Konsep Juara Di Sekolah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Selasa, 06 September 2016, 10:45 WIB
Konsep Juara Di Sekolah
foto/ist
KETIKA sedang di kampus, isteri mengirim pesan dengan foto medali, katanya putri terbesar mendapat medali atas prestasinya. Tentu berita bahagia sekalipun agak ragu dengan berita tersebut dan semakin terkejut ketika putra kami juga mendapat medali yang sama. Ketidakpercayaan saya perlahan memudar ketika dua medali ditunjukkan beserta fotopenyerahan dari Mike Weston, Kepala International School Groningen (ISG). Keterkejutan, saya dan isteri juga tak dapat dilepaskan dari fakta putri dan putra kami masih berusaha mengejar ketertinggalan dalam penguasaan Bahasa Inggris sebagai Bahasa keseharian di ISG. Keterbatasan penguasaan bahasa pokok akan berkelindan dengan kemampuan menyerap pelajaran terutama yang membutuhkan kosa kata yang lebih baik, semisal mata pelajaran Humanities, Sains dan Matematika apalagi pembelajaran berbasis presentasi, argumentasi dan refleksi.


Setelah saya amati, konsep "Juara" di ISG tak berhubungan dengan nilai yang tinggi bahkan jika ditanya siapa teman-temanmu yang paling tinggi nilainya, para siswa tidak tahu. Penghargaan (Award), baik dari Kepala Sekolah maupun dari Persatuan Guru dan Orang Tua biasanya diberikan pada siswa yang paling rajin membantu siswa lain dalam belajar (altruism) yang diberikan kepada putri Cikal kami dan penghargaan kepada Berli Abdussalam atas kerja kerasnya untuk mengejar ketertinggalan.

Itulah salah satu konsep yang memiliki 2.000 sekolah di seantero jagat. Mungkin konsepnya mirip pesan Baginda Nabi "Orang yang kuat (pemenang) itu bukan yang urat kawat tulang besi namun yang mampu mengelola egonya". Konsep ini membuat persekolahan menjadi lebih kolaboratif sehingga semua mampu berkembang secara lebih percaya diri untuk mengasah kelebihannya sehingga menumbuhkan self-esteem semua siswa. Muara dari itu adalah semua menang tanpa menyisakan pecundang.

Implikasi konsep tersebut, bukan hanya siswa yang berkembang sejajar bahkan kesenjangan antarsekolah dapat diminimalkan sehingga tak nampak favoritisme sekolah-sekolah tertentu. Favoritisme melahirkan kompetisi yang luar biasa yang terkadang tidak sehat sehingga berebut kursi sekolah favorit dengan berbagai cara termasuk cara-cara yang bertentangan dengan tujuan pendidikan lewat penyalahgunaan uang dan kekuasaan. Jika sekolah sudah jauh dari tujuan sejati pendidikan, lulusan yang lahir juga akan tak sejalan dengan manfaat pendidikan.
Pandangan semua anak unik dengan kelebihan dan kekurangan baik fisik, mental dan kognitif dapat dipoles lewat pengembangan karakter. Hal ini mengingatkan saya saat ikut menikmati tontonan film bertajuk A Little Princess” bersama anak-anak, ada cuplikan yang selalu terngiang-ngiang dan mengesankan ”All Girls Are Princesses”, semua perempuan adalah putri, semua anak adalah mahkota. Kutipan tersebut merupanan respon Sarah pada Kepala Sekolah Michen yang jika dikaitkan dengan pembelajaran di sekolah menyiratkan pesan semua anak khas dan layak diperlakukan sama tanpa menilai pintar atau bodoh, kaya atau miskin, dan semacamnya.

Film yang diangkat dari novel tua yang dibesut oleh Frances Hodgson Burnett, lebih dari 110 tahun lalu tepatnya tahun 1905 ini sangat menarik dan menyebar ke berbagai belahan dunia. Di tanah air, novel tersebut dialihbahasakan menjadi buku Putri Raja Cilik” oleh Julanda Tantani yang diterbitkan penerbit terkemuka di tanah air. A little princess merupakan kisah klasik yang melegenda yang berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Sarah yang tinggal berdua ayahnya seorang tentara Inggris yang pada awalnya bermukim di daerah salah satu jajahan Inggris, India. Sebagai seorang perwira tentara, ayahnya mengabdi untuk imperium Inggris sehingga harus pergi ke garis depan dalam perang dunia I di Eropa, konsekuensinya dia menitipkan anak semata wayangnya, Sarah di sebuah seminari anak di New York, Amerika Serikat.

Sekolah berasrama (boarding school) seminari Sarah mirip dengan pondok pesantren di tanah air yang menjadi bagian utama dalam setting film ini. Adaptasi Sarah dengan lingkungan barunya terutama dengan pemilik seminari yang licik, hubungan dia dengan teman-teman sekelasnya, persahabatan dia dengan seorang anak yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Seminari yang bernama Becky, pergulatan batinnya saat berada di kondisi paling buruk setelah ayahnya dinyatakan meninggal di medan perang, sampai perjuangan dia untuk bebas dari ketidakadilan, semuanya tergambar dengan sangat baik dan rapi dalam film klasik ini.

Sarah menjadi sangat popular dan mampu memotivasi teman-teman sekelasnya dengan beragam cerita pengalamannya mengkiti ayahnya selama di negeri penuh cerita kepahlawanan, India semacam epik masyhur Ramayana. Kisah klasik yang relative beratdari negeri nun jauh di belahan selatan tersebut mampu dikemas Sarah dengan penuturan yang apik dan memikat sehingga memberikan pengaruh positif terhadap sebagian temannya.

Hal yang tak kalah pentingnya, perilaku Sarah yang bersahabar dan bagaimana Sarah memperlakukan teman-temannya tanpa membeda-bedakan kekayaan, kebangsawaan dan warna kulit, terutama kulit hitam yang masih identik dengan perbudakan. Sarah juga sangat peka dan empatik pada teman-teman dan orang di lingkungan sekitar Seminari.Sebagai contoh, ketika terusir dari Seminari Sarah memberikan satu-satunya roti yang dia miliki untuk anak kecil penjual bunga di pasar.

Tentu menjadi tidak alami jika Sarah dilihat bak Malaikat yang tanpa kekurangan sehingga sekalipun luar biasa, Sarah tetaplah manusia selayaknya gadis kecil normal lainnya yang bisa bersedih, tertekan dan putus asa. Salah satu bagian yang sangat menyentuh dan bisa membuat penonton mencucurkan air mata, ketika ayah Sarah diberitakan meninggal dan Kepala sekolah Michin yang culas memaksa Sarah untuk pindah tinggal di loteng asramanya dan berganti status dari anak kesayangan dari keluarga terpandang menjadi pembantu tukang bersih-bersih karena tidak ada dana lagi untuk membiayai sekolahnya.

Dalam kondisi yang memilukan tersebut, Sarah tetap tegar dan ceria sekalipun pada akhirnya dia tak mampu menahan air matanya berlinang air saat menyadari dirinya sudah kehilangan hampir segalanya. Sebagaimana lazimnya film anak, di akhir cerita Sarah kembali bahagia karena ayahnya ternyata masih hidup dan bisa bertemu dalam suasana yang sangat mengharukan. Sarah akhirnya dibawa ayahnya pulang bersama dengan Becky meninggalkan Seminari dibarengi kesedihan yang mendalam teman-temannya. Adapun kepala seminari yang culas harus terusir dari Seminari sebagai konsekuensi perilaku jahatnya.

Film ini mengajarkan banyak hal sekaligus menekankan pentingnya akhlaq yang baik dengan pengejewantahan cinta dan persahabatan yang tulus serta kemanusiaan dan rasa syukur. Di samping itu, dalam konteks persekolahan, film ini juga menyampaikan pesan pentingnya penekanan sikap positif dan penumbuhkembangan rasa percaya diri sejak dini serta selalu penuh harap dan cita-cita bahwa semua anak unik dan bisa menjadi seorang yang sangat berharga (putri) dengan mengoptimalkan potensi dan keunikannya. Jangan pernah berhenti bersyukur, jangan pernah kehilangan asa dan mimpi di saat terpuruk sekalipun karena di dalam kesulitan dan nestapa selalu ada kemudahan dan kebahagiaan.

Semoga sekolah kita mampu menumbuhkan kepercayaan diri dan optimism bukan pemukul palu godam pintar dan bodoh”. Semoga. [***]

Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA