Secara konseptual, kebijakan PSBB bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 meluas kedaerah lain atau zona luar yang dianggap masih relatif aman dari jangkauan penyakit tersebut. Dengan begitu, langkah-langkah taktis dilakukan pemerintah (Tim Gugus Tugas Covid-19) untuk mencegah kumpulan orang atau kerumunan orang yang dipandang berpotensi menularkan bahkan tertular.
Tentu asumsi utama dari tersebarnya virus atau menyebarluaskan virus adalah pada kekuatiran adanya orang perorang yang tertular tetapi tidak dalam pantauan Gugus Tugas Covid-19 pada tiap tingkatan mulai dari pusat sampai daerah. Hingga opini ini ditulis, asumsi belum terjawab, dimana orang yang diduga terkena Covid-19 yang tidak dalam pantauan (ODP) masih dimungkinkan berada di tengah-tengah kerumunan masyarakat.
Adapun kekuatiran lain bahwa Tim Gugus pada tingkat Kecamatan bahkan Desa dan Kelurahan masih dalam keterbatasan peralatan medis, dan juga terbatas pada sumber daya tenaga medis (tidak memadai).
Kekuatiran ini berdampak pada banyak kasus sebab kurang pemahaman masyarakat terkait dengan standar karantina mandiri dan metode menetapkan ODP berpotensi terkena covid 19. Akibatnya masyarakat membuat standar karantina yang kerapkali pada beberapa desa/kelurahan menimbulkan gejolak sosial baru yang meresahkan.
Pada konteks tidak terpantaunya orang yang sudah tertular akut dan atau orang yang dalam proses tertular, tergambar pada beberapa daerah yang tadinya bersih dari Covid-19, kini terdata dan hampir di seluruh provinsi tersebar di Indonesia, sebagaimana diumumkan oleh Tim Gugus Tugas telah masuk sebagai daerah terkena dampak penyebaran Covid-19 (tidak ada provinsi yang bebas). Fakta ini juga diperkuat dengan semakin bertambahnya jumlah penderita Covid-19, yang setiap hari selalu diumumkan pemerintah.
Pada beberapa catatan itulah, kita patut merespon dan memberi masukan terkait kerangka pencegahan yang sudah diskenariokan oleh Pemerintah Pusat (Tim Gugus Tugas) dan tindak lanjut oleh Pemerintah Daerah. Bahwa dengan penerapan PSBB yang berlangsung sudah lebih dari dua minggu di DKI Jakarta (zona merah) dan kini diperpanjang, itu menandakan bahwa belum ada scenario besar yang dapat dipastikan akan dilakukan secara massif dan dapat mengurangi dan syukur syukur mengakhiri Covid-19.
Maka dari itu, penting untuk kita telisik agar kita dapat menemukan titik krusial yang menyebabkan terjadinya penyebaran Covid-19, apakah melalui orang-orang tertentu yang tidak terdeteksi atau tidak dapat dipantau ataukah penularan terjadi dengan cara lain tanpa melalui orang. Hal ini harus terbuka ke publik penjelasannya oleh pemerintah dalam hal ini Tim Gugus Tugas, agar masyarakat dapat menyesuaikan dan ikut mencegah penularan tersebut.
Secara garis besar, mari kita cermati secara massif pergerakan orang dalam situasi PSBB, mulai dari Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi, dan Bandung Raya yang telah ditetapkan sebagai kawasan PSBB. Pada kota-kota yang disebutkan diatas, telah terdata sebagai daerah yang terkategori sebagai zona merah, (DKI Jakarta), daerah rawan serta daerah potensi rawan penyebaran Covid-19.
Pada skala sosial, amatan riel di lapangan, kita menemukan semakin hari pergerakan orang bertambah atau tidak berkurang, tidak dalam bentuk kumpul-kumpul dalam jumlah besar, tetapi termodifikasi dalam gerakan sosial yang skala terbatas, misalnya kumpul-kumpul belanja di pasar, kumpul-kumpul dilorong perkampunan (pangkalan ojek dan ojek online) atau pusat pusat belanja sembako bahkan dijalanan umum. Semua itu nampak jelas dan tidak dalam protokuler pencegahan dan Penularan Covid-19.
Padahal potensi tersebar dan disebarkan oleh orang terkena Covid-19 yang tidak menyadari atau tidak mengetahuinya (tidak terdeteksi) melalui kantong-kantong tersebutkan diatas adalah dimungkinkan dan besar kemungkinan untuk itu terjadi.
Pada skema penanganan Covid-19 melalui kebijakan PSBB, yang mengemuka adalah debat soal pemberian jaminan sosial dan bantuan sosial Pemerintah Pusat dan Daerah pada masyarakat terkena dampak.
Pemerintah Daerah, sudah mulai direpotkan dengan protes warga akibat saluran bantuan yang tidak tepat sasaran, kurangnya jumlah bantuan dan resahnya warga yang terkena dampak tapi tidak terdata sebagai penerima bantuan, belum lagi mulai terjadi penjarahan dan kejahatan pencurian dibeberapa tempat yang meresahkan.
Dari dampak PSBB ini, fokus pencegahan mulai longgar dan tidak tepat pada sasaran awal yaitu pencegahan penyebaran Covid-19. Upaya menghentikan aktifitas sekolah, pusat perbelanjaan, pusat keramaian, mobilitas tranportasi umum mulai dari laut, darat dan udara, dimaksudkan untuk mencegah terjadi perkumpulan orang dan mencagh penyebaran melalui mudik.
Hal ini tepat adanya, tetapi implementasi PSBB dilapangan menunjukan tidak efektif, karena warga pendatang dari luar Jakarta (peminat mudik) sedang mengalami kepanikan, akibat kehilangan pekerjaan, terkena PHK, penghentian gaji dan atau dirumahkan. Kepanikan warga migrasi dari luar Jakarta sebagai zona merah, menjadi penyebab maraknya jumlah pemudik, akibat terancam tidak dapat membayar sewa tempat tinggal atau menanggung biaya hidup di Jakarta.
Ini semua akumulasi sosial yang ditimbulkan dari kebijakan PSBB dan semestinya mendapatkan perhatian pemerintah, jika hendak ingin menekan jumlah turunnya pemudik (galakan bantuan sosial bagi pendatang yang terkena dampak untuk tidak mudik).
Bahwa PSBB, adalah kebijakan tepat bila dibandingkan dengan opsi lock down, tetapi lock down sesungguhnya telah diterapkan pemerintah pusat melalui larangan masuknya Warga Negara Asing ke Indonesia. Sementara persebaran aktifitas masyarakat dalam negeri, menjelang bulan ramadhan dan lebaran idul fitri membuat kebijakan PSBB mengalami ganguan tercapainya target.
Gerakan massifnya mudik membuat potensi terjadi penyebaran Covid-19 ke berbagai daerah. Hal ini bisa terjadi melalui orang tidak dalam pemantauan akan sangat dimungkinkan menjadi penyebab penyebaran. Bahwa kami berpendapat, PSBB yang diperpanjang oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sampai dengan tanggal 23 Mei 2020, dan dimungkinkan akan disusul oleh daerah lain adalah buru-buru dan tidak terlalu cermat bukan tidak tepat.
Bahwa pada kepentingan mencegah kerumunan sosial atau perkumpulan kita sepakat, bahwa PSBB harus diperpanjang. tetapi tenggang waktunya harus diselaraskan dengan langkah dan target pencegahan Pemda DKI Jakarta. Sehingga kita dapat mengetahui secara pasti apa langkah yang nyata dilakukan untuk mencegah jumlah penderita Covid-19 yang semakin bertambah. Kita tidak mendengarkan secara jelas dan menyaksikan upaya pencegahan yang bersifat massif, dan berdampak pada kurangnya penderita atau semakin mengekecilkan jumlah penderita.
Bahwa harus segera dilakukan evalusi total dari skema pencegahan dan penyebaran Covid-19 yang dilakukan oleh gugus tugas Pusat maupun Daerah. Hal yang paling utama adalah menetapkan satu skema besar pencegahan dan menjadi standar seluruh daerah untuk melakukan pencegahan dini pada orang tertular tetapi tidak dalam pantauan atau orang berpotensi tertular tetapi tidak dalam pantauan.
Harus ada pembatasan ruang gerak orang yang terkena dan dalam pantauan Covid-19 dan dalam data yang falid. Skema besarnya isolasi mandiri dilakukan sebagaimana standar pencegahan dan penanganan Covid-19, selain harus melakukan screen massif dengan metode swab lab yang berbasis pada RT/RW dengan dimensi waktu yang ditetapkan dalam dua minggu maksimal.
Semua orang dalam lingkungan khususnya zona merah dan zona massif Covid-19 sebagai obyek screen massif dapat terdata dengan jelas, dengan demikian secara serentak pemerintah dapat mendeteksi seluruh orang tertular dan berpotensi tertular serta Pemerintah dapat menetapkan standar penanganannya, apakah karantina mandiri ataukan standar lain yang lebih bersifat kongkrit.
Dengan demikian, kita dapat membatasi pergerakan orang tertular dan berpotensi tertular untuk tidak berkeliaran di tengah masyarakat. Dari aspek ini, pemerintah akan mampu membatasi pergerakan orang dalam setiap wilayah berbasis data penderita Covid-19.
Tentu berbeda dengan kenyataan yang saat ini kita lihat, satu sisi upaya pencegahan terus dilakukan pemerintah, sisi lain pertambahan jumlah penderita dan sebarannya pun makin meningkat. Aritinya ada hal yang tidak cermat dalam kebijakan penanggulangan dan dalam hal menerapkan PSBB khususnya dalam membatasi pergerakan orang.
Evaluasi kebijakan dalam penanggulangan harus segera dilakukan, opsi PSBB sesungguhnya bukan sau satunya cara dalam menghentikan penyebaran Covid-19, melainkan harus ada cara lain yang lebih tepat sasaran yaitu menghentikan bukan sekedar mencegah Covid-19 dari negera Indonesia yang kita cintai.
Muhammad Syukur MandarPraktisi hukum, Kordinator Koalisi Masyarakat Pemantau Covid-19 (Kompi-19).