Hutang DBH Pemprov Sumut kepada 33 kabupaten kota sebesar Rp. 1,3 triliun, dan kepada KSO sebanyak Rp. 900 miliar. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan di saat PON 2024 Aceh-Sumut, dan pelaksanaan Pilkada Serentak.
Pengamat Kebijakan dan Anggaran Elfanda Ananda mengatakan kondisi defisit anggaran Pemprov Sumut tahun 2024 diketahui berdasarkan laporan LHP BPK RI tahun 2022-2023.
"Dari LHP BPK RI ditemukan adanya hutang Pemprov Sumut ke kabupaten kota sebesar Rp.1,3 triliun belum dibayar, dan ditambah dengan hutang KSO proyek multi years sebesar Rp.900 miliar dengan total keseluruhan hutang yang menjadi kewajiban Pemprov Sumut sebesar Rp. 2,2 triliun," ungkap Elfanda Ananda kepada wartawan di Medan, Selasa (20/8).
Elfanda membeberkan dengan laporan LHP BPK RI tersebut, pendapatan daerah (APBD) Sumut tahun 2024 sebesar Rp. 14,6 triliun dan belanja daerah sebesar Rp.14,8 triliun dengan pembiayaan sebesar Rp. 200 miliar. Pembiayaan penerimaan bersumber dari Silpa Rp. 300 miliar dan pengeluaran untuk penyertaan modal sebesar Rp.100 miliar.
"Dari struktur pendapatan dan belanja daerah yang ada menunjukan bahwa Pemprov Sumut memang tidak punya niat untuk segera melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutang sebesar Rp. 2,2 triliun tersebut. Terbukti dengan beban hutang 15% dari total belanja daerah bukanlah hal yang mudah untuk melunasinya kalau tidak ada komitmen untuk menyegerakan membayarnya," kata Elfanda.
Malah Pemprov Sumut, lanjut Elfanda, lebih mengutamakan penyertaan modal Rp. 100 miliar yang sebenarnya itu membuat Perusahaan daerah semakin tidak mandiri. Meski terlihat Pemprov Sumut tahun 2024 membuat target pendapatan daerah yang optimis sebesar Rp. 14,6 Trilun meningkat sebesar Rp. 1,9 triliun dibanding realisasi APBD tahun 2023 sebesar 12,7 Triliun.
Padahal menurut sumber DJPK Kemenkeu, diketahui sampai dengan Agustus realisasi pendapatan daerah baru 42%, sedangkan belanja daerah 45,9%. Tentunya ini bukan hal yang mudah untuk mencapai pendapatan daerah hingga hingga 100%.
Dari sisi belanja daerah pada tahun 2024, semua daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan Pilkada yang harus ditopang oleh APBD. Tentu ini bukanlah hal yang mudah untuk memangkas belanja daerah terutama elit penentu keputusan APBD yaitu eksekutif dan legislatif.
"Untuk eksekutif dalam hal ini kepala daerah (Pj. Gubsu) tentu butuh biaya oprasional yang tidak sedikit. Selain itu, belanja sekretariat DPRD Provinsi yang anggarannya cukup besar, terutama program perjalanan dinas, sosper dan sebagainya yang tentunya tidak akan mau berkurang atau dipangkas anggarannya," kata Elfanda.
Yang paling mungkin, kata Elfanda, mengorbankan daerah bawahan yakni kabupaten kota dengan menunda pembayaran pendapatan dari DBH yang seharusnya menjadi hak mereka.
Kabupaten kota juga akan melaksanakan kegiatan yang sama yakni Pilkada secara langsung yang pembiayaannya ditanggung masing masing dari APBD. Selain yang dikorbankan adalah hak kabupaten kota, tentunya Pemprov Sumut memangkas juga belanja belanja yang berhubungan dengan masyarakat, baik itu belanja pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum seperti infrastruktur jalan, gedung dan sebagainya.
Pemprov Sumut, sambung Elfanda Ananda, tidak punya daya untuk memangkas belanja sekretariat DPRD, selain itu juga tidak punya komitmen untuk menyegerakan membayar hutang.
"Kita juga heran kepada pemerintah pusat yang saat evaluasi APBD, untuk pengesahan APBD tahun 2024 tidak dikoreksi terkait beban hutang yang ada. Padahal, sebagai pembina pemerintahan yang lebih tinggi dari Pemprov Sumut seharusnya tidak boleh menyetujui pengesahan APBD tahun 2024 kalau struktur APBD yang ada, tidak ada upaya menyelesaikan tanggung jawab Pemprov Sumut soal hutang," jelasnya.
Sebab, kata Elfanda, sebelum APBD Pemprov Sumut setiap tahunnya disahkan terlebih dahulu dievaluasi oleh Mendagri. Untuk itu, Mendagri harusnya ikut bertanggungjawab terhadap penderitaan masyarakat Sumut, akibat beban hutang dan struktur belanja yang ada di APBD Sumut tahun 2024.[R]
DPRD Sumut juga seharusnya punya sikap dan empaty terhadap situasi tersebut, dan tidak ikut menghambur hamburkan uang APBD dengan memperbesar perjalan dinas dan memperbesar kegiatan sosper yang hingga saat ini belum dirasakan out put dari masing masing kegiatan tersebut oleh masyarakat.
Jangan sampai karena punya hak budgeting, hak pengawasan, dan hak legislasi, maka pos sekretariat DPRD menjadi prioritas.
"Bukankah wilayah kabupaten kota di Sumatera Utara merupakan basis pemilih yang karena mereka memilih anda sehingga duduk di DPRD Provinsi Sumut. Jangan sampai para kepala daerah dan DPRD kabupaten kota marah kepada gubernur dan 100 anggota dewan Sumut karena menunda nunda bagi hasil yang sebenarnya menjadi hak kabupaten kota. Bisa saja para kepala daerah kabupaten kota menuntut secara hukum hak mereka," beber Elfanda Ananda.
Jika hal ini terjadi, tentunya akan menjadi presden buruk bagi Pemprov Sumut yang abai dalam menjalakan kewajibannya.
"Rakyat akan semakin tidak percaya kepada Pemprov Sumut yang kinerjanya semakin hari semakin negatif di masyarakat," tandasnya.
BERITA TERKAIT: