Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rini Soemarno Dalam Dimensi "Presiden Bayangan"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Kamis, 28 Januari 2016, 10:17 WIB
Rini Soemarno Dalam Dimensi "Presiden Bayangan"
JELANG akhir tahun lalu, saya pernah menyebut Jenderal Kopassus, Luhut Binsar Panjaitan sebagai Presiden Satu Setengah (RI - 1,5). Sekalipun hal tersebut disampaikan dalam konteks setengah bergurau, tetapi makna politiknya tetap ada. Yaitu untuk menggambarkan peran dan pengaruh LBP dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Intinya LBP memiliki peran yang sangat kuat dan menentukan.

Penggambaran tersebut lebih bertujuan mempertegas pengamatan, bahwa sistem dan budaya politik Indonesia saat ini, sedang mengalami perubahan.

Sistem kepangkatan dan jabatan politik tidak boleh dilihat secara formal 'an sich', seperti apa yang tertulis.

Seorang menteri bisa lebih kuat pengaruhnya dari pada seorang Menteri Koordinator (Menko). Atau tidak semua Menko memiliki kekuatan dan pengaruh politik yang sama.

Kedengarannya janggal bahkan absurd. Namun itulah yang terbersit dari sistem pembagian kekuatan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ada sosok yang punya peran lebih namun keberadaannya dalam dimensi 'tokoh bayangan'. Ada anggota kabinet yang dikesankan memiliki kekuasaan yang luas, tetapi porto folionya minim atau bahkan tidak ada.

Salah satu contohnya, Menteri Puan Maharani. Sebagai salah seorang Menko, posisinya tergolong menteri yang cukup senior dan luas kekuasaannya.
Tapi siapapun bisa bingung. Apa dan di kementerian apa saja putri Megawati Soekarnoputri memiliki pengaruh dan kewenangan?

Gambaran tentang LBP dilakukan ketika ia baru saja menempati pos Menko Polhukam. Sebelumnya LBP berfungsi sebagai Kepala Staf Kepresidenan.

Sekalipun LBP sudah melepas jabatan Kepala Staf Kepresidenan, tetapi jaringannya di sana masih kuat. Sehingga dengan posisi baru Menko Polhukam, LBP terkesan memiliki dua kaki: satu di pos baru Jalan Medan Merdeka Barat dan satu lagi di eks Gedung Bina Graha, Jalan Veteran/Merdeka Utara.

Teringat, ketika LBP berbicara sebagai saksi di sidang Mahkamah Kehormatan Dewan, DPR-RI, dalam rangka penyidangan kasus "Papa Minta Saham".

LBP antara lain menyatakan bahwa pada malam sebelumnya dia berbicara cukup lama dengan Presiden Joko Widodo.

Tidak diuraikan apa yang menjadi topik pembicaraan. Begitu juga tak tahu dimana pembicaraan itu dilakukan - apakah di Istana Bogor atau Istana Jakarta. Tidak pula diungkapkan apa kesimpulan dari pembicaraan LBP dengan Presiden Joko Widodo.

Akan tetapi bahasa tubuh dan bahasa tersirat LBP yang menjadi penting. Keduanya memberi gambaran, saat itu hanya dia, LBP yang dipercaya oleh Presiden Joko Widodo.

Fakta di atas tambah memperkuat kesimpulan bahwa LPB dan Presiden Joko Widodo memang sudah lama bersinerji dalam bisnis meubel. Sehingga mereka sudah punya modal dasar. Adapun komunikasi dua arah yang lancar yang seperti sekarang terjadi, karena hal itu tingggal melanjutkan apa yang sudah ada.

Pada Oktober 2015 - saat Presiden Joko Widodo tengah berada di Washington, Amerika Serikat, adalah LBP satu-satunya menteri yang menelpon langsung Pak Presiden.

Pembicaraan jarak jauh mereka berdua menghasilkan keputusan Presiden Joko Widodo mempersingkat jadwal kunjungannya di Amerika Serikat. Rencana pertemuan Presiden di Pantai Barat Amerika Serikat, dibatalkan.

Alasan utama Presiden mempersingkat perjalanannya, karena masukan yang diberikan LBP. Kebakaran hutan di wilayah Kalimantan dan Sumatera yang dinilai berpotensi destruktif bagi keamanan negara, benar adanya.

Tapi bayangkan, seorang Presiden tengah melakukan kunjungan kerja di sebuah negara, bisa ditelepon dan diminta kembali ke tanah air oleh seorang menteri koordinator. Itu jelas menunjukkan 'sesuatu'.

Hal lain yang menunjukan pengaruh kuat LBP di pemerintahan Joko Widodo, dinilai dari cara LBP menghadapi berbagai persoalan di dalam negeri.

Seperti sikapnya menghadapi pembangkangan lunak Gubernur Papua, Lukas Enembe. Kepala Daerah Papua ini secara terbuka menyatakan menolak kunjungan Presiden Joko Widodo ke Pulau Cenderawasih itu. Hanya LBP yang berani dan tegas mengingatkan Kepala Daerah Papua itu dan hasilnya Enembe tidak lagi berkoar-koar.

Penggambaran posisi LBP sebagai Menteri yang memiliki posisi kuat dan berpengaruh, tentu saja bisa subyektif. Sekalipun kesimpulan atas penggambaran tersebut dimulai dari alasan dan fakta obyektif.

Tapi yang cukup menarik, penggambaran tentang hubungan timbal balik yang kuat antara Presiden dan Menko Polhukam itu, tidak memperoleh sanggahan ataupun protes. Bisa jadi para eksekutif di lingkar Istana tidak punya waktu menanggapinya.

Boleh jadi juga, analisa itu tidak dibaca oleh Presiden dan Menko Polhukam. Yang membacanya hanya penulisnya sendiri.

Akan tetapi apapun ceriteranya, perkembangan dan perubahan yang terjadi di seputar Istana dan kekuasaan, tetap penting dan menarik untuk diamati dan dicermati. Dan sebagai pengamat ataupun wartawan senior yang pernah meliput kegiatan Presiden, tidak bisa tidur nyenyak kalau berbagai kejadian penting itu dibiarkan berlalu begitu saja.

Sebab setiap detil kecil yang terjadi di seputar kekuasaan, sekitar Istana, bakal mempengaruhi segala kehidupan bernegara dan pengambilan keputusan politik di dalam republik ini.

Kini naluri politik yang bergerak dalam nalar keseharian saya berkesimpulan, bahwa di pusat kekuasaan saat ini, pendulum pengaruh sedang bergeser. Atau tengah mengalami perubahan.

Dalam perubahan itu, pengaruh dan kekuatan LBP bergeser ke titik koordinat dimana Rini Soemarno, Menteri BUMN, hadir.

Yang menjadi ukuran atas terjadinya perubahan itu, terletak pada hadirnya Mega Proyek Kereta Api Cepat Bandung - Jakarta.

Proyek yang bernilai Rp. 75,- triliun, ditangani sendiri oleh Menteri BUMN Rini Soemarno. Kendati begitu proyek itu seakan menjadi taruhan politik pribadi Presiden Joko Widodo.

Maksudnya, keberhasilan proyek tersebut bakal menjadi rujukan kinerja Presiden selama 2014 - 2019. Bila proyek kereta api cepat itu selesai dan bisa beroperasi sebelum Pilpres 2019, keberhasilan itu akan menjadi tiket penting bagi Joko Widodo untuk maju kembali sebagai capres 2019 - 2024.

Sementara kehadiran Mega Proyek ini sendiri, menyisakan sejumlah persoalan. Dan persoalan tersebut ikut merecoki kinerja dan kapabilitas Presiden Joko Widodo.

Misalnya sebagai proyek pemerintah, proyek ini otomatis melibatkan seluruh anggota kabinet. Tetapi nyatanya tidak demikian. Penyelenggaraan proyek ini sendiri mendapat tentangan dari sejumlah anggota kabinet.

Sehingga penolakan itu menimbulkan persepsi, proyek kereta api cepat ini lebih merupakan proyek yang sarat dengan kepentingan pribadi Menteri BUMN ataupun Presiden Joko Widodo sendiri.

Perubahan ini penting dicermati. Karena proyek ini secara politik tidak sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo.

Janji Presiden Joko Widodo baik semasa kampanye Pilpres 2014 maupun setelah berhasil terpilih, akan lebih memprioritaskan pembangunan luar Jawa. Lebih spesifik lagi kawasan bagian Timur Indonesia.

Nyatanya, dengan Presiden menyetujui proyek Rini Soemarno, pendulum pembangunan kembali lebih berat kawasan Barat, khususnya Pulau Jawa.

Proyek kereta api cepat ini seakan memperlihatkan inkonsistensi Presiden dan besarnya pengaruh Meneg BUMN.

Sebab persetujuan atas pelaksanaan itu dilakukan dalam situasi yang serba cepat dan terburu-buru.

Hal ini menggiring opini ke kesimpulan sementara bahwa Menteri Rini Soekarno sedang menjadi orang yang paling dipercaya oleh Presiden.

Total anggaran yang dialokasikan untuk proyek kereta api cepat ini jauh lebih besar dari anggaran tahunan beberapa kementerian. Semakin mengesankan bahwa perlakuan istimewa terhadap Menteri Rini Soemarno oleh sang Presiden, merupakan sebuah realita.

Sebagai perbandingan, Kementerian Koperasi dan UKM misalnya untuk tahun anggaran 2015 lalu hanya punya anggaran yang tidak mencapai Rp. 2,- triliun. Atau Kementerian Pendidikan yang tidak lebih dari Rp.40,- triliun. Bandingkan dengan proyek kereta api Bandung - Jakarta yang mencapai Rp. 75 triliun.

Betul disebutkan proyek kereta api cepat ini tidak menggunakan dana APBN. Tapi tokh dana di luar APBN tersebut tetap saja merupakan dana yang ada di brandkas rakyat atau pemerintah Indonesia.

Jadi perbedaannya hanya terletak pada kosa kota. Sebab pada akhirnya dana yang digunakan tetap dari kas pemerintah.

Kendati demikian transparan persoalan yang melilit proyek ini disampaikan - melalui media main stream dan media sosial, hal ini semua tak mempengaruhi sikap Presiden Joko Widodo.

Berbicara tentang proyeknya Menteri BUMN ini, mau tidak mau harus berbicara apa adanya.

Misalnya sejumlah kelemahan proyek ini tak boleh ditutupi.

Proyek ini dikesankan sebagai sebuah investasi asing. Artinya RRC atau Tiongkok sebagai pelaksana atau pemenang tender ini, berinvestasi di Indonesia. Sebagai investor, Tiongkok ditafsirkan membawa masuk valuta asing ke Indonesia. Ini masih yang harus dibuktikan dengan fakta. Bukan dengan dengan jargon.

Saya bukan ahli perbankan. Tetapi sebuah tulisan di Kompas edisi 7 Nopember 2014, beredar secara viral di sebuah grup WA.

Di situ dipertanyakan, apa urgensinya Bank Mandiri yang mempunyai aset Rp. 798,- Triliun, Bank BRI (Rp. 705,- Triliun) dan Bank BNI (Rp.408,- Triliun) dipaksa berhutang ke Tiongkok sejumlah USD 1,- milyar atau setara Rp. 14, Triliun, kurs tengah Rp. 14.000,- ?

Selain tidak membutuhkan hutang, dana yang dimiliki ketiga bank itu tidak ada masalah. Tidak ada problem likwiditas - seperti Bank Century misalnya.

Ketiga bank tersebut dipaksa "menerima hutang" demi mega proyek kereta api cepat, demikian analisa tersebut. Ketiga bank itu diperintah oleh Meneg BUMN dan bukan Menteri Keuangan.

Tetapi semua masukan, sorotan dan kritikan atas proyek ini hanya dianggap sebagai pengganggu pemerintah. Bahkan disebut sebagai "hater" atau pembenci Presiden Jokowi.

Kalaupun ada jawaban atau tanggapan, sifatnya defensif bahkan pengeritik bisa disebut sebagai pihak yang menyebarkan fitnah.

Alhasil semua argumentasi yang menunjukkan kejanggalan proyek ini, menjadi tak kuat.

Karena Meneg BUMN mampu meyakinkan Presiden Joko Widodo. Meneg Rini Soemarno lebih didengar dan selalu benar.

Dengan kemampuan itu menunjukkan, Menteri BUMN di era sekarang, tidak lagi sekedar pos ketika posisi itu dipegang oleh beberapa figur sebelumnya.

Dalam dimensi lain akibat pengaruhnya yang demikian kuat terhadap Presiden Joko Widodo, tidaklah berlebihan jika Rini Soemarno kita sebut figur yang sudah berada dalam posisi sebagai "Presiden Bayangan".

Dia bukan berstatus sebagai presiden, tetapi kekuatan dan pengaruhnya mampu mempengaruhi keputusan-keputusan penting seorang Presiden.

Patut dicatat, sebelumnya pos Menteri BUMN dalam tiga rezim pemerintahan (Habibie, Megawati dan SBY) pernah diisi oleh sejumlah figur.

Mereka adalah Dahlan Iskan, Mustafa Abubakar, Sofyan Djalil, Soegiharto, Laksamana Sukardi (dua kali), M.Rozy Munir dan Tanri Abeng.

Ketika pos itu diduduki oleh para figur di atas, pengaruh dan rentang kekuasaan mereka, relatif terbatas atau biasa-biasa saja.

Tetapi ketika pos Menteri BUMN itu berada di tangan Rini Soemarno, serta merta situasinya berubah.

Pos Menteri BUMN tidak lagi sekedar kementerian 'pelengkap' apalagi sebagai "pelengkap penderita".

Kementerian BUMN yang berada di Merdeka Selatan kini beralih sebagai pusat kekuasaan penting dalam sistem pengelolaan bangsa dan negara RI.[***]

*Penulis adalah jurnalis senior.

 
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA