Askestisme Pembelajar

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Sabtu, 27 Agustus 2016, 01:41 WIB
Askestisme Pembelajar
Tatang Muttaqien/Net
MENCARI ilmu tak selamanya mudah apalagi di tempat yang jauh dari tanah air dengan budaya, iklim dan standar yang berbeda sehingga keluhan baik sengaja atau tidak sengaja meluncur dari mulut para pembelajar.

Keluhan yang merepresentasikan tekanan atau stres merupakan hal biasa yang jika dikelola dengan baik akan meningkatkan daya tahan dan daya juang. Namun kadang, tak sedikit yang tak mampu bertahan atau setidaknya bertanya dalam batinnya, masih perlukah dilanjutkan? Untuk menjustifikasinya kadang argumen-argumen "seperti agama" pun muncul, semisal untuk apa jauh-jauh belajar meningggalkan keluarga, menghabiskan banyak waktu untuk duniawi sehingga mengurangi belajar agama atau mengaji.

Kegamangan tersebut lumrah adanya namun sejatinya perjalanan menimba ilmu juga bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas kinerja untuk diri, keluarga dan masyarakat (amal shaleh). Juga sebagai bagian dari proses mengada (being) yang akan mampu mengejewantahkan eksistensinya. Dengan kesungguhan dan keikhlasan, maka peningkatan kinerja akan menjadi amal shaleh untuk meraih kebahagiaan berjumpa denganNya (liqaa rabbih) dengan penuh keridaan.

Di sinilah, jihad akbar diartikan Nurcholish Madjid sebagai kerelaan untuk menderita sementara dengan menunda kesenangan jangka pendek dengan menempuh asketik (zuhd al-nafs) untuk meraih kebahagiaan jangka panjang. Ini sudah dicontohkan para pembelajar dahulu sebagaimana diceritakan Imam Bukhari dalam al-Adab al- Mufrad.Misalnya para pencari hadits berkelana melampaui padang pasir yang gersang dengan menyisihkan hartanya untuk membeli kendaraan (unta) menyusuri Suriah sampai Hijaj (Saudi Arabia) untuk memastikan satu hadits dengan bertemu sahabat Nabi. Jika satu hadits membuthkan perjalanan sekira 1 bulan, maka bisa dibayangkan bagaimana payangnya menelisik dan menyelidik ribuan hadits.

Sejatinya tak ada perbedaan sikap asketik dalam mencari ilmu agama dan sains karena keduanya merupakan karunia Tuhan yang direpresentasikan firmanNya (Al-Quran), kreasiNya (alam semesta) beserta hukum-hukumNya (sunnatullah). Untuk mensinergikan ketiganya, dibutuhkan sikap asketik alias zuhd sebagaimana tersurat dalam Al-Quran, Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, maka sungguh Kami akan memberikan hidayah (menunjukkan) pada jalan Kami, dan sesungguhnya Allah Swt benar-benar bersama orang-orang yang senantiasa berbuat baik.

Kesungguhan dalam memahami, mendalami dan mensinergikan ketiganya tak selamanya seperti jalan tol yang lurus namun berliku penuh kerikil tajam. Itulah proses ujian yang akan mengukur pencapaian kinerja dalam menimba ilmu bahkan semua manusia pada dasarnya akan melewati beragam ujian untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya. Pesan surat Al-Ankabut ayat 2 dan 3 dengan sangat gamblang mengingatkan Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan,"Kami telah beriman", sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."

Keadilan dan kasihNya membuat beragam ujian yang akan dilewati manusia disesuaikan dengan kesiapan dan kemampuannya sehingga sejatinya tak ada ujian yang di luar jangkauan kemampuan manusia karena Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Al-Baqarah: 286). Dalam proses pembelajaran, tak sedikik keluhan yang meluncur karena tak selamanya apa yang diharapkan dan direncanakan sejalan dengan kenyataan. Pembelajar ingin selalu dapat lulus dalam setiap tahap ujian namun tak sedikit yang gagal sehingga harus mengulang. Tentu sangat berat dan kadang menyakitkan namun sebenarnya itu bagian dari pembelajaran untuk terus meningkatkan kesungguhan. Tuhan berfirman bahwa: Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui
 (Al-Baqarah: 216).

Di sinilah kenapa kita tak belum putus asa termasuk dalam menjalani pengelanaan panjang pembelajaran sehingga sering bertanya dan ragu apakah kita akan sampai pada terminal pembelajaran sesuai dengan jenjang dan bidangnya. Sering kita merasa sudah berusaha maksimal untuk membuat laporan hasil observasi laboratorium yang dijalani dengan sangat teliti dan berkelanjutan (longitudinal) namun dinilai belum memenuhi standar yang diinginkan pembimbing misalnya. Dalam tahap selanjutnya, setelah berkali-kali melakukan revisi dan perbaikan, para penyelia menilai cukup laporan kita sehingga layak dipublikasikan. Namun setelah dikirim ke jurnal yang diidamkan, setelah menanti dengan harap-harap cemas, surat cinta penolakan datang sehingga pukulan kedua menimpa kembali.

Patutkah kita menyerah? Tak ada kamus putus asa apalagi frustasi sehingga mutung meninggalkan arena. Sikap zuhud menuntut kita untuk kembali introspeksi dan bangkit melakukan perbaikan. Janganlah  kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman (Al-Imran: 139), itulah amanatNya.

Bangkit dan mulai kembali pengembaraan menuntut ilmu dan mengasah pikir dengan mencurahkan segala rupa daya dan energi. Untuk menambah vitamin, di samping kita bekerja keras juga terus memperluas harapan yang akan menambah gizi batin kita dengan munajat padaNya, Dan mintalah pertolongan (kepada Tuhan)  dengan jalan sabar dan mengerjakan shalat (Al-Baqarah: 45). Memadukan doa dan ikhtiar merupakan keniscayaan untuk mensinergikan suasana kebatinan dan kemampuan akal dan fisik kita, ora et labora.

Dalam menapaki keberhasilan, seorang pembelajar tidak boleh lengah sehingga menurun ikhtiarnya karena dinamisnya ilmu pengetahuan, menuntuk pembelajar untuk berusaha tanpa henti meningkatkan kualitas ilmu dan aplikasinya sehingga mampu memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat. Kehadiran dan kemanfaatan siapapun akan berbuah keberhasilan dalam mewarisi dunia. Kesungguhan dan keberlanjutan kreasi sebagian orang di negara-negara maju mampu menjadikan mereka merawisi dunia yang sejalan dengan janjiNya, Dan sungguh telah kami tulis di dalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfudz, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang shaleh.

Pesan firman tersebut memastikan siapapun dengan keyakinan apapun selama mampu menunjukkan kinerja yang baik akan menjadi pewaris dunia sehingga tak ada jalan lain bagi kita untuk beraktualisasi lewat kerja kemanusiaan (amal shaleh) agar mampu mewarisi dunia ini. Pencapaian dunia merupakan cerminan akhirat juga. Wallahu’alam. [ysa]

Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA