Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai, pasal-pasal terkait tembakau harus dipisahkan dari RPP Kesehatan.
Pasalnya, selama ini produk turunan tembakau sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 109/2012. Karena itu Trubus mempertanyakan relevansi pengaturan pasal terkait produk tembakau dalam RPP Kesehatan.
“Jadi, kalau tembakau diatur di situ (RPP Kesehatan), kemungkinan berdampak pada industri. Seharusnya RPP tidak mengatur lebih lanjut lagi terkait tembakau. Lebih bagus biarkan saja sesuai undang-undangnya, terpisah (dari RPP Kesehatan),” katanya kepada awak media, Minggu (7/4).
Dia juga menekankan perlunya partisipasi publik secara luas dalam proses penyusunan RPP Kesehatan, agar pemerintah memiliki kebijakan terbaik bagi semua pihak, termasuk bagi industri.
"Ini akan membantu proses perumusan," sambungnya.
Lebih lanjut dia menyatakan, hingga kini masih banyak pasal dalam RPP Kesehatan yang menuai perdebatan publik, termasuk pasal-pasal tembakau.
Untuk itu Trubus mendesak agar pengesahan RPP Kesehatan agar ditunda atau tidak dipaksakan harus dalam waktu dekat.
"Sebaiknya ditunda dulu pengesahannya," pintanya.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan, pengaturan produk tembakau sebaiknya dipisahkan dari pembahasan RPP Kesehatan dengan pertimbangan bahwa IHT memiliki ekosistem yang berbeda secara signifikan dengan sektor kesehatan.
Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, berpendapat, pasal-pasal terkait produk tembakau seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sebagaimana mandat UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Banyaknya larangan terhadap produk tembakau, seperti pembatasan kandungan TAR dan nikotin serta pelarangan bahan tambahan, dikhawatirkan dapat menyebabkan penutupan usaha bagi anggota GAPPRI ke depannya.
“Kretek yang menjadi produk anggota kami menggunakan bahan tambahan rempah sebagai penggenap rasa. Anggota kami juga menggunakan tembakau dalam negeri yang berkadar nikotin tinggi dalam pembuatan rokok. Kalau dibatasi dan dilarang, kitalah yang terkena dampak terlebih dahulu," kata Henry.
Henry juga menegaskan, sebelum ada RPP Kesehatan, IHT telah menghadapi banyak tekanan regulasi. Dari 446 regulasi yang saat ini mengatur IHT, sebanyak 400 (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan.
Karena itu GAPPRI memohon pemerintah memprioritaskan upaya perlindungan IHT yang menjadi tempat bergantung bagi 6,1 juta jiwa.
"Kami mengusulkan tidak dilakukan perubahan pengaturan terhadap industri produk tembakau yang berpotensi semakin memberatkan kelangsungan usaha IHT nasional," tutup Henry.
BERITA TERKAIT: