Untuk itu kami berbagi, saya kebagian mendampingi anak-anak yang besar yang sekolahnya cukup jauh sekitar 8 kilometer dari rumah atau sekira 45 menit bersepeda sedangkan isteri mendampingi putri terkecil yang sekolah cukup dekat sekitar 600 meter dari rumah. Di samping itu, isteri sedikit memahami komunikasi dengan menggunakan Bahasa Belanda sehingga lebih cocok menghadiri undangan pertemuan orang tua murid si Bungsu.
Ketika kebagian menggantikan isteri, ada rasa gugup karena banyak yang tak dipahami dari acara pembukaan pertemuan tersebut, namun dalam pemaparan substansi sedikit terbantu dengan adanya power-point dari guru koordinator. Diawali dengan pemaparan umum dari kepala sekolah lalu rehat dengan minuman dan makanan ringan sekaligus untuk pemisahan orang tua sesuai dengan kelasnya untuk mengancik pembahasan topik yang lebih spesifik dan aplikatif.
Di dalam kelas, guru koordinator menyampaikan paparan berupa senarai potongan video pendek anak-anak selama di sekolah sehingga kita tahu apa yang terjadi dan bagaimana perkembangan anak-anak kita di dalam kelas dan di sekitar sekolah karena berdasarkan segitiga emas pendidikan, pembelajaran merupakan usaha bersama orang tua, anak dan sekolah sehingga perlu komunikasi dan kerja sama yang saling memperkokoh.
Meskipun tak sepenuhnya menyerap apa yang disampaikan secara detail, saya cukup merasakan manfaat hadir dalam pertemuan sekira 1,5 jam tersebut karena menjadi tahu apa yang diajarkan untuk putri kami selama 2 tahun di kelas gabungan Grup 1-2 atau setara taman kanak-kanak (TK) dan apa perbedaannya di Grup 3 atau setara kelas 1 SD. Primary school di Belanda terbagi menjadi Grup 1-8 alias menggabungkan TK dengan SD sehingga jika ada SD, ada TK yang manfaatnya semua anak menikmati belajar di TK berbeda dengan di negara yang memisahkan TK dan SD seperti di tanah air.
Hampir semua anak di Indonesia saat ini dapat menikmati pendidikan SD namun lebih dari sepertiga tak bisa menikmati TK yang sangat penting untuk kesiapan belajar (school readiness) di SD. Kesiapan belajar ketika memulai SD menjadi kesan pertama yang cukup menentukan keberhasilan belajar di jenjang SD dan keberhasilan pada jenjang pendidikan dasar yang ditandai kemampuan baca, tulis dan berhitung serta kematangan emosi dan percaya diri siswa akan menjadi penentu untuk jenjang selanjutnya.
Ibu Guru (atau Jup) Inneke, coordinator kelas/wali kelas si bungsu mengulas bagaimana pembelajaran dan dinamika dalam kelas berlangsung dari setiap sudut, mulai belajar mengenal nama lewat gambar, berbagi antrian aktivitas dalam papan tempelan antrian aktivitas, pengenalan angka dasar, mengenal nama hari dan bulan dan juga musim serta cuaca yang berhubungan dengan pakaian yang tepat untuk setiap cuaca dengan temperature yang naik turun bak harga saham.
Setelah menonton video dan menyimak uraian evaluasi per aktivitas, wali kelas mendedahkan makna dan manfaat aktivitas pembelajaran tersebut yang secara singkat dapat dirangkum sebagai berikut:
Pertama, asah kognisi melalui aktivitas belajar dan bermain bersama secara berkelompok kecil untuk memastikan "peleburan" dan partisipasi aktif semua siswa termasuk berbagi panggung untuk mendorong siswa tampil percaya diri. Dalam setiap sesi pembelajaran selesai, wali kelas mengulas dan berdialog dengan para siswa, di mana sebagian besar siswa dengan antusias mengacungkan tangan ingin kebagian berpendapat namun guru biasanya akan memprioritaskan untuk memilih anak yang tidak mengacungkan tangan alias yang belum berani untuk memastikan semua siswa percaya diri dan aktif di dalam kelas dan maju bersama sehingga tidak ada siswa yang tertinggal atau ditinggalkan atau tak percaya diri tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Di samping faktor Bahasa seperti anak-anak migran termasuk kami, faktor keluarga juga berpengaruh pada kepercayaan dan kebahagiaan siswa di dalam kelas, seperti konflik ibu dan bapak akibat perceraian. Perceraian terbilang tinggi di negeri kincir angin, alias dari tiga pasangan menikah atau hidup bersama, satu di antaranya bercerai. Ada yang bercerai dengan damai sehingga tak terlalu berat untuk anak kecil namun juga ada yang menyisakan konflik yang mengganggu kenyamanan anak.
Kedua, asah fisik (motoric) dengan aktivitas luar kelas setiap hari dan olahraga sepekan sekali, di mana semua siswa hanya memakai celana dalam alias terbuka yang ditujukan agar semua siswa sehat dan kokoh secara fisik termasuk mengidentifikasi dan mencegah adanya penyakit kulit yang berpotensi menular. Di samping itu, aktivitas luar kelas dan olahraga juga ditujukan untuk menginternalisasi kerja sama dan sportivitas. Singkatnya, kegiatan di luar kelas atau di lapangan sekolah dan olahraga ini juga ditujukan untuk menanamkan sikap yang baik (afeksi) anak-anak agar bisa hidup bersama secara berdampingan dan damai.
Ketiga, pengenalan makanan sehat atau nutrisi dengan sayuran dan buah-buahan. Di setiap sekolah selalu ada kebun sekolah untuk membiasakan anak-anak bercocok tanam dan memperkenalkan makanan sehat, yaitu sayuran dan buah-buahan. Di samping dipetik langsung dari sekolah yang hanya sekali semusim, sekolah juga menyediakan sayuran seperti wortel dan buah-buahan seperti apel untuk setiap siswa dan dinikmati anak-anak secara bersama-sama untuk memastikan anak-anak terbiasa makan buah-buahan dan sayuran. Dampaknya cukup terasa, kalau di rumah anak agak sulit makan wortel mentah namun jika diajari dan dibiasakan gurunya di sekolah, satu wortel cepat habis, demikian juga apel.
Keempat, belajar untuk kehidupan nyata melalui permainan "seperti sebenarnya" semisal menata ruang dan bermain dorongan bayi agar membahami perlunya peduli dan kehati-hatian dalam merawat yang lemah serta terbiasa mandiri yang ditambah juga permainan dapur, di mana guru telah menyiapkan beragam bahan masakan semisal tepung, telur dan semacamnya dan anak-anak disilahkan mengaduk dan mengolahnya secara bergantian sehingga diharapkan nantinya mereka (laki-laki atau perempuan) mampu mengurus urusan dasar di dapur secara mandiri, rapi dan bersih.
Itulah beberapa yang saya tangkap dari pertemuan dengan Tim Guru. Secara umum, pendidikan ditujukan untuk menyiapkan anak-anak agar bisa survive dalam kehidupan nyata yang sejalan dengan yang dianjurkan Jacques Dellor (UNESCO, 2000), yaitu: (1) belajar mengetahui (learning to know), (2) belajar berbuat (learning to do), (3) belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan (4) belajar hidup bersama (learning to live together). Untuk mencapai tujuan tersebut, kerja sama yang baik antara sekolah, orang tua dan anak sangat penting sehingga partisipasi orang tua murid merupakan sebuah keniscayaan.
[***]
Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.