Eskalasi politik pada pekan-pekan ini seperti mengalami konjungsi yang menanjak. Bukan lagi bergerak, tetapi cenderung meningkat derajatnya seperti yang terjadi di media. Apa yang terjadi di sana, sesungguhnya indikator kecil dari sebuah repertoir politik di negeri ini jelang 2024.
Ya, momentum akhir periode Jokowi-Makruf Amin dirasakan dan dipahami sebagai kritikal momen.
Karenanya wajar, dinamika politik dengan sejumlah aksesoris yang mengemuka, baik lewat fenomena klasik unjuk diri makin dapat dirasakan pergerakannya. Parpol yang menjadi representasi simbolik atau pintu masuk di gelanggang kurusetra tak luput ikut sibuk.
Sekali lagi fenomena yang terbaca di media, seungguhnya adalah fenomena gunung es di samudera luas. Tampak mungil di permukaan, namun yang terjadi secara realistis sungguh luar biasa.
Bagi Parpol hajatan akbar lima tahun merupakan momentum strategik dengan berbagai agenda dan target-target multi yang ingin dicapai.
Mencermati konstaktasi relasi Puan Maharani versus Ganjar Pranowo menjadi spektrum kecil yang secara luas dapat dibaca dengan beragam sudut. Apa sesungguhnya yang terjadi di sana? Mengapa Bambang Pacul sampai memberikan pesan seekstrem itu?
Politik dipahami terbangun dari temali ideologis dengan sokongan patron yang kemudian menjadi pilar penopang. Reaksi Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul atas manuver Ganjar jika diselami lewat identifikasi anatomis tidak luput dari kalkuasi tersebut.
Betapa tidak, Ganjar yang lahir dari rahim PDI Perjuangan, dan menjadi Gubernur tidak lepas dari navigasi sesepuh juga tokoh tokoh Partai Moncong Putih. Nah, benarkah sekarang Ganjar mangrow tinggal, atau berkhianat?
Kalau itu benar wajarlah Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah yang juga Ketua Bapilu DPP PDI Perjuangan ini terusik. Bukan hanya terusik, lebih pas Bambang terantuk kemudian murka atas ulah Ganjar.
Aksentuasai pernyataan yang disampaikan dengan diksi seperti terekspose sejumlah media adalah represenasi simbolik kemarahannya. Secara kultural pernyataan itu dalam dosis yang sudah ekstrem. Artinya ada pesan khusus di sana.
Sekarang tinggal bagaimana publik menilai, mengendapkan kemudian bersikap secara arif dan bijak. Karena apa, harus diakui karakter PDI Perjuangan berbeda dengan partai-partai yang lain.
Di sini, saya ingin menyampaikan dinamika empirik yang layak untuk menjadi kaca benggala, baik itu dalam konteks lokal, maupun nasional. Perbedaan pendapat yang kemudian berujung pada friksi, atau keterbelahan secara kasat mata, kita bisa catat untuk beberapa kasus.
Di Jawa Tengah, layak menjadi sebuah catatan kiprah beberapa pendekat, sebut misalnya Mbah Mario, Mardio, Rustriningih, kemudian meski tidak persis adalah kiprah Bibit Waluyo dan juga Sriyono. Nama-nama itu pada masanya merupakan
anchor PDI Perjuangan dan menjadi orang orang ‘lingkaran dalam’ Megawati.
Rustri bahkan pernah disemati predikat sebagai Srikandi PDI Perjuangan Jawa Tengah. Karenanya ketika mantan Pangkostrad Bibit Waluyo didaulat maju sebagai Gubernur Jateng, Mega mengutus khusus Rustri untuk mendapinginya.
Duet Bibit-Rustri termasuk kinclong prestasinya. Namun entah pertimbangan apa, Bibit tak melanjutnya kebersamaanya ketika maju di periode kedua.
Memang saat periode pertama, relasi Bibit-Rustri tak sepenuhnya kompak. Dalam beberapa hal, Bibit lebih banyak berjalan sendiri, dan di tengah kegamangan itu, apalagi Mega juga lebih atensi ke Bibit sang Srikandi seperti mencari jalan sendiri. Adalah Ormas Nasdem yang waktu itu sempat menggoda Rustri dan momentum itu jadi titik balik bagi Rustri sendiri.
Momen kritis berada pada labirin krusial dialami juga era Mardio. Mantan Ketua DPD PDI Perjuangan yang pernah memimpin laskar moncong putih akhirnya terpeleset juga ketika tak tunduk pada restu Ketua Umum. Mardio nekat maju padahal rekomendasi Ketua Umum telah diberikan kepada Mardiyanto.
