Lebih sibuknya pemerintah dalam mengurus kebutuhan simbolik para guru tentu sangat disayangkan. Pasalnya sebuah gelar seperti Gr, seperti dikatakan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Semarang, Ngasbun Egar (20/2) belum dapat mengidentifikasi keprofesionalan seorang pendidik. Gelar Gr yang diberikan kepada sarjana kependidikan yang sudah menjalani PPG hanya bukti pengakuan formal sebagai guru. Namun itu bukan jaminan para penyandang gelar Gr sudah mendapatkan pengalaman mengajar dan mengabdi yang diperolehnya dari praktek lapangan.
Jadi jelas itu tak menjamin keprofesionalan guru bersangkutan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain tak menjamin profesionalitas, pemberian gelar juga menandakan pemerintah tidak pernah memfokuskan diri kepada akar persoalan pendidikan. Dalam memandang sebuah persoalan pendidikan, pemerintah selalu saja terjebak kepada solusi instan, simbolik dan formalisme, bukan mengutamakan bagaimana menemukan solusi sistemik, bertahap dan mengakar ke bawah sebagai pelaksana kebijakan tingkat lapangan. Pemerintah perlu mengingat, pelatihan untuk mendapatkan gelar dalam waktu singkat tidak mampu dijadikan dasar dalam pemberian gelar profesi (Hafid Abbas: 2012)
Padahal selama ini, jamak terjadi wacana simbolik dan formalisme selalu saja menghadirkan masalah baru sehingga membuat persoalan guru semakin rumit. Sebagai contoh bagaimana pelaksanaan sertifikasi guru yang bersifat formalisme, sehingga dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kekacauan, kecurangan dan ketidaksiapan yang dapat berujung tidak sesuai harapan. Padahal anggaran yang sudah dikeluarkan untuk pelaksanaan program tersebut tidak sedikit. Ketika hasilnya jauh dari harapan, pertanyaan mendasarnya apakah pemerintah sudah membuat mekanisme program yang efektif dan efisien, atau membuat program sebagai cara praktis untuk menghabiskan anggaran pendidikan?
Sebenarnya jika pemerintah sadar, kurangnya kapasitas dan kompetensi guru adalah buah sistem pendidikan yang tidak pernah serius mengutamakan pendidikan dan unsur strategis pendukungnya. Maka, pemberian gelar sebaiknya tidak difokuskan pemerintah, melainkan bagaimana memberikan pelatihan yang sesuai kebutuhan guru, adanya sistem kenaikan pangkat secara periodik dengan standarisasi yang jelas dan pemberian kesejahtaraan yang layak. Sehingga tidak lagi dapat ditemukan, adanya guru ketinggalan IPTEK dan sibuk mencari pendapatan di tempat lain akibat tidak sebandingnya pendapatan dengan jam mengajar maupun pengabdian.
Apalagi selama ini masih mudah ditemukan guru yang berkompetensi rendah akibat hanya diberikan pelatihan sesaat. Padahal sejatinya pengetahuan terus berkembang sehingga penemuaan model pembelajaran baru dan IPTEK terus mengalami pecerpatan. Tidak heran, ketika kebutuhan guru misalnya melek teknologi dibutuhkan, pemerintah dan instansi terkait tidak menyasar sasaran itu. Sebaliknya pemerintah sibuk mengagendakan program-program yang ujungnya bancakan anggaran sehingga guru hanya sebagai objek penderita dalam proses pendidikan.
Bagaimanapun adanya gelar Gr membuktikan pemerintah masih terjebak "politisasi pendidikan" yang akut. Seolah dengan berlandaskan pengakuan profesi, pemerintah merasa berhak melakukan mengerdilkan guru dengan membudayakan jebakan gelar, bukan bagaimana peningkatan kompetensi dalam menghadapi perubahan lingkungan strategis pendidikan. Itu semua membuktikan bahwa penetrasi kekuasaan adalah penyebab utama mengapa pendidikan Indonesia tidak pernah siuman dalam mencapai tujuannya membentuk manusia dewasa, moralis dan bertanggung jawab terhadap diri dan masyarakat luas (Har Tilaar: 2012)
Akhirnya kita berharap tentunya pemerintah membuat kebijakan yang rasional sehingga para guru tidak terus disibukkan, dibingungkan dan dikebiri peranannya dalam mencapai tujuan muliasnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Alangkah baiknya, pemerintah terus berupaya meningkatkan kompetensi guru dengan memberikan berbagai pelatihan terhadap ilmu pendidikan sesuai dengan perkembangan terbaru dan dilakukan secara bertahap. Sehingga kesan bahwa guru selalu ketinggalan zaman dan perubahan dalam dunia pengajaran dapat dihindarkan (Bedjo Susanto: 2012)
Inggar Saputra
Analisis Institute For Sustainable Reform (INSURE)