"Yang harus ditempuh kalau bicara kedaulatan dan martabat bangsa, kita punya UU dan itu berlaku untuk siapapun termasuk perusahaan negara adidaya. Itu seharusnya yang ditempuh supaya kedaualatan itu bisa terwujud, tidak ada alternatif," kata pengamat pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (5/12).
Marwan mengungkapkan pesimisme. Faktanya, pemerintahan Jokowi dengan Sudirman Said sebagai Menteri ESDM-nya, sudah melanjutkan MoU tahun 2014 (era Presiden SBY), yaitu menyelesaikan enam poin renegoisiasi. Padahal, jika pemerintahan Jokowi bertekad menjadikan Indonesia berdaulat atas kekayaan tambangnya, Freeport harus diperintahkan tunduk kepada UU Minerba.
"Kita mau UU yang ada sekarang jadi pegangan pemerintah. Kasih Freeport pilihan,
take it or leave it. Jadi tidak ada perpanjangan sampai 2021 dan kita yang menentukan," tegas Marwan.
"Faktanya, kita sudah lanjutkan MoU dari pemerintahan SBY, kita sudah takluk dan biarkan ekspor mineral mentah sedangkan perusahaan dalam negeri tidak mendapat kesempatan yang sama, tidak adil," tambahnya.
Dia mengkritik kemampuan kinerja rezim Jokowi yang sudah memperpanjang MoU, ditambah lagi memberikan indikasi perpanjangan kontrak lewat surat Menteri ESDM Sudirman Said pada tanggal 7 Oktober 2015 kepada bos Freeport di Indonesia.
"Surat itu, oleh Freeport dirilis di sana (Amerika Serikat), dalam bentuk pernyataan bahwa Freeport sudah dapat landasan legal untuk memperpanjang kontrak. Artinya, ini (pemerintahan Jokowi) sudah takluk. Jadi, bicara kedaualatan tak bisa kita harapkan dari yang sekarang ini," tegasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: