Sekretaris Jenderal Indonesia Food Security Review (IFSR), Isyraf Madjid, menekankan isu yang seharusnya sederhana, memberi makan bergizi kepada anak, justru berubah menjadi kental nuansa politis.
Ia mengingatkan, Indonesia memiliki rekam jejak sukses dalam program sosial (seperti Jaminan Kesehatan Nasional dan vaksinasi Covis-19) yang mampu melampaui sekat politik. Sayangnya, memanasnya perdebatan tentang MBG terasa janggal di tengah riwayat positif tersebut.
"Kita dapat melihat skala Program MBG ini dari komitmen anggaran dan cakupan penerima. Pemerintah mengalokasikan sekitar Rp171 triliun pada APBN 2025 untuk MBG, dengan indikasi belanja yang lebih besar pada 2026. Target tahun 2025 mencakup 82,9 juta penerima manfaat dengan rencana operasi sekitar 30.000 SPPG; per 29 Oktober 2025 tercatat 13.514 SPPG aktif," Isyraf Madjid dalam keterangan tertulisnya dikutip redaksi di Jakarta, Rabu 12 November 2025.
Dengan target ambisius tersebut, skala program ini memang sangat luas. Besarnya alokasi anggaran ini otomatis memusatkan perhatian pada aspek operasional: siapa yang memasak, memasok, dan mengawasi.
Keraguan publik meningkat setelah terjadi serangkaian insiden keracunan di beberapa provinsi. Pemerintah memang telah merespons cepat dengan mengetatkan standar, menutup dapur tak layak, dan melarang pangan olahan. Namun, bagi Isyraf Madjid, masalah utama terletak pada komunikasi yang lebih mendahulukan pembelaan ketimbang data rinci yang dibutuhkan publik.
"Belajar dari praktik global, kunci untuk meredakan tensi politik bukanlah mengecilkan skala program, melainkan mengubah postur program agar lebih tertata dan dapat diaudit," ujar Isyraf Madjid.
Ia pun menyarankan pendekatan terstruktur, seperti; administrasi program harus berbentuk standar minimum nasional, namun dijalankan oleh pemerintah daerah. Ekspansi harus dilakukan bertahap, mengikuti kapasitas daerah dengan kriteria kesiapan yang transparan (termasuk sertifikasi dapur dan audit rantai pasok).
Kemudian, katanya, seluruh data operasional wajib dipublikasikan berkala melalui satu dasbor per kabupaten/kota. Dasbor ini harus memuat hasil uji keamanan pangan, daftar dapur yang ditutup, log insiden, dan identitas pemasok terverifikasi. Pengawasan pu diperkuat dengan melibatkan Badan Gizi Nasional, auditor kesehatan independen (dari kampus/LSM), hingga komite orang tua. Jaringan ormas keagamaan yang kredibel juga dapat dilibatkan dalam fungsi kendali mutu untuk membangun kepercayaan.
Isyraf menekankan bahwa penilaian keberhasilan harus bergeser dari sekadar jumlah porsi yang didistribusikan menjadi indikator hasil yang nyata, seperti tingkat penurunan anemia, kehadiran anak di sekolah, dan capaian belajar.
Menurutnya, ketika ukuran yang dipasang adalah hasil pada anak, bukan sekadar volume distribusi, politik cenderung mengikuti capaian nyata daripada slogan.
"Ketika satu generasi anak diberi makan bergizi dengan baik, dua dekade kemudian akan lahir masyarakat yang lebih sehat dan siap bekerja, dan masyarakat akan mengingat bahwa negara peduli pada gizi mereka," kata Isyraf Madjid.
Program MBG memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari kontrak sosial Indonesia, sama seperti Jaminan Kesehatan Nasional. Ini dapat terjadi "apabila diberi kesempatan untuk diperbaiki secara berkelanjutan untuk menjadi lebih matang."
Pada akhirnya, yang akan dikenang masyarakat bukan riuh politik, tetapi lembaga yang bekerja dan konsisten melayani generasi masa depan.
BERITA TERKAIT: