Sejak ditemukan teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet, setiap orang bebas, bahkan bisa seenaknya, ikut mengisi wacana publik. Terdapat perbedaan menyolok kualitas dan arah wacana publik pada masa sebelum dan sesudah ditemukan medsos yang berbasis internet. Mari kita amati bersama.
Dulu yang menjadi opinion maker dan opinion leader itu para elite pemimpin, intelektual, dan tokoh-tokoh masyarakat yang terseleksi, melalui media televisi, surat kabar atau mimbar ceramah. Pidato Presiden dan jajarannya akan dijadikan rujukan masyarakat, sementara pejabat dibawahnya akan menjadi penyambung lidah kebijakan atasan. Kemudian peran televisi dan surat kabar juga terkontrol.
Oleh karenanya, yang mendominasi wacana publik bukan sembarang orang. Di samping pejabat tinggi negara, hanya figur-figur yang dianggap memiliki reputasi intelektual dan berpendidikan tinggi yang pendapatnya quotable, dikutip dan disebarkan oleh media massa.
Sekarang era itu telah berakhir, suasana batin masyarakat mengalami perubahan, khususnya mereka yang masuk komunitas netizen. Dengan handphone, seseorang bisa jadi produsen berita dan opini, dan sekaligus juga konsumen, yang dengan mudah dan murah ikut menyebarkan berita maupun gambar melalui WhatsApp, Twitter atau program lainnya dalam waktu yang cepat dan singkat.
Arah dan semangat yang mendominasi ruang publik sangat dipengaruhi oleh peristiwa sosial yang sedang ngetrend. Bagi pencinta sepak bola, misalnya, ketika berlangsung piala dunia maka topik bola menjadi tema wacana publik yang mengasyikkan. Tetapi belakangan ini peristiwa politik pilkada DKI telah melibatkan partisipasi tidak saja sebatas warga Jakarta, tetapi juga berskala nasional, untuk menyampaikan sikap politiknya.
Peristiwa ini sesungguhnya mengungkapkan banyak hal, tidak semata pemilihan Gubernur DKI. Antara lain, perasaan dan pikiran privat yang bersifat sangat pribadi dan subyektif lalu muncul dan mendominasi ruang publik, tanpa ada kriteria, standar dan seleksi kepantasan dari sisi isi maupun etika. Semuanya bisa dilempar dan ditumpahkan ke ruang publik hanya melalui handphone, kapan saja, dari mana saja, dengan jumlah pengguna yang selalu berkembang.
Setiap orang bisa menjadi penulis, pembaca dan analisis tanpa seleksi dan moderator. Pengamatan sementara, bahasa yang tampil di medsos akhir-akhir ini, mungkin pengaruh dari pilkada DKI, lebih mengemuka ekspressi "like or dislike", senang atau tidak senang, ketimbang ungkapan-ungkapan "salah-benar" hasil pengamatan dan penalaran kritis-kontemplatif. Kalau sikap politik tidak "senang tidak" argumen lawan secanggih apapun tidak digubris. Orang pun terbiasa berpikir pendek, bacaannya pendek-pendek berupa postingan, sehingga emosinya bersumbu pendek.
Anehnya, wacana publik yang memikirkan kebangsaan di atas segregasi sosial, malah tidak muncul, atau tidak laku. Pemikiran kritis dan obyektif dikalahkan oleh semangat dan emosi "suka dan tidak suka" terhadap kelompoknya. Jika sentimen identitas etnis dan agama ini berkelanjutan dan melebar kemana-mana, maka pada urutannya akan mengkhianati amanat para pendiri bangsa yang mencanangkan motto bhinneka tunggal ika. Kohesi sosial rapuh, ikatan berbangsa pun kendor, bahkan bisa putus.
Yang namanya Indonesia seperti yang dicitakan para pejuang kemerdekaan akan tinggal nama tanpa substansi.
Yang juga menarik perhatian kita, perkembangan teknologi transportasi dan informasi yang berkembang sangat cepat, pengaruhnya sangat dahsyat dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi, sehingga mayoritas rakyat tidak sanggup memahami, mengikuti dan menyesuaikan diri.
Mayoritas rakyat yang tingkat pendidikan dan ekonominya rendah, yang dirasakan adalah kebingungan, tidak paham apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Tidak tahu, siapa sesungguhnya panutan bangsa ini. Mereka tidak tahu mana berita dan omongan yang benar dan salah, mana yang palsu (hoax) dan yang asli.
Suasana batin masyarakat semakin tidak menentu lagi ketika melihat para elite politik dan agama pada bertengkar, dan masing-masing menggunakan dalil keagamaan. Mereka bingung, meskipun agamanya sama tetapi saling mencaci, menganggap yang lain munafik, bahkan kafir, hanya karena berbeda mazhab atau beda pilihan jagonya dalam pilkada atau pemilu. Agama bukannya menyatukan, tetapi memecah. Agama bukan menenteramkan, tetapi membuat panas.
Ketika masyarakat bingung dan tidak mampu mengikuti perubahan yang sedemikian cepat, maka muncul crowd mentality. Mental kerumunan untuk mendapatkan rasa aman, karena kehilangan kepercayaan diri dan gamang. Mereka memilih berkumpul dengan kelompok yang memiliki identitas sama entah identitas etnis, agama, mazhab atau sekedar seragam bajunya.
Salah satu yang paling efektif sebagai tempat perlindungan untuk mendapatkan comfort zone adalah identitas agama, karena agama diyakini sebagai ruang sakral, kebenarannya diyakini absolut, dan berada pada pihak Tuhan, pada hal konstruksi pemikiran keagamaan itu hasil pikiran manusia yang nisbi.
Keyakinan agama cenderung close ended, beda dengan penalaran ilmiah yang bersifat open ended. Tetapi jika peran agama hanya sebagai tempat berlindung bagi mereka yang memiliki crowd mentality, maka agama akan kehilangan fungsi dan missinya sebagai motor dan pilar peradaban, pilar perdamaian, dan sumber kecerdasan. Para aktivis intelektual dan agamawan yang independen serta bijak bestari mesti aktif ikut mengisi wacana publik agar berkembang sehat, konstrukrif dan produktif.
[***]
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Pendiri Yayasan Pendidikan Madania Indonesia