Akankah Ganjar mengalami nasib seperti Rustri, Mardio atau mungkin Roy BB Janis, Dimyati Hartono di tingkat pusat. Atau sebaliknya pendekar rambut perak, juga Ketua Kagama ini akhirnya bernasib baik seperti Jokowi?
Untuk diketahui, awal awal ketika nama mantan Walikota Solo itu mencuat Mega sempat kurang begitu
welcome.
Namun alih alih menutup pintu, Mega akhirnya justru memberikan penugasan kepada Joko Widodo untuk berlaga di kontestasi Pilpres. Analogi ini dapatkah disandingkan untuk menakar dan melihat peluang Ganjar ke depan. Ya atau tidak masih terlalu prematur untuk memberikan penilaian.
Saya sendiri menilai semua kemungkinan masih bisa terjadi. Artinya bisa saja Ganjar Pranowo bakal kukut seperti nasib Mardio dan Rustriningsih. Tetapi sebaliknya bisa juga terjadi PDI Perjungan akan memberikan karpet merah untuk Ganjar.
Hanya saja untuk dipahami dan diketahui, Ganjar bukanlah Jokowi. Prestasi Ganjar sendiri selama memimpin Jateng belum ada prestasi yang moncer.
Sebaliknya di era Ganjar, prestasi Jateng di kancah PON adalah yang paling jeblok sepanjang sejarah. Dalam konteks ini, apapun dan bagaimana Ganjar tak bisa lepas tangan. Lalu buat apa dia terbang sampai ke Papua, jika tak membawa dampak pada prestasi Jateng di sana.
Membandingkan sisi ini dengan kandidat yang lain, Ridwan Kamil lebih unggul atas Ganjar dan juga Anies Baswedan. Karena apa, di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil olahraga Jabar menorehkan prestasi emas.
Bahkan DKI Jakarta yang mempunyai dana nyaris tanpa limitasi prestasi kalah atas Jabar. Nah dalam konteks itu, publik bisa memberikan argumentasi lain. Apakah Ganjar lebih unggul atas Ridwan Kamil, atau juga Anis Baswedan.
Kalkulasi lain adalah
socio psychological and political complication dapat menjadi pisau analisis. Komplikasi politik dan sosilogi yang bercampur-aduk terkait langkah Ganjar.
Aspek psikologis kali ini Ganjar perlu memilin sikap yang berlapis lapis kiatnya lantaran yang dihadapi adalah Puan Maharani. Puan adalah komandan yang memimpin tim sukses ketika Ganjar menjadi Gubernur Jateng. Secara etik dan kultural pantaskah ketika kemudian Ganjar menyalibnya untuk maju menjadi capres.
Jika komunikasi politik itu dibangun dengan elok dan cair, sesungguhnya tidak ada masalah. Tetapi amarah Bambang Pacul adalah representasi simbolik komunikasi itu tidak ada. Sebaliknya intrik ini, jika melihat kecenderungan yang dapat disimak secara seksama justru dimanfaatkan atau lebih pas menjadi semacam amunisi bagi pendukung Ganjar.
Eksploitasi seolah olah diperlakukan tidak adil atau didzolimi bergulir atau sengaja digulirkan.
Ahhh, tapi sekarang rakyat sudah pandai. Rakyat memiliki intuisi kepada siapa amanah mesti dilabuhkan. Dan biarlah pemegang kedaulatan itu memilih berdasar hati nuraninya.
Secara lebih alamiah, biarkan buah itu masak pada saatnya. Jangan dipetik buah yang masih mentah, karena ketika diperam rasanya tetap saja masam. Dan jangan dipaksakan musim itu mendahului masanya.
Ketika saat ini belum saatnya hujan, biarlah hangat dan panas menyinari.
Wahai Anies, Ridwan Kamil, Ganjar dan juga tokoh yang lain, seperti Prabowo, Sandiaga Uno, Erik Thohir, Airlangga Hartarto, atau pun Puan Maharani berlomba lombalah menjadi orang baik dan berderma menjadi negarawan seutuhnya.
Jangan berlebihan memoles citra lewat medsos, baliho dan juga tebar pesona.
Penulis adalah Pemimpin Umum RMOLJateng; Ketua Bidang Kerjasama Antar Lembaga Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI); Anggota Dewan Pertimbanan Unnes; Anggota Pokja Hukum Dewan Pers dan Tenaga Ahli DPR RI
BERITA TERKAIT: