Beberapa waktu lalu, penulis juga membaca ulasan mengenai perjalanan hidup Setnov mulai menjadi seorang salesman, sopir sampai menjadi pengusaha besar yang kemudian terjun sebagi politisi hebat. Setnov dikenal sebagai seorang pelobi yang ulung. Sudah banyak masalah-masalah yang dikaitkan dengannya termasuk salah satunya kisah “papa minta saham†yang fenomenal itu, tapi nyatanya Setnov masih bisa survive dan kembali menjadi Ketua Umum Golkar dan salah satu Ketua DPR setelah sebelumnya sempat diturunkan berdasarkan rekomendasi Badan Kehormatan DPR RI.
Reformasi 1998 menghasilkan kehidupan bernegara yang sangat demokratis di Indonesia. Partai politik menjadi wadah dan sarana untuk bisa menduduki posisi di legislatif maupun eksekutif. Harapan reformasi tentang hilangnya KKN dalam praktek bernegara, yang sebelumnya identik dengan pemerintahan Orde Baru, menjadi jargon dalam kampanye oleh setiap partai politik.
Tetapi kenyataanya adalah jauh api dari panggang. Justru dengan signifikannya peran dan kewenangan Partai Politik menjadikan Partai Politik sebagai sumber mencari pendapatan/uang. Adanya istilah “mahar†untuk bisa mencalonkan diri baik menjadi eksekutif maupun legislatif, biaya kampanye dan iuran untuk partai setelah terpilih, menjadi sebab adanya politik biaya tinggi dan politik dagang.
Partai politik menjadi dikuasai oleh mereka yang punya uang. Tidak perlu penulis sebutkan satu persatu, tetapi bisa dilihat bahwa demikian banyak pengusaha yang kemudian menjadi pengendali di balik layar atau bahkan tampil menjadi Ketua Umum Partai Politik. Adanya kebutuhan untuk dana konggres, dana kampanye, iklan dll menyebabkan hal ini tidak bisa dielakkan.
Dan hal yang juga tidak bisa dielakkan adalah
there is no free lunch…tidak ada makan siang gratis. Setiap pengusaha yang mengeluarkan dananya untuk partai politik pasti ingin mendapatkan imbal balik dari investasinya. Hal yang paling sederhana adalah bisnisnya tidak terganggu dan kalau bisa diuntungkan oleh setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif). Dan yang lebih parah lagi adalah adanya praktik KKN oleh pemegang amanah rakyat tersebut karena tuntutan pengembalian modal.
Politik itu sebenarnya cara untuk memperoleh kekuasaan dengan legal dan setelah berkuasa menjalankan misi politiknya yaitu memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Begitulah kondisi idealnya.
Banyak orang yang akhirnya anti dunia politik, menyatakan bahwa dunia politik itu busuk. Padahal bukan dunia politiknya yang busuk tapi mungkin politisinya. Menjadi eksekutif maupun legislatif itu lebih dominan peranya sebagai pengatur anggaran yang besar yang berupa APBN (pemerintah pusat) dan APBD (pemerintah daerah) yang merupakan hak rakyat yang menjadi amanahnya. Tentu saja untuk kesejahteraan rakyat.
Uang 100.000 rupiah di tangan seorang Bapak atau kepala rumah tangga yang baik mungkin akan dibelikan 1 karung beras dan 1 kg telur ayam yang bisa untuk makan istri dan anak-anaknya dalam waktu seminggu bahkan bisa lebih. Sementara apabila uang tersebut berada di tangan seorang Bapak atau kepala rumah tangga yang kurang baik, bisa saja jadi 1 kaleng bir dan 1 bungkus rokok yang dinikmatinya semalam kemudian pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan pusing.
APBN pemerintah pusat dan APBD pemerintah daerah itu seperti analogi uang 100.000 di atas dengan jumlah yang luar biasa lebih besar. Ditangan orang yang amanah bisa sangat bermanfaat akan tetapi di tangan orang yang tidak amanah bisa kurang bermanfaat, tidak bermanfaat sama sekali dan bahkan bisa merugikan atau menjadi mudaharat. Hal inilah yang menyebabkan peran pemerintah sangat berpengaruh dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah yang baik pasti bisa menyejahterakan rakyatnya sementara pemerintah yang buruk akan merugikan kepentingan rakyat banyak.
Di negara yang lebih maju seperti Australia, penegakan hukum sangatlah tegas. Tidak ada toleransi untuk pelaku Korupsi dan Kolusi. Hukum juga tidak tumpul ke atas. Azas hukum yaitu “
equality before the law†: semua orang sama di depan hukum benar-benar diterapkan.
Syarat terbentuknya demokrasi yang baik salah satunya adalah adanya penegakkan hukum yang baik. Tanpa adanya penegakkan hukum yang baik dalam sistem demokrasi, siapapun bisa menjadi penguasa apabila terpilih, kemudian dengan kekuasaan tersebut akan berusaha mendapatkan uang (bisa jadi dengan cara yang illegal / KKN), kemudian uang tersebut digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Siklus ini akan terus berputar apabila penegakkan hukum tetap lemah.
Kasus Setnov ini semoga menjadi momentum perbaikan dunia politik di Indonesia. Kader yang diajukan oleh Partai Politik untuk menjadi pemimpin harus dilihat dari prestasi, dedikasi dan integritas nya, bukan hanya kemampuan finansial nya saja. Dengan begitu, demokrasi adalah jalan terbaik untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih dari KKN sebagaimana cita-cita reformasi 1998.
Masyarakat juga harus cerdas dalam menentukan pilihanya. Integritas dari kandidat dan program kerja yang mereka tawarkan haruslah menjadi dasar menentukan suara. Masyarakat harus menyadari bahwa kandidat yang menebar uang untuk mendulang suara kelak pasti minta kembali modalnya. Proses mengembalikan modal inilah yang akan mendatangkan kerugian dan penderitaan buat masyarakat secara keseluruhan.
Warga negara yang merasa mampu memegang amanah dan memungkinkan untuk mengabdi pada masyarakat juga harus memberanikan diri terjun di politik. Apabila tidak ada orang baik yang maju terjun ke politik maka hanya orang tidak baik yang akan menguasai panggung politik Indonesia, dengan misi kesejahteraan pribadi dengan metode korupsi dan kolusi.
Oleh sebab itulah penulis berdoa semoga makin banyak orang baik yang terjun di politik Indonesia, untuk berani menerima amanah rakyat dengan misi mulia menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Penegakkan hukum yang baik, partai politik yang menawarkan kader terbaiknya dari sisi integritas dan pengabdian, masyarakat yang cerdas dalam menentukan pilihan adalah 3 prasarat perbaikan dunia politik di Indonesia.
Yes, we can.[***]
Dedi Gunawan Widyatmoko, S.E. Mahasiswa Program Pascasarjana (Master) pada Faculty of Law, University of Wollongong, Australia