Pernyataan yang dikeluarkannya kemarin di kompleks Kantor Presiden, Jakarta, itu ditanggapi kritis oleh pengamat politik muda, Ray Rangkuti. Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia ini berpendapat, ada nuansa M Nuh ingin membawa dunia pendidikan kembali ke era otoritarian.
"Pernyataan dia tidak tepat. Kampus ini kan basis pendidikan politik paling netral dan paling obyektif. Kampus tak pernah luput dari ranah politik karena itu merupakan bagian dari tanggung jawab akademik," tegas Ray kepada
Rakyat Merdeka Online, Rabu (2/10).
Menurut dia, konvensi yang digelar FRI harus dilihat juga sebagai kritik kepada parpol yang tak berani menyeleksi calon pemimpin nasional lewat mekanisme yang melibatkan masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya jadi konsumen politik.
Dia menegaskan, konvensi buatan FRI itu akan baik sejauh murni untuk mencapai tiga tujuan mulia di atas. Dengan demikian, pendidikan politik di kampus tetap sebagai pendidik politik yang paling obyektif. Tapi, akan berbeda bila FRI tiba-tiba mengajukan nama calon presiden pilihan mereka tanpa mekanisme yang melibatkan masyarakat kampus.
"Konvensi FRI itu pada prinsipnya baik. Tapi kita harus melihat teknisnya seperti apa baru kita nilai apakah kegiatan ini cuma untuk membesarkan salah satu capres atau menggolkan satu capres atau bagian dari tawar menawar politik. Tapi, menurut saya prinsipnya bagus," terang Ray.
Pernyataan M Nuh itu mengingatkan kembali nuansa normalisasi kehidupan kampus yang membungkam kehidupan politik kaum akademik di zaman Orde Baru.
"Ini nuansanya ke arah sana meski kadarnya tak seberat itu. Dulu kan kampus bukannya tak boleh berpolitik, tapi dulu kampus wajib ikut Golkar. Jadi tetap saja berpolitik," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: