"Sombong amat ini anak," begitu celetuk yang muncul, meski sebatas dalam hati.
Artinya, saya tidak menyampaikan dalam konteks terbuka, apalagi di hadapan orang lain. Dan, jujur sejak saat itu saya mulai mengikuti, mencari info seputar aktivitas sampai kiprahnya di dunia bisnis. Markobar.
Wouuuw. Anak presiden jualan martabak, tergelitik hati saya.
Ada lagi, Chili Pari. Ini usaha catering Gibran yang omsetnya lumayan signifikan.
"Eeeh, boleh juga anak ini," guman saya, dan mulai kesengsem.
Dari situlah saya mulai melirik, untuk mengikuti aktivitas juga kiprahnya, meski hanya lewat media mainstream atau via medsos. Yang jelas, kesan tidak simpatik mulai berubah. Karena saya melihat justru ada orisinalitas dari personalitas seorang Gibran.
Di balik kontroversi soal penampilan atau sikapnya yang acuuh, juthek,
sak karepe dewe, saya mencatat sisi lain, positif tentu sebagai anak presiden.
Apalagi yang berkaitan dengan bisnis dan politik ketika itu Gibran masih steril. Di mana-mana, panggung-panggung yang menghadirkan Gibran lebih banyak bicara soal bisnis. Soal Markobar.
Masih hangat, Najwa Shihab mengundang untuk menjadi tamu di acaranya. Gibran
passion bicara bisnis. Pendeknya, bisnis yes, politik no!
Ahh itu dulu, memang tak lama kemudian anak sulung Jokowi ini muncul sebagai ikon baru. Momentum inilah yang diakui atau tidak membentuk, sekaligus menjadikan Gibran menjadi tokoh publik, dengan segala aksesorisnya.
Perkawinannya dengan seorang Putri Solo adalah bukti atau menjadi testimoni seorang Gibran yang telah memasuki dunia publik. Seorang Gibran menikahi Putri Solo. Yes, amazing.
Masih ingat, pernikahan itu menjadi hajat yang spektakuler juga. Ya, itulah realitas yang terjadi dan kiprah Gibran perlahan tetapi pasti telah masuk ke ranah publik bukan privat lagi.
Kini, suami dari Silvi Ananda, mantan Putri Solo 2009 ini bukan lagi sekadar pengusaha, atau usahawan. Namun Gibran Rakabuming telah bermetamorfosa menjadi tokoh, politisi, publik figur, bahkan Walikota Solo terpilih.
Atribut itu melekat sebagai anak Presiden Jokowi, jelas tak sembarangan. Karena logika sederhana apa pun bisa dia raih. Tapi saya melihat Gibran bukan tipe seperti itu.
Posisi yang diraih sekarang tentu bukan merupakan durian runtuh, tetapi dicapai melalui tahapan berliku. Sebuah langkah politik lazimnya tidak pernah sepi dari sejumlah kontroversi. Ini pun dialami atau terjadi pada langkah Gibran untuk mendapatkan kursi Surakarta Satu, sebutan sebagai Walikota Solo.
Dinamika mengemuka dengan segala pernik pernik ikutan, seperti keterbelahan sikap politik sejumlah elite di tubuh Partai Banteng Solo ketika itu. Betapa tidak, sang Ketua Umum, Hadi Rudyatmo sempat mengungkapkan aspirasi sebagai kebijakannya selaku orang nomor satu di jajaran DPC PDI Perjuangan Kota Solo.
Menurut Rudy, begitu mantan Walikota Solo dua periode yang juga pendamping Joko Widodo ketika memimpin Surakarta bahwa kebijakan DPC PDI Perjuangan telah final, yakni mengusung Achmad Purnomo-Teguh Prakosa.
Achmad Purnomo adalah Wakil Walikota atau pasangan Rudy di Pemkot Solo. Artinya secara kultural dan politis, DPC telah mengambil langkah yang tepat.
Namun sekali lagi, inilah politik. Keputusan tersebut kemudian mengalami koreksi dengan merekomendasikan figur baru, siapa lagi kalau bukan sulung Presiden, Gibran Rakabuming Raka.
Bos Markobar itu didampingi politisi senior Teguh Prakosa. Duet Gibran-Teguh inilah yang pada Pilkada serentak 9 Desember lalu meraih suara terbanyak. Artinya Gibran-Teguh lah yang menggantikan sebagai figur Walikota-Wakil Walikota Solo.
