Presiden AS dan Ketua Umum PBNU merupakan
elected official (pejabat yang dipilih) melalui mekanisme pemilihan langsung. Keduanya memiliki masa jabatan dan only one re-election (hanya dapat dipilih satu kali pemilihan kembali). Konstitusi yang dianut membatasi masa jabatan dua periode saja. Masing-masing maksimal 8 tahun dan 10 tahun.
Pembatasan masa jabatan tersebut untuk menghindari akumulasi kekuasan pada seseorang, menjamin sirkulasi elite dan mencegah political decay (pembusukan politik).
Francis Fukuyama dalam buku "Political Order and Political Decay", mengatakan bahwa bila kekuasaan terlalu lama dipegang seseorang, maka menyebabkan pembusukan politik. Ini ditandai dari penurunan kinerja birokrasi, timbul inefisiensi, mengarah pada otoritarianisme, serta dapat menimbulkan kekacauan dan kekerasan.
Goerge Washington, Presiden AS pertama membatasi diri hanya dua periode. Bapak pendiri AS berkuasa pada 1789-1697. Pembatasan masa jabatan ini ditetapkan pada amandemen ke-22 pada 1951. Setelah amandemen, tak kurang 30 presiden AS yang mengikuti jejak Presiden Washington.
Rakyat AS sesungguhnya masih menghendaki Presiden Washington untuk periode ketiga, namun ia menolak. Ia berasalan, tidak bijaksana kekuasaan itu terlalu lama di tangan seseorang. Ini yang dicontoh oleh banyak negara dan institusi non negara dalam membatasi kekuasaan eksekutif terjerembab pada absolutisme.
KH A Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU memulai pembatasan masa jabatan dua periode. Anggota Wantimpres ini memimpin NU pada 1999-2010. Pembatasan masa jabatan dua periode diatur pada Pasal 16 ayat (3) Anggaran Dasar (AD NU). Ketentuan ini berdasarkan pada semangat membatasi kekuasan eksekutif, seperti pembatasan masa jabatan Presiden Republik Indonesia hasil amandemen UUD 1945.
Nampaknya, pembatasan masa jabatan PBNU dua periode sekarang dapat ujian terberat. Ketua umum PBNU, KH Said Aqil Siroj telah menyatakan bersedia mencalonkan kembali periode ketiga. Permintaan kiai-kiai sepuh dan desakan beberapa PWNU dan PCNU yang menjadi alasan maju kembali.
Otomatis, Muktamar NU ke-34 pada 2021 di Lampung, harus mengamandemen terlebih dahulu pembatasan masa jabatan Ketua Umum PBNU dua periode. Ini akan menjadi pertarungan awal antara pro Kiai Said dengan yang lain. Bila amandemen ini berhasil, maka jalannya menuju kursi Ketua Umum PBNU terang benderang menjelang seabad NU.
Konsekuensi-logis dari amandemen pembatasan masa jabatan tersebut, meruntuhkan api demokrasi dan menyulut absolutisme di tubuh NU.
Indeks demokrasi NU akan turun sebagai pilar demokratisasi Indonesia. Ini ongkos yang harus dibayar demi ambisi melanggengkan kekuasaan dari kelompok tertentu.
Memang, kekuasaan itu membuat siapa pun lupa dan mabuk kepayang. Kekuasaan itu nikmat, bahkan super nikmat. Banyak penguasa yang hanya bisa naik tetapi lupa turun tahta. Sehingga, rakyat dan Tuhan Yang Maha Kuasalah, akhirnya yang menurunkannya.
Tragedi demi tragedi kekuasan yang penuh kekerasan dan anyir darah lantaran ambisi nafsu kuasa menguasai batin manusia. Demokrasi disediakan untuk peralihan kekuasaan dengan aman dan damai.
Bung Karno mengingatkan akhir masa jabatannya yang tragis dengan mengatakan, "Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa".
Dalam konteks NU, mestinya para muktamirin belajar dari karir para pemimpin NU yang husnul khatimah.
Bagaimana kekalahan kubu Idham Chalid pada Muktamar NU ke-27, Gus Dur pada Muktamar NU ke-31 dan Kiai Hasyim pada Muktamar NU ke-33.
Semua itu telah meluluh-lantahkan citra politik para pemimpin besar kaum nahdliyyin di dalam NU sendiri. Hukum alam tak bisa dilawan. Kekuasaan itu ada batasnya.
Bagaimana ending dari Kiai Said? Biarlah sejarah yang menjawabnya.

*
Penulis adalah mantan PCNU Jember periode 2014-2019
BERITA TERKAIT: