Jawaban ini dilontarkan Jokowi saat meninjau kesiapan pelaksaan Asian Games 2018 di Kompleks Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, kemarin. To the point, Jokowi menegaskan netralitas TNI, Polri, dan BIN mutlak. "Netralitas TNI, Polri, BIN itu bersifat mutlak dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada. Dan ini sudah saya tegaskan untuk disampaikan ke jajaran yang ada di Polri, TNI, BIN," ujar Jokowi.
Ditegaskan Presiden, kritik SBY ini sudah direspon jajarannya. Yaitu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Kepala BIN Jenderal (Purn) Budi Gunawan. "Sudah saya sampaikan kepada KaBIN, Kapolri, dan Panglima, jadi tidak usah tanyakan lagi. Dan saya juga mengajak masyarakat untuk sama-sama mengawasi. Marilah kita sama-sama mengawasi," jelas Jokowi.
Tidak hanya menunjuk jajarannya, eks Walikota Solo itu juga mempersilakan kepada siapapun untuk melaporkan tiga lembaga tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), jika terbukti tidak netral. Jokowi juga mengajak masyarakat ikut mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum. "Mari bersama-sama mengawasi," pungkasnya.
Respon Jokowi ini seperti menjawab permintaan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Kemarin di Gedung DPR, Fahri minta agar Jokowi tak diam-diam saja menanggapi kritikan SBY.
"Harusnya ya secara etika Pak Jokowi yang harus menanggapi. Level komunikasinya itu high level concern. Jadi kalau yang ngomong itu mantan presiden mbok ya dijawab dong, jangan diem-diem aja, jangan tidak ditanggapin," kata Fahri.
"Yang ngomong ini Pak SBY, bukan orang sembarangan. Dia pernah memimpin lembaga-lembaga itu 10 tahun. Jadi dia tahu titik-titik lemah dan kemungkinan-kemungkinan terjadi. Maka dia memberi warning," tambahnya.
Respon Jokowi ini bisa dibilang tak sepanas PDIP. Ketum DPP PDIP Komaruddin Watubun, sehari sebelumnya merespons keras kritik SBY. Dia menilai SBY sedang bermanuver. Berlaku seolah-olah menjadi korban. Namun, kata dia, manuver ini sudah basi.
"Era politik melodramatik SBY itu sudah berakhir dan ketinggalan zaman. Rakyat sudah tahu 'politik agar dikasihani' model SBY tersebut," kata Komaruddin dalam keterangan yang diterima redaksi.
Dia balas menyebut SBY tidak memikirkan bangsa dan negara lewat Pilkada. Komaruddin menuding SBY hanya mengutamakan kepentingan partai dan keluarganya. "Daripada sibuk menyalahkan Pak Jokowi dan aparat negara, lebih baik Pak SBY buka-bukaan terhadap apa yang sebenarnya terjadi pada Pilpres 2004 dan 2009," tuntasnya.
Sebelumnya, SBY secara terang-terangan menyebut ada oknum dari BIN, Polri dan TNI yang tak netral dalam Pilkada 2018. SBY menegaskan ini bukan hoaks. Karena ada dasarnya. Ada fakta dan kejadiannya.
Berbagai dugaan ketidak netralan tersebut antara lain terjadi di Jawa Timur. Saat polisi memanggil para koordinator serikat pekerja yang ingin mendukung pasangan Khofifah Indar Parawansa- Emil Dardak. Kasus lain terjadi di Riau, Pekanbaru. SBY menyebut ada arahan dari petinggi BIN kepada petinggi TNI untuk memenangkan pasangan tertentu. Hanya saja, petinggi TNI tak menggubris arahan tersebut. SBY juga menyinggung kasus di Maluku. Kasus terakhir ialah penggeledahan rumah dinas Wagub Jabar Deddy Mizwar oleh Penjabat Gubernur Jawa Barat M Iriawan.
"Yang saya sampaikan ini, cerita tentang ketidaknetralan elemen atau oknum dari BIN, Polri, TNI, bukan lembaganya. Ada kejadiannya. Ini nyata, tidak hoax," tegas SBY di Bogor, Sabtu (23/6). Tidak hanya itu, saat hendak dilakukan penghitungan suara Pilkada DKI pun, lanjut SBY, namanya sempat disebut oleh mantan ketua KPK Antasari Azhar sebagai dalang yang membuat Antasari mendekam di bui.
"Kredibilitas saya dirusak, sudah saya adukan ke Polri, hingga hari ini tidak ada kelanjutannya. Kalau seorang mantan presiden menggunakan hak hukumnya tidak ditanggapi, apalagi dengan rakyat jelata," kata SBY. ***
BERITA TERKAIT: