Rupanya sistem pemilihan presiden Amerika Serikat memang direkayasa sedemikian rupa sehingga pemilih tidak bisa secara langsung memilih presiden mereka. Sistem pilpres Amerika Serikat ternyata sistem distrik dimana satuan daerah pemilih adalah negara bagian yang disebut sebagai Sistem Electoral College. Meski ada istilah College di situ, namun sama sekali tidak ada hubungannya dengan sistem pendidikan.
Jadi sebenarnya warga Amerika Serikat merujuk anggota Electoral College, sebagai lembaga pemilih presiden. Sistem Electoral College menetapkan bahwa setiap orang yang dipilih dewan pimpinan partai di tingkat negara bagian yang menjadi perwakilan daerahnya untuk memberikan hak suara memilih presiden. Electoral college yang memiliki electoral votes (suara pemilu) tersebar di 50 negara bagian plus Washington, DC. Untuk memenangi pemilu, seorang calon presiden Amerika harus mendapatkan minimal 270 dari 538 electoral votes yang ada.
Setiap negara bagian memiliki jatah electoral votes yang berbeda. Jatah ini ditentukan oleh banyaknya alokasi kursi Senat dan DPR yang dimiliki tiap-tiap negara bagian. Sedangkan alokasi kursi Senat dan DPR ini ditentukan oleh populasi penduduk. Oleh karena itu negara bagian dengan jumlah electoral votes besar menjadi bidikan para kandidat. Data Real Clear Politics menyebut jumlah electoral votes terbanyak berada di California (55), Texas (38), Florida (29), dan New York (29).
Dalam sejarah Amerika sudah pernah terjadi di mana beberapa anggota Electoral College berkhianat pada calon partainya. Jika tetap seri, kemenangan akan ditentukan oleh para anggota House of Representatives yang akan memutuskan siapa berhak dinobatkan menjadi presiden AS. Sedang wakil presiden ditentukan oleh Senat.
Pilpres Amerika Serikat berulang kali menunjukan hasil berbeda dengan jumlah suara pemilih. Al Gore pada pilpres tahun 2000 berhasil unggul dengan lebih dari 500 ribu perolehan suara rakyat. Tapi George W Bush yang terpilih menjadi presiden Amerika Serikat karena berhasil meraih 271 electoral college sementara Al Gore hanya 266 electoral. Sistem perhitungan suara peninggalan abad ke-18 ini kala itu direkayasa demi memenangkan seorang presiden yang sebenarnya kalah dalam perolehan suara rakyat.
Berulang kali, sistem membingungkan terkesan banci itu diusulkan untuk diperbaiki oleh parlemen AS, namun ditolak oleh kelompok politisi yang merasa diuntungkan oleh sistem membingungkan tersebut.
Dengan sistem yang sengaja direkayasa sedemikian rumit maka membingungkan itu, dapat dimengerti kenapa begitu banyak rakyat AS merasa tidak puas lalu turun ke jalan demi protes keras terhadap kemenangan Donald Trump yang memang sebenarnya memperoleh suara rakyat lebih sedikit ketimbang Hillary Clinton. Memang sebenarnya Trump bukan pilihan rakyat, namun pilihan negara bagian.
Terlepas dari pro kontra terhadap sistem satu insan, satu suara, saya pribadi merasa sistem pilpres di Indonesia lebih jernih, transparan maka adil ketimbang sistem pilpres di Amerika Serikat.
[***]Penulis adalah pembelajar sistem politik mancanegara