV analytic di SPBU harus bisa mencatat nomor plat kendaraan pengguna BBM subsidi dan penugasan.
Jadi, jika digitalisasi SPBU benar berfungsi, omong kosong bisa terjadi kelangkaan BBM di SPBU.
Rakyat monitor, menunggu kinerja KPK bisa mengusut tuntas proyek digitalisasi SPBU oleh PT Telkom yang berpotensi merugikan negara.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)
BERITA TERKAIT: