Ketiganya adalah pembina pramuka yang menjadi tersangka atas musibah banjir bandang yang menghanyutkan 249 siswa, peserta kegiatan susur sungai, di sungai Sempor, Sleman. Siswa selamat 216, luka-luka 23, dan 10 orang tewas. Peristiwa susur sungai itu terjadi Jumat lalu (21/2).
Reaksi PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) marah atas pembotakan guru tersebut. Melalui akun mereka, tindakan pembotakan guru itu dianggap menghina guru. "Koruptor-koruptor aja nggak dibotaki, kenapa guru dibotaki?" tweetnya.
Pro kontra tentu saja meluas karena PGRI dan banyak pihak menganggap kejadian yang dihadapi siswa-siswa SMP N 1 Turi itu adalah musibah yang dapat terjadi di luar kekuasaan manusia.
Namun, pihak lainnya menganggap bahwa hal itu bukan musibah biasa. Sebab, perencanaan kegiatan pramuka susur sungai, yang dilakukan siswa-siswa SMP N Turi, yang semuanya anak-anak kecil, tidak selayaknya dilakukan pada musim hujan. Apalagi standar peralatan keamanan versi resmi kegiatan menantang alam tidak dipenuhi.
Apakah peristiwa ini musibah yang dapat dimaafkan? Ataukah sebuah hukuman keras layak dijatuhkan kepada guru-guru tersebut?
Pertanyaan ini tidak gampang dijawab.
Dedy, orang tua Khairunnisa, seorang siswa korban, misalnya, mengatakan tidak akan menuntut gurunya. Ini sebuah musibah, katanya. Namun, bagaimana orang tua lainnya? Bagimana pihak-pihak terkait lainnya?
Anak-anak kecil belia itu bukanlah anak-anak mandiri yang mampu secara rasional membaca prakiraan cuaca, khususnya tentang hulu sungai di sekitar Gunung Merapi. Gurunya dan pihak sekolah harusnya mempunyai kemampuan untuk itu.
Namun, pihak sekolah dan guru sudah merasa bahwa mereka adalah warga setempat. Mereka sudah tahu "wisdom" lokalnya. Mereka adalah bagian alam itu sendiri. Apalagi kegiatan susur sungai adalah kegiatan rutin Pramuka di sekolah itu.
Sepuluh siswa yang meninggal adalah perempuan. Perempuan-perempuan di pedesaan kita terlihat lebih mudah sebagai korban dari sebuah bencana. Hal ini menyedihkan juga, dan membutuhkan penelitian lebih lanjut. Apakah gizi mereka lebih buruk dari lelaki?
Tantangan Guru Di PedesaanGuru-guru di desa haruslah bahagia sebab mereka masih punya desa. Begitu juga anak-anak sekolah di desa. Alam di desa adalah sahabat manusia. Selama perusakan desa tidak besar, maka moralitas masyarakat desa adalah moralitas komunitas, bukan individual.
Moralitas komunal ini mengantarkan guru dan murid menjadi sebuah keluarga. Sehingga mencelakakan murid dapat dianggap mencelakakan anak sendiri.
Acara-acara "berselingkuh" dengan alam adalah aktivitas mulia warga desa. Semakin banyak siswa dapat disatukan jiwanya dengan alam, semakin banyak gurunya bersatu dengan alam, semakin jauh anak-anak itu dari kejamnya dunia kota. Dunia kota dihantui dengan anak-anak yang terjebak "mati jiwanya" di
game online warnet.
Namun, desa juga akan menjadi setengah kota dengan dunia medsos dan internet ini. Tantangan guru-guru adalah bagaimana mempertahankan kecintaan manusia pada alam, tanpa kehilangan akses pada teknologi dan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks musibah susur sungai Sempor Kecamatan Turi, Sleman ini, para tokoh desa, terutama atas bimbingan Sinuhun Sultan Ngajogjakarta, perlu melakukan evaluasi serius. Pendekatan hukum perlu dipikirkan apakah "restorative justice", atau seperti saat ini menggunduli kepala-kepala guru dan membuat pasal-pasal berat sebagai tersangaka?
Restorative Justice mungkin perlu dipertimbangkan jika pertimbangan kita adalah menyelamatkan sebuah komunitas desa dalam menilai dan menghukum anggotanya. Sebaliknya jadi hukum pidana kriminal murni, jika kita melihat pembalasan setimpal terhadap kelalaian guru perlu dilakukan.
PenutupSepuluh gadis cilik desa telah tewas di Kecamatan Turi, Sleman. Mereka adalah siswa SMPN 1 Turi, yang tidak mampu selamat dari banjir bandang ketika susur sungai Sempor di Kecamatan Turi. Kejadian ini telah memilukan kita semua.
Pertanyaan menggunung kenapa:
1. 10 yang tewas adalah anak-anak wanita semua?
2. Apakah pantas guru pembina pramuka dijatuhkan hukuman keras? Ataukah sebaiknya tokoh-tokoh Yogyakarta, khususnya Sleman, khususnya lagi PGRI dan orang tua siswa berembuk soal ini:
Restorative Justice?
3. Apakah kecintaan kepada desa, sungai, gunung, laut, dll dapat tetap dipertahankan sambil menghitung risiko yang lebih presisi?
Kita mendoakan gadis-gadis cilik itu masuk surga. Mendoakan yang masih sakit segera sembuh. Namun, kita tetap harus mencari kepastian hukuman yang tepat buat guru-guru yang lalai.
Jangan sampai kita membuat kesedihan mengubah cara pandang kita terhadap alam dan indahnya pedesaan dan komunalitas desa.
Dr. Syahganda NainggolanSabang Merauke Circle, anak guru