Nah, di sinilah menarik benang merah terkait suksesi di Kota Solo, apa pun dan bagaimanapun kompromi politik memang tidak bisa dihindarkan. Bayangkan, keputusan sudah diungkap ke publik bahwa PDI Perjuangan Kota Solo telah menetapkan duet Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa.
Tetapi konstelasi dan konstaktasi yang terjadi membuat keputusan itu harus dikoreksi. Puting beliung atau mungkin juga tsunami lokal telah membuat pergeseran seperti yang kita saksikan bersama.
Langkah dan kearifan Achmad Purnomo membukakan jalan untuk bos Markobar, suami dari Silvi Ananda, yang tak lain adalah putra sulung orang nomor satu di negeri ini, Joko Widodo, kita layak angkat topi.
Karena tanpa sikap legawa dari Achmad Purwnomo langkah Gibran dan Teguh juga tidak akan lempang. Pun
goodwill dari Hadi Rudyatmo, alias Pak Brengos adalah
legacy yang mencerminkan loyalitas seorang kader partai.
Akhirnya berpasangan dengan tokoh banteng mencereng Teguh Prakosa, duet ini memenangi Pilwakot Surakarta. Selangkah lagi Gibran akan menjadi orang nomor satu di Kota Bengawan ini.
Kita percaya di balik sebuah capaian selalu ada kristalisasi usaha. Apalagi kita bicara dalam konteks Solo-Surakarta Hadiningkrat yang tidak lain merupakan episentrun kultural Jawa. Siapa pun yang menjadi pemimpin di sini adalah mereka yang tidak saja berjalan, tetapi juga menjalani 'Laku'.
Napak tilas ke belakang ayahanda, Joko Widodo pernah memimpin di sini juga. Jokowi ketika itu barangkali tidak pernah menduga karier awal sebagai tukang meubel, dan memimpin Asmindo Solo membuka jalan menjadi Walikota, kemudian Gubernur DKI, dan sekarang adalah orang nomor satu di Republik ini.
Garis tangan sudah pasti menjadi rahasia Allah, tetapi ikhtiar lahir peran tokoh kharismatik yang bersahaja Hadi Rudyatmo memberi warna tersendiri. Saat itu Rudy lah, begitu pria berkumis tebal asal Pucangsawit tepi Bengawan Solo ini akrab disapa menjadi penentu bidak. Ya, tak bermaksud melebihkan ketika itu Rudy memang punya peran besar.
Kini Rudy sang tokoh itu baru saja lengser keprabon…
Inspiring pilihannya tidak berlabuh pada kelindan dunia politik atau bisnis. Rudy memilih kembali menjadi tukang las. Ahayy, semoga tak lebay...
Tahta yang diemban selama satu dasawarsa lebih akan diestafetkan pada anak muda, yang ketika Rudy dan Jokowi mengawali memimpin Kota Solo masih jadi anak ingusan.
Sebagai penerus, Gibran boleh jadi dan semestinya dapat lebih baik dari seorang Joko Widodo sendiri. Sebab penempaan dan guru yang mendidik jauh lebih mumpuni.
Bagaimanapun Gibran mendapat ilmu juga lebih lengkap. Tidak hanya dari sang ayah, Joko Widodo tetapi juga Rudy sendiri tak luput turut membesutnya.
Kita bisa saja meragukan Gibran, seperti kesan saya pertama melihat bocah ini yang kemudian menjadi pembuka "Catatan Jayanto" ini. Gibran dulu, jelas berbeda dengan Gibran sekarang. Dan pada kesempatan ini
frankly speaking saya ingin menyampaikan selamat untuk Gibran Rakabuming Raka.
Meski saya sempat nyinyir dengan kesan pertama, tetapi saya melihat optimisme dan visi yang cukup menjanjikan bagi perjalanan kepemimpinannya. Apalagi era seperti sekarang, era disrupsi yang menuntut segala sesuatunya lebih tangguh, efisien, dan efektif.
Maaf, kualifikasi ini rasanya Gibran punya. Ya atau tidak sekarang saat anda membuktikan. Kalau anda sungguh-sungguh dan menyempurnakan semuanya, bisa jadi inilah calon Presiden Indonesia mendatang juga.
Jayanto Arus Adi
Pemimpin Umum RMOL Jateng, Pokja Hukum Dewan Pers, Tenaga Ahli DPR RI, dan Anggota Dewan Pertimbangan Unnes
BERITA TERKAIT: